8. | Apa Maksud Rio?

1462 Words
Teruntuk para pengagum rahasia; tidak apa sejenak menikmati perasaan bertepuk sebelah tangan sampai nanti hati sendiri yang siap bermetamorfosis. Seumpama kepompong menjadi indahnya kupu-kupu. *** “Good, tinggal kita diskusikan sama petinggi yang lain.” “Iya, Yo.” Sesuai janji, sepulang sekolah Bagas menemui Rio di salah satu kafe di tengah kota. Berdiskusi tentang proyek ekstrakurikuler musik dalam waktu dekat. Keduanya juga sangat dekat. Semata-mata selisih satu tahun tak membuat Rio mempermasalahkan Bagas yang memanggil namanya tak memakai embel-embel ‘Kak’. Sejauh ini, Bagas dan Rio nyaman bersahabat selayaknya teman sebaya, saling menghargai tanpa kecanggungan yang berarti. “Lo suka Michelle, Gas?” Pembahasan penting selesai. Namun, Bagas tak menyangka pertanyaan Rio kini mengherankan. “Enggak,” jawabnya lugas. “Kenapa lo tuduh gue begitu?” “Opini gue.” “Dia punya pacar.” Bagas terkekeh sejenak. “Jangan-jangan lo, ya?” sambungnya curiga. “Ya kali, Gas.” “Kalau gue sempat kagum aja, tapi enggak sampai suka.” “Sembarang, lo, ya!” Rio menampik cepat, sekaligus tidak habis pikir. Penuturan beruntun Bagas cukup mengesalkan kalau dihayati, padahal dirinya yang memancing. Terlebih, ketidakpekaan laki-laki jadi membuat Rio berpikir tentang perasaan adiknya. “Gue nyaman berteman aja.” “Michelle cantik, lho, Gas. Gue lihat-lihat, kemungkinan dia suka sama lo. Well, gue serius bilang begini.” “Aneh lo. Gue kenal Michelle sudah lama banget, dari SMP kalau enggak salah. Mana ada suka-sukaan, apalagi cinta monyet,” ucap Bagas nyalang. “Lo sendiri jomlo tiga tahun. Masih nyaman sendiri?” Rio mengangkat bahu, bodoh amat. “Gue lagi suka sama junior kita.” Seperti dugaan, terburu-buru Bagas menghirup caramel macchiato-nya karena amat tertarik dengan pengakuan Rio yang begitu tenang di posisi awal. “Siapa, Yo?” “Si cantik ekstrakurikuler musik.” “Angkatan lima belas memang cantik semua.” Bagas tidak sembarang mengaku. Sebagai laki-laki normal, wajar mengedepankan kecantikan di nomor pertama saat melirik lawan jenis. “Chindai, Chelsea, Marsha, dan Ify. Hem—” “Kalau lo memperhatikan gue pas kumpul, pasti tahu.” Rio tersenyum misterius, pikirannya dipenuhi sang gadis incaran sambil menatap sisa hujan yang menyapa di luar kafe melalui kaca transparan. “Gas.” “Apa?” “Chindai cantik, kan?” Bagas tak segan mengangguk walau setengah bingung. “Cantik. Manis juga, sih,” ujarnya jujur. “Kenapa? Kok lo enggak jelas, sih?” “Lupakan.” Rio membereskan laptop dan buku-bukunya yang berserakan, bahkan bersiul seakan tidak bersalah telah membuat penasaran orang lain. “Ayo, pulang. Ingat proposal kemaren. Minggu depan kumpul di rumah gue, kita bahas.” Bagas berdecak gondok karena interogasinya tidak kunjung berbalas. Namun, ia mendadak mendapat pencerahan selagi Rio menaikkan sebelah alis ke arahnya. “Semua beres di tangan Chindai. Calm down. Enggak ada yang namanya salah-salah lagi.” Respons Rio lebih daripada tersentak kaget hingga tumitnya menyangkut di kaki meja. Tatapan laki-laki yang paling berpengaruh di ekstrakurikuler musik itu tiba-tiba berubah menyelidik tajam. “Ulang omongan lo.” “Apa?” “Gas!” Bagas tertawa gembira sebab balas dendam sukses. Tanpa meladeni lagi, dirinya berjalan ke parkiran dengan Rio yang menyusul dan memanggilnya meminta penjelasan dan begitu memaksa. Aneh. Kemudian, Bagas menaiki motornya, lalu memasang helm. “Apa maksud lo?” Rio terlihat kian resah, pun pandangannya tampak menuntut kala Bagas terpampang nyata mempermainkannya.. “Jangan macam-macam.” “Enggak ada yang macam-macam. Kecuali ….” “Kecuali?” Gue suka dia … kayaknya. Bagas menggeleng pelan mendengar isi hatinya yang berujar tanpa dapat ditahan. Reaksinya tidak luput dari perhatian Rio, membuat Bagas lantas berpaling dan mengusir laki-laki itu dengan gerakan tangannya. “Gue mau pulang!” *** Pesan pemaksaan satu jam lalu makbul menyingkirkan rasa malas Bagas dan akhirnya mendatangi rumah Rio. Dasar, ketua umum. Seenak jidat mengumpul anggota tanpa persiapan di luar jam biasa ekstrakurikuler musik. Rencana awal minggu depan, ternyata berselang tiga hari setelah pertemuan mereka. Well, sejauh mata memandang, hanya beberapa yang rupanya diundang Rio. Jadi, Bagas memaklumi serta menganggap cuci mata ketimbang berdiam diri di hari Minggu tanpa pekerjaan yang berguna. “Gitar diservis aja, Yo, enggak usah beli. Menghemat pengeluaran dan waktu,” kata Bagas menimbang-nimbang ketika melihat catatan Rio yang disodorkan padanya. Begini-begini, ia merupakan orang kepercayaan Rio yang siap sedia membantu. “Gue juga pikir begitu.” “Cello dan Violin ditambah, sekalian seruling sudah patah semua. Gue malu kita tampil pakai alat musik seadanya.” Rio menganggut, menyetujui sepenuhnya saran Bagas—partner-nya bertahun-tahun yang tak pernah mengecewakan. Sekretarisnya belum hadir, sementara bendahara di dunia antah-berantah. “Ide bagus. Saran lain?” “Piano diganti baru.” “Mahal,” seru Rio menolak, tidak yakin uang kas cukup jika dibutuhkan sekarang. “Barang bekas, tapi masih bagus. Gimana?” “Boleh juga, sih, asal duit kita cukup. Ingat juga, biaya untuk lomba antar sekolah enam bulan dari sekarang butuh dana, jangan boros-borong,” kata Bagas panjang kali lebar. “Entar gue tanya-tanya ke anggota lain atau alumni.” Rio berdeham singkat, siap berganti topik. Bagas jika diajak diskusi, sampai pagi lagi pun sanggup, tetapi Rio yang malas meladeni. “Sebenarnya, gue punya kejutan buat ekstrakurikuler musik, makanya gue suruh beberapa dari kalian datang.” “Apa?” “Sabar dikit.” “Kita enggak musuhan, kan, Yo? Dari kemaren main rahasia melulu.” Rio mendengkus dalih menempeleng kepala Bagas yang juga langsung membalas tanpa pikir lama. “Lo juga, kan?!” “Lo yang mulai!” sahut Bagas berkoar-koar. Kemudian, obrolan panjang—on the way perdebatan—terputus tepat sapaan gadis cantik semampai yang tergesa-gesa menyerobot sisi Bagas. Michelle, pemegang takhta Dewi Artemis-nya SMA Rajawali, sedang menyengir lebar yang tertuju khusus untuk Rio dan Bagas. “Kenapa, Chell?” Rio menyulih heran sebab tahu Bagas tidak akan mengambil inisiatif bertanya bila tidak dipaksa atau menurutnya penting. Baru menampakkan diri, sekretarisnya itu sudah memancing ricuh. “Kak, Michelle izin.” “Lo datang ke sini baru aja, Chell, belum juga lama sedikit. Ralat, bahkan belum sampai satu menit yang lalu.” Bagas berdesis, mengomentari Rio yang terkadang amat lebay merespons sesuatu. Tak mungkin Rio menghitung terlalu rajin, kan? “Michelle mau ke luar kota, Kak. Artinya, enggak kumpul ekstrakurikuler musik juga selama enggak sekolah.” Kemudian, Rio mengangguk. Rasanya tidak berhak melarang walau hak sebagai ketua berlaku. Hanya saja, ia mengangankan gerangan yang akan siap sedia membantu kesibukannya. Pada akhirnya, tatapan Rio tertuju pada Bagas seiring mendapatkan ide. “It’s okay. Ada Bagas siap disuruh-suruh.” Mengenyahkan kurang ajarnya Rio, Bagas mengamati saksama Michelle. Gadis asal Sunda itu sangat pantas disebut perempuan tulen; modis dan feminim. Banyak laki-laki yang mudah terpincut pesona Michelle, tidak terkecuali Bagas yang sering kali mengaku sebatas kagum. “Mata lo bikin gue grogi, Gas.” Tiba-tiba Michelle menyadari pandangan Bagas ke arahnya, lalu tersenyum senang. “Kita pacaran kalau lo belum punya pacar,” kata Bagas, berniat bercanda. “Telat mikirnya, Bagas” Michelle mengulurkan tangan, berniat melakukan salam ala ekstrakurikuler musik dengan Bagas dan Rio yang menyambut saat itu juga. Entah disadari atau tidak, Michelle sedang terbang ke awang-awang. “Main-main doang, Chell.” Rio … seketika tatapannya horor pada Bagas. Ia nyaris menjitaknya lagi jika tidak ingat situasi dan kondisi. Kepekaan Bagas yang minim memang telah menyakiti banyak perasaan kaum Hawa. “Gue duluan, Gas.” Michelle tersenyum kecut setelahnya dan memilih menghadap Rio yang mengangguk. “Michelle permisi, Kak. Bye!” “Sampai bertemu di pertemuan selanjutnya.” “Siap, Kak!” Rio mengamati Michelle yang menghilang ditelan pintu seiring menghela napas panjang. Ia tidak mampu berkata apa-apa, yang ada berujung adu mulut lagi. Mungkin nanti Rio akan mengingatkan Chindai untuk tak mudah terbawa perasaan oleh kelakuan yang tidak memakai hati. “Lama-lama lucu, ya, lihat Michelle.” “Lo pikir cewek mainan, ha?” Tampaknya Rio tidak tahan mengajukan interogasi, terlihat melihat tawa tak bersalah Bagas yang mungkin saja sukses menyakiti hati seorang gadis ... lagi. “Apa, sih?” “Pikir sendiri. Sekarang kita harus rapat tanpa Michelle.” “Aneh lo!” titah Bagas yang balik cuek bebek membaca proposal di tangannya. Akan tetapi, ia dengan cepat juga tersadar satu hal sampai menggebrak meja dan beralih menatap Rio penuh makna. “Rio loyo!” “Hem.” “Gue izin enggak mendampingi lo, ya. Please, hari ini doang.” Rio menggeleng tegas. Sedikit-sedikit, ia tahu liciknya Bagas yang tak tahu malu bila sedang menginginkan sesuatu. “Enggak! Lo jangan aneh-aneh, Gas Meledak!” “Enggak peduli!” Bagas menjawab tidak mau kalah, khasnya. Ia bangkit dengan cengirannya dan menyisir rambut menggunakan sela-sela jarinya. “Lo … lo benar-benar anak buah enggak tahu diri, Gas!” “Lo harus dukung gue, ya, Yo!” Bagas lanjut berlari, melaksanakan keinginannya sedari tadi yang tertahan diskusi tak ingat situasi Rio. “Bagas!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD