9. | Perhatian di Kala Sakit

1401 Words
“Mau ngobrol sama Chindai, ya, Kak?” Bagas mesem memaklumi tanpa menjawab apa pun. Gebetan adalah gambaran diri. Jadi, ia tidak heran meratapi jiwa atraktif Karel ada pada Chelsea yang menyeringai tanpa dosa setelah bertanya. Bagas hanya mengangguk setelahnya agar tidak memperpanjang bahasan. “Chelsea memang begini, Kak, enggak bisa dikontrol.” Marsha mencubit lengan Chelsea, disusul pekik kesakitan empunya. Sungguh lebaynya mirip Karel saat dihakimi Randa. “Kakak pengen duduk sama Chindai?” tanya Marsha meneruskan. “Apa bedanya pertanyaan lo, Sha?” “Lo terlalu to the point!” “Lo juga!” Bagas geleng-geleng kepala karena kehadirannya malah terhalangi adu mulut tak berujung antara dua gadis. Mata Bagas menyipit, seketika tegang menyadari seonggok manusia di depan sana sedang bersimpuh lesu, memeluk meja, serta menenggelamkan wajah di lipatan tangan. Tidak mungkin salah lihat. “Hem, Kak.” Bagas menoleh segera, menunggu Marsha lanjut berbicara. Nyatanya, ia tak tahan sampai pertanyaan keluar dari mulutnya, “Chindai kenapa?” “Sakit.” “Sa-sakit?” Tidak menunggu lama, Bagas bersila sebelum menyentuh ubun-ubun Chindai. Rasa khawatir sontak menyelimutinya. Panas, padahal AC terasa menggigit. Dengan berbekal keberanian, Bagas menepuk pelan pipi gadis itu. “Ndai … Chindai. Bangun dulu, Ndai.” Tidak ada reaksi apa pun. Bagas tidak menyerah sedikit pun. Ia beralih merapikan poni Chindai yang cukup panjang menutupi kelopak mata itu, lalu menggoyang-goyangkan tubuhnya sebentar. “Wake up for a minute, Ndai.” Di sisi lain, Chelsea memungut ponselnya yang terkapar karena berdering. Arkian, terpampang nama Rio yang rupanya memikirkan kondisi Chindai, tetapi sementara tak dapat berbuat banyak. Takut Bagas mengetahuinya, Chelsea berpindah cepat untuk membalas pesan Rio. Biarkan Chelsea menjadi pemeran pembantu yang sangat berpengaruh di hubungan para tokoh utama, pikirnya saklek. Mario Aditya | Kalau Bagas sudah pergi, antar Chindai ke kamar gue aja. Chelsea Agatha Gue baper, Kak. :p | Kak Bagas so sweet. | Mario Aditya | Tapi dia begitu ke Chindai, bukan lo. Chelsea Agatha Suka benar, deh. | Mario Aditya | Dengar apa kata gue. Chelsea Agatha Iya, Kak Rio! | Di pihak lain, Bagas nyaris frustrasi karena Chindai benar-benar seperti tidak bernyawa, bahkan keringat dingin sudah mengalir di sekujur tubuh. Bagas sampai kenyir memarahi siapa pun yang terlibat di kedatangan gadis itu ke sini., alih-alih istirahat. “Kenapa kalian ajak kumpul kalau Chindai-nya sakit?” Mampus! Marsha menggaruk lehernya bertepatan tatapan tajam Bagas tertuju ke arahnya. Ia merasa bersalah seketika. “Kan kewajiban, Kak.” Bagas berdecak gondok. Kemudian, ia terus berupaya membangunkan Chindai daripada membuang waktu mengamuki orang lain. “Terus sudah minum obat?” Sambil meringis, silih Chelsea menggeleng. “Belum, Kak.” “Astagfirullah! Kalian ini temannya atau bukan, sih?” Bagas terlihat susah payah meredam emosi, bahkan terang-terangan mempertanyakan label sahabat yang dipegang Chelsea dan Marsha. “Bawa enggak?” “Sebentar. Biasanya Chindai bawa perkakas kesehatan, Kak.” Takut-takut Chelsea meraih tas yang melekat di paha Chindai. Ia membukanya, lalu akhirnya dapat bernapas lega meratapi obat-obat yang sudah Bagas rebut secara tidak layak. “Terima kasih.” “Chindai susah banget disuruh minum begituan, Kak.” “Hei. Bangun dulu, yuk,” titah Bagas lembut sekaligus terdengar menuntut selagi menggerakkan badan Chindai. Terbukti, gadis itu menggeliat di tengah-tengah tidurnya yang kurang nyenyak, tetapi tak juga membuka netranya. “Ndai …, Chindai ....” “Ngantuk, Chels, Sha.” Bagas tersimpul tipis mendengar gumaman Chindai yang sedikit serak. Kalau tak mengingat gadis di sisinya tersebut nyaris tidak sadarkan diri, ia pasti akan langsung mencubit pipi menggoda di hadapannya. “Ini gue, Ndai,” ucap Bagas pelan, penasaran pada respons Chindai selanjutnya. Betul sekali. Ajaib bin magic, Chindai tergabas mendongak hingga berbenturan dengan Bagas. Kemudian, ringisan gadis cantik itu menggema dan menyebabkan Bagas tak kalah terkejut dan mengusap keningnya. “Aw, sakit!” “Astaga, hati-hati!” Bagas tergabas membawa kepala Chindai di atas meja dan menidurkan kembali ke posisi semula. Dadanya lantas bertalu-talu hanya karena mendengar rintihan Chindai yang tidak main-main. “Jangan ceroboh kalau sakit, Ndai!” “Kak.” “Hati-hati.” Seperti perintah Bagas dan sentuhan alami yang diterimanya, Chindai meresapi nyeri melanda sebelum duduk tegak. Gugup menyelimuti, ia pula tidak tahu pendapat sekitar akibat terlalu fokus ke rasa sakit yang dialaminya. Seketika juga Chindai lupa caranya berpikir. “Kak, Chin—” “Lo sudah makan?” “Tadi. Sedikit.” “Lumayan, yang penting perutnya sempat diisi.” Bagas menaruh berbagai macam pil ke telapak tangan Chindai setelah membaca kegunaan di internet. “Gih, diminum.” “Enggak suka.” “Makanya jangan sakit.” “Kak Bagas,” rengek Chindai tak terelakkan. Perihal obat-obatan, ia sebenci itu. Sejak kecil, Chindai memusuhi penawar tersebut sebab terlalu bosan menyantapnya setiap jatuh sakit. “Diminum.” “Ogah, Kak.” “Diminum, Sayang.” Oke, baiklah. Chindai mengalah daripada baper menjadi-jadi. “Minumnya, Kak.” Seraya mengulas senyum tipis, Bagas membuka botol air mineral di pegangannya sebelum menyerahkan ke Chindai. Ia saja geli dengan ucapan sebelumnya, tetapi tidak berniat untuk menyanggah sama sekali. “Hati-hati.” “Chindai bukan mau nyebrang, Kak.” “Bukan waktu bercanda, Ndai.” Chindai bungkam, bertenggang keras menelan apa yang masuk ke mulut kecilnya. Pahit membekas di langit-langit indra perasa, menyebabkan Chindai nyaris muntah jika dirinya tidak dilatih dengan berdeham berulang kali. “Mau apa?” tanya Bagas yang menjadi kasihan melihat Chindai tersiksa. “Maaf, ya. Guebukan maksa, tapi, kan, demi kesembuhan lo juga.” Masih belum fokus untuk meladeni Bagas, Chindai menggeleng dan berbicara dengan salah satu sahabatnya, “Chels, minta permen kiss, dong.” “Apa, Ndai, lo mau kiss?” “Chels!” lirih Marsha geram, sedangkan matanya melirik Bagas yang melotot dan sontak berpaling. Satu permintaan terdengar ambigu, lainnya bergurau tak ingat situasi. “Enggak ada, Ndai,” lanjut Marsha mencoba waras. “Jangan dulu makan aneh-aneh.” Bagas menyentil kening berkeringat Chindai dan mengabaikan setitik kekacauan yang sempat diperbuat Chelsea. “Tapi, Kak—” “Gas, lo kumpul OSIS, tuh!” “Apa?!” Bagas balas berteriak, tidak terima kegiatannya diganggu begitu saja. Ia menatap tajam Rio yang melipat tangan di depan d**a dan mengode lewat litikan netra elangnya. “Ogah. Mending gue di sini. Duduk anteng.” “Lo jangan bikin malu ekstrakurikuler musik, ya!” tutur Rio tegas. “Buruan sana, Bagas! Kata Karel, kumpul kali ini penting!” “Dari kemaren juga penting. Katanya doang.” “Bagas!” “Rio, sekali doang gue minggat.” “Enggak. Cepat!” Rio mengetuk jam yang melingkar di pergelangan, memaksa Bagas yang malas-malasan meniru Chindai bersandar di badan sofa. Ia tak akan berbaik membuat jalan Bagas mudah untuk bermain-main, sementara adiknya bisa jadi telanjur baper. “Ada apa-apa, lo yang gue aduin ke Pak Adi.” Jika Rio mengikutsertakan pembina, Bagas tidak bisa apa-apa selain mengangguk enggan. “Iya, gue on the way.” “Sekarang!” “Sabar, sih, lo!” seru Bagas geregetan, lalu menoleh ke Chindai yang mencerling padanya. Ia berupaya tidak gemas begitu meratapi pipi Chindai yang sangat menggoda andai saja berani dicubitnya tanpa segan. “Ndai.” Mendengar deep voice Bagas mencuat ke permukaan, Chindai meneguk salivanya ke sekian kali. Rezekinya hari ini tidak tanggung-tanggung ternyata. “I-iya, Kak?” “Larang gue, please.” Chindai mengutuk nafsi di dalam hati. Lagi, Rio berperan perantara ia dan Bagas. Tidak berfaedah sama sekali, pikirnya. Entah kenapa, Chindai masih saja menganggap Rio-lah yang berada di balik semua keberuntungan takdirnya akhir-akhir ini. Ia hanya tidak mau berakhir sakit hati. “Amanah, wajib dilakukan, Kak,” ucap Chindai akhirnya. Bukan persetujuan atau penolakan, melainkan kalimat simpleks bermakna pendorong. “Semangat, Kak Bagas!” “Terima kasih.” Tak berjeda Bagas mengelus sayang puncak kepala Chindai. itu lebih cukup baginya karena Bagas tidak membutuhkan kalimat penuh muslihat yang bahkan membuatnya malas. Lebih tidak disangka, Chindai memahaminya. “Jaga diri lo baik-baik, ya. See you, Inai.” “Hati-hati, Kak.” Kata terakhir Bagas sekelibat angin di telinga semua orang yang mendengarnya. Chindai memutuskan tak menanggapi terlalu jauh, takutnya patah hati di kemudian hari. Namun, tidak diduga pipi Chindai memanas begitu menyadari pandangan menyelidik Rio, Chelsea, dan Marsha yang mengelilinginya. “Sana, lo istirahat di kamar, Dek!” Rio lantas menggeret Chindai yang pasrah. “Ada Bagas, bukan berarti lo bebas dari pandangan gue, adikku tersayang dan tercinta, Gloria Pandanayu Chindai! Jangan mudah baper, ingat, baik-baik di kepala lo!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD