22. | Cemburu

1032 Words
Adel Salsabilla | Warning. Kak Bagas di mode galak. Chindai membaca ulang pesan Adel dua jam lalu, sebuah pengungkapan keadaan Bagas yang terdengar kurang mengenakkan. Ia mempercepat langkah menyebrang ke rumah Rio bersama Chelsea dan Marsha. Selain ingin bertemu Bagas, Chindai ingat kewajiban anggota ekstrakurikuler musik mm membebani. Memang … belum apa-apa, Chindai sudah b***k cinta. Tak masalah selagi Bagas yang di-bucin-kan. Ia tidak tahu saja jika patah hati akan berkali-kali menyesakkan d**a. Hal tersebut dijadikan Chindai warning juga, alias tidak boleh terlalu terbawa perasaan oleh pembawaan Bagas. “Ekhem.” Keheningan terjadi sekejap Chindai, Marsha, serta Chelsea bergabung di tengah-tengah anggota. Satu angkatan bersila dan menunduk, sedangkan para senior berlagak tak memiliki dosa menempati sopa. Pemandangan yang mengejutkan, wajah-wajah baru turut hadir. “Siapa lagi belum datang alias telat?” Chindai mengernyit seraya memandang pelik sindiran halus Bagas. Bisa saja ia buka suara, tetapi tatapan Rio mengisyaratkan diam. “Kita lanjut diskusi,” ujar Rio menengahi. Bagas menggeleng tak terima. Sebenarnya, tidak semua disebabkan keterlambatan Chindai dan rombongan, melainkan kesalahan fatal tersebut bertepatan pembahasan puncak permasalahan internal yang dipendam para senior. “Dalam berorganisasi, kuncinya satu, yaitu tolong saling menghargai.” “Kita bertiga mengaku salah, Kak.” Chindai mengangkat tangan, berkata tanpa persetujuan. “Soal yang Kakak sebutkan, saya akan ibaratkan berikut ini. Jika di atas tak mencontohkan hal baik, bagaimana di bawah meniru?” “Kami enggak memerintahkan kalian sujud atau cipika-cipiki kalau ketemu. Cukup senyum, pertanda kalian adik kami. Apa sulit?” Baiklah, Chindai mengerti arah pembicaraan. Tampaknya, tak salah ia mewakili untuk melawan Bagas. “Lalu bagaimana tanggapan Kakak tentang senior sombong sewaktu ditegur?” “Tunggu!” Rio gesit menggebrak meja. “Apa benar?” Tak terkecuali, angkatan lima belas kompak mengangguk bersamaan. Hal tersebut mengundang ketegangan, apalagi tak gentarnya Chindai serta sikap tenang Bagas yang memanaskan keadaan. “See? It’s a fact, Kak!” “Kalian ja—” “Usah dilanjut.” Rio memotong perdebatan kedua insan yang sulit menemukan titik terang, padahal setahunya kemarin hubungan Bagas dan Chindai cukup romantis. Berita di forum mengumpulkan banyak bukti. “Fine.” Di penghujung kesabaran, Bagas menyamperi Chindai yang beringsut seketika. Seringai liciknya merunyamkan setiap langkah. “Kak—” Bagas memaksa Chindai berdiri dalam satu tarikan. “Ikut gue.” “Ta—” “Inai.” Chindai membutuhkan bantuan. Tolong, fungsikan kewarasan Rio kali ini. Ia tak mampu sendiri, sementara seluruh perhatian menghadapnya. “Bagas!” Rio menyahut, secepat kilat menahan satu tangan Chindai yang tidak digenggam Bagas. Seorang pun tak boleh berlaku seenak jidat mengenai sang adik angkat, itu prinsip hidupnya. “Gue rasa, lo bukan siapa-siapa Chindai yang berhak melarang.” Rio mesem miring, memaklumi Bagas yang tak mafhum hubungannya dan Chindai. “Terus apa hak lo?” “Urusan penting.” Selanjutnya, melalui teriakan Bagas menginstruksi semua anggota untuk tidak terfokus pada ulahnya. Di genggaman penuh kuasa dua laki-laki tampan nan posesif tidak baik bagi detak jantung normal. Sahabat-sahabat Chindai tak berkutik, belum lagi mendadak Bagas melepas paksa genggaman Rio. “Bagas!” “Izin bawa Chindai,” ucap Bagas selangkah dirinya kembali membawa Chindai berlalu diiringi teriakan sang pemilik rumah. *** “Mau ke mana, Kak Bagas? Astaga, pelan-pelan!” Chindai mengerang sebal. Setelah melepaskan lengannya yang cukup nyeri, Bagas menyuruh Chindai menaiki motor hanya melalui gerakan dagu. Tentu saja ia tak akan sembarang menurut. “Inai.” “Gu—” “Apa susahnya?” tanya Bagas menusuk. Ia menarik tangan Chindai agar bergegas sebelum Rio merecoki kembali. “Iya, Kak. Gu—Aaa!” Bagas mengerjap, sedetik saja lengah tak mencekal tangan Chindai, dipastikan gadis itu terkena musibah terjatuh dari motor sebab tidak mampu menyeimbangkan tubuh. Sampai akhirnya, Chindai duduk tenang di jok sesudah berbenah diri. Kejadian tersebut sangat singkat, berlalu bagai angin. “Lain kali pegangan,” tutur Bagas pelan, tetapi diam-diam menghela napas lega. “Iya, Kak.” “Jangan protes, gue pengen keliling doang.” “Iya, Kak.” Chindai mempertahankan nada juteknya meskipun gugup. Di sisi lain, Bagas membiasakan telinganya mendengar kata setuju Chindai yang monoton. Ia benar-benar geregetan dengan panggilan gadis itu “Iya, Kak. Iya, Kak,” ucap Bagas memparodikan. Chindai mencebik, baginya tabu melihat emosi Bagas tidak stabil. Rio menghubunginya beberapa kali—baik suara maupun teks—dan satu pun tidak Chindai balas karena ujung mata Bagas bak laser yang otomatis mengawasinya. Mungkinkah ini yang dimaksud Adel tadi? Ya, bisa jadi Bagas juga memikirkan fragmen kemarin. Jujur, Chindai pun sama. Namun, tidak ada yang perlu dipermasalahkan lebih lanjut andai saja bisa sama-sama tenang. “Alvin pacar lo?” Bagas memulai, menghilangkan segala impossible yang menyelimuti keduanya. “Teman sekelas doang, Kak.” Chindai melirik spion, sadar Bagas saat menatapnya lekat. “Kenal sejak SMP.” “Gue kasih gambaran, ya. Sekiranya enggak tertarik, jangan terlalu dekat. Nanti dia nembak, lo bingung.” Bagas memberi petuah dasar sebagai laki-laki. “Cowok cari perhatian cewek, pasti punya tujuan.” Di kesunyian, Chindai meringis membayangkannya. Bagaimanapun, Alvin adalah teman yang baik, tidak terlintas akan lebih. “I think he likes you. My feelings,” tambah Bagas, agak tak suka mengungkap hasil analisis sementaranya. “Semoga enggak, Kak. Gue sudah ” gumam Chindai, seketika rasa penasarannya ingin tersampaikan. “Kali aja lo, Kak. Yang suka banyak, masa enggak ada pacar?” “Bukannya lo yang tiap malam chatting sama Karel dan Randa, masih cowok-cowok lain. Benar, kan?” Bagas tidak membual. Karel serta Randa saban hari pamer pesan bersama Chindai kendati tak ada yang bisa dikatakan spesial—gadis itu tetap cuek menyangkut lawan jenis. Di koridor kelas sebelas pun, nama Gloria Pandanayu Chindai tak absen dan terdengar akrab di berbagai kesempatan. “Mereka kenal, gue enggak.” “Kalau buka hati, buat gue aja.” Damn. Chindai gelisah bukan kepalang dan bertambah panik ketika Bagas menyungging senyuman yang terpampang di spion lagi. “Ndai.” “I-iya, Kak?” cicit Chindai canggung. Bagas mesem tipis setelahnya, sementara kendaraan yang ditunggangi mereka membelah kota. Ini seperti hari teromanstis yang baru dijalani Bagas seumur hidupnya. Suatu saat, ia akan mencobanya lagi ... tentu ... tentu bersama Chindai seorang. “Kak—” “Gue serius, Ndai, asal lo tahu aja.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD