12. | Kantin dan Kehebohannya

1347 Words
Niat Bagas menerima ajakan Karel dan Randa ke kantin guna mengisi perut terhalang suruhan tidak beradab Rio yang mengatakan sedang lomba basket melalui teks. Bagas masih bergeming di kursi, malas menanggapi dering alat komunikasinya, tetapi ketua umum ekstrakurikuler musik di ujung sana tak mengimbau. “Angkat, Gas,” saran Randa, diikuti anggukan Karel. “Tega lo sama yang lebih tua. Gue aja stuck panggil Kak Rio, enggak kayak lo.” “Formal, enggak asyik.” Bagas menanggapi santai singgungan Karel dan Randa. Namun, tetap saja ia menganggap Rio tidak terlalu cocok dihormati walau kewibawaan laki-laki itu tidak perlu diragukan lagi. Kemudian, cobaan Bagas tak berhenti sampai sini, makin pusing karena Rio tidak menyerah. Ia terpaksa memungut ponsel serta membalas pesan yang masuk. Namun, seperti dugaan … Rio menelepon! “Apa salahnya angkat dari tadi, sih, Gas?” “Sungkan,” kata Bagas tak berbohong. “Cari Chindai, dong.” “Kenapa Chindai?” “Kenapa si manis, Kak?” Bagas mendelik, geram dengan sahutan kompak kedua sahabatnya yang terang-terangan menetapkan Chindai sebagai role model pacar idaman. Gadis itu memang menjadi idola para kaum Adam di SMA Rajawali yang paling hangat dibicarakan akhir-akhir ini mengalahkan isu tentang putra-putri sekolah. Kali ini, Bagas tidak menampik—setidaknya, untuk di dalam hati. Ia tak suka sedikit pun jika Chindai terus diperebutkan, sementara dirinya berusaha bermain cerdik walau juga belum berpengaruh apa-apa. “Astaga. Kalian juga suka dia?” seru Rio agaknya terkejut. “Kita mah sayang Chindai banyak-banyak,” ucap Randa menggebu-gebu, tidak mengacuhkan kesiapan salah satu sahabatnya untuk menendang keberadaannya kini. “To the point, please.” Seperti dugaan, Bagas menuntut Rio, tak ingin telinganya menangkap berjibun pujian tertuju pada Chindai. “Sabtu gue kasih tahu. Paling penting, lo harus ketemu Chindai sekarang dan suruh dia angkat telepon gue.” “Aneh lo.” “Buruan!” Rio melakukan penekanan di katanya. “Iya.” Terputus. Singkat, padat, dan tak gamblang. “Dasar, ketua umum enggak becus! Merepotkan banget!” Bagas menggumam seraya beranjak, lalu mengantongi benda persegi panjang tersebut ke saku celananya. Pun kekesalannya sudah di level atas. “Gas!” pekik Karel tiba-tiba bersama cengirannya yang khas. “Lo mau ketemu si manis, kan, ya?” Bagas mengangguk kecil, sementara kupingnya memanas sebab panggilan khusus pemberian Randa. “Kalian enggak boleh ikut.” “Wah, gue dan Karel wajib ikut. Mau ketemu jo—” “Enggak!” Bagas membentak hingga Karel sempat terperanjat. Sayangnya, Randa sendiri telanjur tebal muka dan lanjut menggodanya habis-habisan. “Tancap gas, Rel. Jangan mau kalah!” “Dengar gue.” Nada bicara Bagas sesudahnya terdengar menusuk, pandangannya bak laser menyorot Karel dan Randa. “Chindai … hak paten gue!” *** “Ndai, siapkan mental lo,” gumam Chelsea tegang, disusul diamnya Marsha dan Salma yang dengan cepat sama-sama memahami. Ketiga remaja itu menikmati makanan masing-masing sambil duduk mengarah ke Chindai yang sangkat tidak merasakan kehadiran tubuh tegap Bagas di belakangnya. “Kalian kena—” “Ndai.” Gadis bersebutan Chindai tersebut mendongak, serta-merta melotot dalam usaha kembali melihat ke arah para sahabatnya. Namun, gagal. Ia mendadak menjadi sekaku papan di hadapan laki-laki tampan dengan kacamata yang bertengger di hidung bangir itu. “Kak Bagas?” “Halo, Manis!” Tidak ketinggalan, siulan Randa dan sapaan Karel mengagetkan ketiga gadis yang mendiami meja panjang tersebut. Bukan hanya itu, kantin sekejap heboh menyaksikan para primadona sekolah berada di satu frame. Sayangnya, yang dijadikan primadona tak acuh sama sekali. “Hai, Kak.” Chindai keheranan, apalagi Bagas belum mengeluarkan sepatah kata meski sudah menegur terlebih dulu. “Kak Karel dan Kak Randa, kenapa?” “Alhamdulillah. Enggak sia-sia jampi gue semalam, Ya Allah!” tutur Randa mulai membual. “Sujud syukur diingat calon pacar.” Karel berdeham singkat guna meminta perhatian lebih karena terus diabaikan oleh sepasang yang saat ini tengah bertatapan seakan dunia milik berdua. “Halo, Chindai sayang. Halo, Chelsea sayang.” “Kak, bangga playboy?” Sahutan Salma mengundang tawa renyah seluruh yang mendengarnya, termasuk Bagas dan Chindai. “Karel f**k boy, enggak level playboy.” “Makanya ditolak Chelsea terus,” kata Marsha menyambung perkataan Randa yang kentara mengejek. Kemudian, gelak tidak berhenti menghiasi ramainya tempat mengisi kekosongan perut tersebut dan membuat Karel—khususnya—memberengut. Bagas menarik Chindai beranjak, lalu merapat padanya hingga jarak antar mereka begitu intim. Ia berusaha mendalami netra gadis kecokelatan gadis itu. “Kenapa takut pas gue datang ke sini, hem?” tanya Bagas tidak berbasa-basi. Ia tahu di sekitar penuh bisikan-bisikan menyebalkan. “Gosip, Kak,” ungkap Chindai memilih jujur. Menjadi pusat perhatian Bagas adalah hal menyenangkan, tetapi mengandung racun. Tidak elegan kalau besok Chindai dilabrak penggemar-penggemar Bagas seperti novel yang sering dibacanya. Kekehan Bagas terdengar lepas nan garing, tak memedulikan tatapan melongo orang-orang. “Ndai, Chindai. Lo sepolos itu?” “Hobi banget ketawain gue.” “Lo lucu.” “A-apa?” Bagas terbahak-bahak, nyaris bisa dikatakan sedikit mengerikan. Agak posesif, ia bergeser menghalangi Karel dan Randa agar tidak menelaah senyum lugu Chindai. “Kak,” cicit Chindai, napasnya terhenti sebab kaget. “Gue sudah bilang dari kemaren. Iyain aja, beres. Dituduh pacaran … bilang iya.” Chindai menggigit bibir bawah, untunglah tenaga yang berasal dari bakso Mang Ghani membuatnya tak runtuh. Bagi Chindai kini, Bagas terasa dekat dan terhalang di waktu bersamaan. “Kakak kenapa cari gue?” “Handphone lo mana?” “Kelas, Kak.” Penggambaran di meja yang sempat ditempati Chindai sebagai berikut; Karel memangku dagu serta Randa membagi berat badan—meletakkan kepala di pundaknya. Di sisi lain, Chelsea memfoto Bagas dan Chindai, Marsha menghabiskan baksonya, dan Salma memijat keningnya yang berdenyut. “Memang kenapa, Kak?” tanya Chindai, bingung atas maksud tujuan Bagas menemuinya di lokasi terbuka yang rawan. “Lo dicari Rio.” “Kak Rio di mana?” “Lomba basket.” “Lalu?” Telapak tangan Chindai menyentuh pergelangan Bagas entah sejak kapan, membalas sentuhan laki-laki itu di punggungnya. Berpikir negatif, inilah bagian dari agenda Rio sebagai penyambung hubungan Bagas dan Chindai. “Enggak tahu, dia cuma suruh gue cari lo.” Chindai mengangguk canggung. “Enggak harus sekarang, kan?” “Iya, Sayang.” Masyaallah! Allahuakbar! “Gas, lo sehat?” Randa menyulih, bergidik ngeri berbarengan Karel bergegas pindah ke samping Chelsea—sekalian mencari kesempatan dalam kesempitan. “Gue ngomong sama Chindai, bukan lo,” ujar Bagas keki. Karel mendengkus. “Jawab, Manis, wajib!” Stay cool, Ndai, be calm. Chindai yang tersudut hanya bisa menggaruk pelipis. Diyakini forum sekolah akan penuh oleh wajahnya satu jam ke depan, belum lagi gosip melenceng mengatasnamakan Chindai—sang pembuat kejadian langka di kantin. Arkian, lumayan sesal tidak, sih, kalau agenda hari ini dibiarkan selesai percuma? “Enggak, ah. Pacar Kak Bagas aja bukan,” sahut Chindai mendramatisir keadaan. “Jangan ngomong begitu. Gue tantang pacaran, lo enggak mau.” Skakmat! Nyatanya, Chindai sendiri kehabisan kata-kata. “Mana kamera, mana? Enggak kuat Abang, Dek!” Randa mencak-mencak heboh. Walaupun tidak dikatakan sekadar bercanda menyukai Chindai, ia tak masalah mundur untuk Bagas. Randa ataupun Karel tidak se-toxic itu di zona pertemanan. “Lebay!” titah Bagas, benar-benar mendeklarasikan pemenang di dalam diri. “Bodoh amat!” Karel tak kalah gerabak-gerubuk, menghentakkan tumitnya ke kaki meja. “Cekik Abang, Dek, cekik!” Chindai mengerjap, cengo sebab lebaynya Randa dan Karel—seperti kata Bagas—seolah melupakan umur. Ia menatap Bagas heran, lalu bertanya eksplisit yang nahasnya dapat didengar semua orang, “Teman Kakak sudah gila?” Randa tak ayal mengumpat tanpa suara. “Pertanyaan lo bagus banget, Manis!” “Dengar omongan Chindai, rasanya sakit tak berdarah,” sambung Karel pura-pura nelangsa. Bagas menjawat Chindai kembali, segera menyeretnya pergi dari segerombolan umat perusak mood. “Lo selesai makan, Ndai?” Setengah gelisah, Chindai mengangguk karena Bagas bersikap masa bodoh terhadap lirikan iri dan dengki semua pasang mata. “Temani gue makan. Mau, ya?” “Iya.” Bagas bersorak, teriakannya menggema memesan bakso Mang Ghani yang juga disarankan Chindai. “Good then. Terima kasih, Inai.” “Sama-sama, Kak.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD