Istri Kampungan
"Aku makan di belakang saja, Mas. Nanti Mas jijik makan bersamaku."
"Kenapa baru nyadar sekarang? Kemarin-kemarin ke mana aja?"
Pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban terlontar begitu saja menanggapi ucapan Dewi. Pasalnya, sejak awal kehadirannya memang sudah membuatku mual.
"Maaf. Ini untuk yang terakhir kali kalau Mas Arjun nggak berkenan."
"Sudah dari pertama kamu menjadi istriku sebenarnya aku keberatan. Cuma kamunya nggak nyadar diri."
Setiap perkataannya sengaja kupatahkan. Biar dia tak betah tinggal di sini, supaya dia menyerah dan akhirnya minta cerai. Jangan sampai orang-orang kantor dan teman-temanku tau lebih dulu kalau aku sudah menikahi gadis kampung.
Dewi membawa piring beserta segelas air putih ke belakang. Kurasa, dia akan makan bersama dengan para pembantu. Biar saja, biar dia sadar diri kalau kekampungannya tidak bisa disandingkan denganku yang seorang pebisnis besar, pemilik perusahaan.
****
Satu hari sebelum akad pernikahan itu dilaksanakan ....
"Sebagai pemilik perusahaan, aku sibuk sekali, Oma."
"Pemilik perusahaan hanya jika kamu menikahi Dewi. Itu syarat mutlak. Titik. Kalau nggak suka, cari saja kehidupan lain yang terbebas peraturan Oma di dalamnya."
Aku terlibat perdebatan dengan Oma. Orang yang paling aku hormati ini memaksa agar mengutamakan urusan pribadiku lebih dulu.
"Dewi lagi, Dewi lagi! Dewi yang mana, sih? Sejak seminggu terakhir ini Oma selalu menyebut namanya, sedangkan orangnya saja macam hantu, nggak ada wujudnya."
"Hush! Berani mengatakan seperti itu lagi, Oma tidak segan-segan menyuruh pak Ramdan untuk mengalihkan seluruh warisanmuke atas nama Dewi. Lihat saja. Kalau dalam dua hari ini kamu masih bilang sibuk, akan Oma wujudkan ancaman Oma ini."
Wanita berambut putih dengan potongan cepak ini hobi sekali merepet sepagi ini. Aku saja belum sempat sarapan, tapi pagi-pagi ini sudah disuguhkan santapan berupa omelan beserta ancaman.
"Masih mau bilang sibuk?" kecam Oma sambil membuka kacamatanya hingga memperlihatkan pelototan.
Tatapan mata seperti ini yang mengintimidasi sehingga terpaksa aku menjawab, "Oke. Nggak sibuk. Terserah Oma maunya bagaimana."
"Bagus. Kita berangkat sore ini juga."
"Gi la. Nggak secepat ini juga dong, Oma. Aku kan butuh-"
"Oke. Oma mau siap-siap sekarang juga. Pernikahanmu akan dilaksanakan besok siang."
Aku bahkan belum sempat melanjutkan kata-kataku, tetapi Oma sudah berdiri dari tempat duduknya.
Masalah sebesar ini Oma tidak mengajakku berkompromi lebih dulu. Menikah kan bukan hal sepele? Bagaimana mungkin aku memutuskan rencana secepat ini, sementara aku sudah memiliki kekasih yang siap kunikahi?
Baru akan mengajukan protes, Oma sudah berjalan ke luar dari ruang kerjaku.
Kalau sudah begini, tamatlah riwayat nasib percintaanku dengan Vera, wanita yang kujadikan akan segera kunikahi akhir tahun ini.
.
Nasib sial telah memihakku, sehingga harus menikahi wanita yang sama sekali belum pernah kujumpai. Di sebuah perkampungan terpencil, jauh dari keramaian dan hanya bisa dilalui oleh kendaraan roda dua, akhirnya pernikahan itu terlaksana.
Tidak ada pesta, jauh dari kesan mewah dan gaya hidup glamor seperti kebiasaanku, wanita bernama Dewi Shintya itu resmi menjadi istriku.
Tak ada yang menarik seujung kuku pun dari diri Dewi. Pokoknya kampungan level maksimal. Kalau digambarkan, penampilannya sudah seperti wanita yang hidup di tahun 90-an.
Entah bagaimana gadis ini bisa hidup norak dan kampungan seperti ini. Padahal kampung mereka sudah ada listrik, jaringan internet juga ada meskipun hilang timbul. Tetapi gadis ini sama sekali tak tersentuh oleh aroma kemodernan zaman.
Aku sampai geleng-geleng kepala di depannya sesaat setelah dia resmi menjadi istriku. Rambutnya panjang dikuncir menggunakan karet gelang berwarna merah, mengenakan atasan kemeja jadul, rok span jadul dan dilengkapi dengan sendal jepit berwarna kuning.
Astaga. Pembantu di rumahku saja penampilannya tidak sekampungan ini.
Oma langsung memboyongnya untuk menginap di hotel. Penampilannya sampai mengundang perhatian penghuni hotel yang kebetulan berpapasan dengan kami.
Beruntungnya, tempat ini berada jauh di luar kota, sehingga tidak ada yang mengenali kami, terutama diriku.
Malam pertama kami pun bukan malam pertama impian seperti kebanyakan pengantin baru. Dewi aku perintahkan tidur di sofa, sedangkan aku di ranjang. Yang penting, kami sama-sama satu kamar, dan Oma pun taunya kami sudah menjadi pasangan sah suami istri tanpa perlu melihat adegan di dalamnya.
Aku langsung membawanya pulang. Bagaimana pun, status Dewi adalah seorang istri bagiku. Tak memungkiri jika aku juga kasihan padanya yang sudah tidak memiliki siapa-siapa.
Sampai saat ini, Dewi masih kuperintahkan tidur di sofa dalam kamar. Mana berani dia membantah perkataanku. Menatap secara langsung saja tidak pernah dilakukan, apalagi sampai memprotes aturan yang kubuat.
Memang sudah menjadi kewajibannya menuruti semua perintahku, termasuk tidak mengaku sebagai istriku pada siapapun yang datang bertamu ke rumah ini. Itu adalah aturan pertama yang tidak boleh dilanggarnya.
**
Malam itu, Dewi mengetuk pintu ruang kerja saat aku sedang lembur.
"Ada apa? Nggak liat aku sedang kerja?" Ketusku melihatnya berdiri di ambang pintu.
"Maaf, Mas. Boleh mengganggu waktu Mas Arjun sebentar saja?"
"Kamu sudah menggangguku sejak detik pertama berdiri di situ."
"Iya, Maaf. Tapi aku butuh bantuan Mas Arjun."
"Bantuan apa? Imas ke mana? Ada Jono juga kan?" sergahku menyebut dua nama pembantu.
"Iya. Tapi aku maunya sama Mas Arjun."
Dewi menunduk setelah mengatakan kemauannya.
"Sudahlah udik, banyak maunya pula." Omelku, lalu beranjak mendekatinya.
"Ada apa?" tanyaku setelah berhadapan dengan Dewi.
"Kakek menitipkan sesuatu padaku, Mas. Kakek bilang, aku boleh menggunakannya kalau mau membeli sesuatu."
Dewi mengeluarkan sesuatu dari saku rok jadulnya.
ATM? Dewi punya ATM?
"Dari mana kamu mendapatkan ATM ini?" tanyaku menyelidik.
"Dari kakek."
"Memangnya kamu mau membeli apa?"
"Baju sama sendal." Dia menyodorkan benda itu padaku.
"Nggak usah pakai. Kamu bisa belanja menggunakan uangku," balasku tanpa menerima ATM Dewi.
"Tapi kakek berpesan kalau aku nggak boleh merepotkan orang lain."
Aku berdecak, lalu menggaruk kepala yang tak gatal.
“Oke. Anggap saja aku suamimu. Jadi, semua kebutuhanmu itu menjadi tanggunganku.”
“Aku nggak bisa, Mas. Kata kakek, aku nggak boleh merepotkan orang lain.”
“Aku ini bukan orang lain, Dewi! Lagipula, kamu itu sudah merepotkan aku sejak awal. Jadi, nggak usah sok-sokan nggak punya salah.” Suaraku meninggi menanggapi ucapannya. Kesabaranku sudah sampai di ubun-ubun rasanya.
"Maaf, Mas."
"Maaf lagi, maaf terooos ...."
“A-aku disuruh kuliah juga. Makanya nggak mau merepotkan Mas Arjun terus-terusan.”
Karena bentakanku tadi, Dewi berbicara masih sambil menunduk. Dia juga terlihat takut-takut, tetapi tetap saja masih bersikeras ingin menggunakan ATM itu.
“Pakai sok-sokan mau kuliah. Memangnya berapa uangmu sih! Kamu tuh ya, sudah menikah nggak perlu kuliah lagi.”
Akhirnya, aku menyambar benda pipih itu, lalu membawa ke meja kerjaku.
“Kamu tunggu di bawah. Sebentar lagi aku turun,” ucapku.
Tiba-tiba mendung di wajahnya menghilang. Sekarang bersinar terang, bahkan senyumnya tampak mengembang.
“Kita sekalian belanja kebutuhanmu,” ucapku lagi.
Tanpa menanggapi lagi, Dewi berbalik dan pergi. Dia terlihat senang karena ini adalah permintaan pertama yang aku kabulkan.
.
Aku membawa Dewi ke sebuah toserba, tak jauh dari rumah. Di sana ada sebuah ATM. Jadi, aku tak perlu payah-payah berkeliling membeli baju dan sendal untuknya.
Selama satu bulan menjadi istriku dan tinggal bersembunyi di dalam rumah, baru kali ini Dewi melihat keadaan luar. Dia terlihat takjub.
Bukan. Terlihat kampungan lebih tepatnya. Karena setiap saat dia menjerit histeris melihat sesuatu yang kurasa belum pernah dilihat sebelumnya. Misal saja melihat mulut patung yang bisa mengeluarkan air mancur, atau melihat permainan anak-anak yang bisa bergerak sendiri.
Aku sampai harus memperingatkannya hingga agar tidak bersikap berlebihan. Sebab, sikapnya yang kampungan itu bisa mempermalukan aku. Dewi pun terlihat takut ketika kuperingatkan.
Ah, entahlah. Aku sudah kehilangan kesabaran rasanya. Tapi mau bagaimana lagi. Satu-satunya solusi adalah mengisi stok amunisi kesabaran untuk menghadapinya.
“Ikut aku masuk!” perintahku ketika sampai di depan sebuah ATM.
Dewi menurut dan mengekor di belakangku.
“Dengar, Wi. Benda ini punya nomor pin. Kalau kamu nggak hafal atau lupa, uang di dalam sini nggak bisa diambil,” ucapku menerangkan.
Aku menyuruhnya menghadap ke mesin yang belum kugunakan fungsinya.
“Iya. Kata kakek ....” Dia menggantung ucapan. Mencoba-coba mengingat sesuatu.
“Nomor pin, Dewi, jangan sampai lupa!” bentakku dengan suara kasar.
“I-iya, tanggal lahirku, Mas.”
Dengan kesal, aku menghadap mesin lalu memasukkan kartu ATM. Aku harus memastikan saldo di dalamnya sebelum menarik uang uangnya. Jangan-jangan isinya kosong.
Saat aku mengecek saldo, mataku langsung terbelalak melihat sederet angka yang memanjang.
“Benar ini ATM-mu, Wik?” tanyaku tanpa menoleh. Mataku sudah terlanjur tersihir ke layar mesin.
“Iya, Mas. Kenapa, Mas? Apa nggak ada uangnya?”
Pertanyaannya tidak sanggup lagi kujawab.
“Jangan-jangan, yang itu yang nggak ada uangnya. Pakai yang ini saja, Mas.”
Ucapan Dewi membuatku menoleh. Dia mengeluarkan dua kartu ATM yang berbeda. Aku ingin menolak dengan mengatakan bahwa ATM pertama sudah cukup untuk membeli toserba beserta isinya. Tetapi Dewi sudah terlanjur menyodorkan ATM yang lain.
“Maaf. Aku nggak tau kalau isinya kosong,” ucapnya dengan takut-takut.
Sangat penasaran, akupun menyambar dua ATM itu, lalu mengecek saldo masing-masing.
Dan lagi. Aku seperti orang d***u yang melihat keajaiban dunia. Sepertinya raut wajahku lebih udik dari Dewi saat melihat mainan anak-anak di jalan tadi.
“Mas Arjun, apa yang itu tadi masih nggak ada isinya?”
Aku berganti menatap Dewi, lekat-lekat dan tak sanggup mengatakan apapun.
"Mas Arjun kenapa? Kok, melihatku seperti itu?"
“Siapa sebenarnya kamu, Wi?”
Dia jelas terperanjat mendengar pertanyaanku. Dia sampai mundur dua langkah.
"Siapa kamu sebenarnya?" Kali ini pertanyaan serupa bentakan terlontar dengan kencang.
“A-aku ya, Dewi, Mas. Dewi Shintya cucunya almarhum kakek Suwito.”
Bukan. Bukan jawaban itu yang ingin aku dengar.
Kenapa dia bisa memiliki uang sebanyak ini? Itu yang ingin aku tau.
Aku cepat-cepat menarik ATM terakhir yang masih tertinggal. Dadaku berdebar-debar sejak pertama melihat deretan angka-angka itu. Tanganku pun gemetar mengantungi ketiga kartu milik Dewi.
"Tolong katakan dengan jujur, siapa kamu sebenarnya?"
Aku terus menatap Dewi tanpa berkedip, hingga membuatnya semakin ketakutan.
Bagaimana bisa gadis kampungan ini memiliki kekayaan yang lebih besar dari total seluruh aset yang kupunya?
****