TIGA

1412 Words
Menurutku, hal yang paling memalukan itu semodelan kayak artis yang udah nikah, gemborin cinta ke se-Nusantara bahkan belahan dunia sana, tiba-tiba harus saling singgung di pengadilan agama, rebutan hak asuh dan saling ungkap kesalahan. Terus ada lagi, pasangan yang masih ingusan alisan piyik alias baru sedetik menyentuh masa baligh dan udah berani gamblangin 'cinta dan ketulusan'. Ya ampun, sebetulnya aku nggak ada masalah sama pasangan muda ini, cuma kasihan aja gitu. Umur kayak mereka terlalu sayang buat dihabisin sama hal-hal menye-menye. Dan, ternyata, nggak cuma mereka aja yang bisa mengalami hal memalukan. Aku sama manusianya juga. Dari tadi aku udah sumpah serapah saking malu campur marah campur semuanya. Dalam hati tapi. Gimana enggak? Bos Dimas minta ditemenin ke K-kafe karena dia penasaran sama menu di sana sekaligus mau ngobrol dan ngucapin terima kasih ke Mas Owner itu. Bukannya apa ya, ini masalahnya seluruh penggguna media sosial di Indonesia juga tahu kalau aku pernah mengalami insiden memalukan waktu itu! Dasar memang lobang bawah suka nggak sopan kalau mau mengeluarkan tamu. Seharusnya kan aku bisa siap-siap bawa pembalut atau apa kek. Dan, aku harus mengakuinya sih aku yang bodoh. Tiga hari sebelumnya aku memang sudah merasakan tanda-tanda; jerawat muncul satu-dua, pinggul pegal dan d**a terasa sakit. Tapi kan ya, saat itu aku mau ketemu sama owner gitu lho! Meeting itu namanya! Dan, aku kalau mau meeting yang diperhartiin fisik mulu, sih. Rambut yang harus badai, pilihan warna lipstik kudu nyambung sama blush on dan eye shadow. Jadi ya gitu, yang bawah sudah nggak kepikiran. Dan, semenjak hari itu, aku kirim surat perjanjian lewat email, nggak resmi-resmi amat sampai perlu pengacara kok. Ya namanya kerja sama sama restoran, warung makan, bahkan profil si owner aja nggak gitu. Apalagi ini cuma masalah makanan. Cuma karena Si Mas Owner itu agak belagu ya, pakai bilang nggak tertarik di awal. Untung gan... "Kamu nggak mau turun?" "Saya boleh tunggu sini aja nggak, Pak?" Aku nyengir, sedangkan dia udah lepas seatblet dan lihatin aku. Susah deh kalau dia udah kasih tatapan begitu. "Saya agak nggak enak badan ini, Pak." "Nggak enak badannya kamu bisa ngabisin burger dua sama cola ya, Ga?" Ih, dia ini tau aja sih apa yang kumakan! Kalau begini caranya, coba bilang sama aku gimana caranya supaya aku berada di Anti Baper-Baper Club. Dengan terpaksa, aku ikutan buka pintu mobil dan ngintilin dia di belakang. Dan ini dia yang paling aku benci dari fakta bahwa aku sekretarisnya; berjalan tertinggal jauh di belakang. Bukan karena nggak bisa pakai heels lho ya. Sorry to say, tapi aku tuh udah pakai heels sejak aku baru tahu namanya buat makan itu ya mulut. Pokoknya aku dan heels berteman dalam sepi deh. Tanpa heels apalah arti dandananku berjam-jam itu. Tanpa heels, pilihan pakaian modis—walau murahan—tak ada artinya. Jadi, aku selalu berdoa agar para bos di muka bumi ini sadar kalau kami jalan penuh irama. Nggak bisa serampangan kayak anjingnya tetangga Sarah itu. Dan, sialnya aku hari ini memakai span yang tambah bikin aku kewalahan membuntuti Bos Dimas. "Gangika kamu jalan dihitung ya?" Dia sudah berbalik aja. Lagi pasang gaya songong banget sekarang. Satu tangan di kantung celana dan lainnya di samping tubuh. "Saya peringatin dari sekarang, buang mimpimu buat jadi Miss Universe." "Siap, Pak!" Aku nyengir begitu sampai di dekatnya. Sementara dia melengos sebelum melanjutkan langkah. "Saya beneran nggak enak badan, Pak. Saya izin pulang boleh? Jamnya saya ganti lembur deh bantuin Bapak ngapain aja. Sumpah." "Saya nggak mau jawab." "Bapak tau nggak sih kalau interaksi kayak kita gini ujung-ujungnya bakalan nikah di ending-nya?" Itu sih mauku. Doaku. Dan harapanku. Dimas tertawa meremehkan sambil tetap melangkah selebar p****t Nicky Minaj. Lihatlah aku, sedang tergopoh ngimbangin dia sudah kayak Ariana Grande lomba besar-besaran p******a sama Duo Serigala. Kalah telak! Kamu dukung siapa, anyway? "Saya nggak suka kamu. Sampai akhir. Kamu yang suka saya." "Aku sih yes! Nggak tau kalau Mas Anang!" Aku langsung berhenti tertawa, begitu mulai mendekati kursi kafe. Pak Panglima, kamu di mana kah sekarang? Aku malu banget sumpah. "Pak, saya ke toilet—" "Tadi Mas Davanka udah tau kan kita ke sini?"         "Udah, Pak!" Aku kirim pesan ke Dilan karena alhamulilah waktu itu nggak minta nomor dia—Si Owner. "Saya boleh ke toi—" "Dia bilang kita nunggu di mana?" "Kita nunggu di meja 6, sekitar sepuluh menit lagi dia sampai dan Bapak nggak boleh ke mana-mana. Udah ya. Saya mau ke toilet dulu nih. Bye." Lihat aja, aku bakalan sabotase toilet sampai magrib supaya mereka ngobrol berdua dan aku terbebas dari Mas Owner. Setelah ini juga aku bakalan buat Bos Dimas nggak berhubungan lagi sama Mas Owner itu. Yakin deh. Namun, memang babu model aku gini selalu paham rasanya realita vs khayalan. Pesan singkat dari dia masuk begitu aku selesai memoles lipstik. Boss Besar: Kalau km beneran pulang duluan, saya jg beneran sepak kamu. Baiklah, Miss Gangika, waktunya kembali ke alam nyata. Mataku membeliak begitu menemukan siapa yang baru keluar dari toilet pria. Rasanya aku mau balik badan, masuk toilet lagi dan ngunci dari dalam sampai bulan purnama nanti. Dan yang ada aku beneran nyoba keberuntungan dengan menutupi muka pakai tas, kemudian berbalik walaupun sebetulnya aku dan dia sudah saling tatap. Tapi boleh ajalah aku berharap kalau dia itu minus dan nggak bisa... "Mbak iFoood, ya? Hello!" Langkahku terhenti. Sialaaaaaaan! Ini awkward banget. Sambil meringis, aku berjalan mendekat. Menunduk sopan dan dia juga ngelakuin hal yang sama. "Mbak yang waktu itu—" "Please, jangan bahas soal merah itu. Mas Ongka harus tau gimana malunya seorang perempuan perihal itu. Nggak cuma harga diri yang jatuh tapi juga harga jiwa, Mas." Dia tertawa. Membenarkan letak kacamatanya. "Saya malah lupa kalau Mbak nggak ngingetin barusan." Pengin makan nih orang. "Saya tadi mau bilang Mbak yang waktu itu datang ke sini, gitu. By the way, Mbak ke sini sama Pak Dimas?" "Iya." "Oke. Ayok ke sana." "Mas aja duluan. Saya masih mau ke toilet dulu." "Lagi?" "Biasa perempuan." Ikut campur banget sih, tinggal pergi aja juga. "Dikit-dikit harus cek penampilan." Seketika senyum manisnya pengin bikin aku jambak orang. Tapi ternyata itu belum seberapa daripada kalimatanya yang menurutku nggak banget diomongin sama orang yang baru kenal. "Udah cantik banget kok nggak perlu dandan lagi." Jijik nggak lo! "Permisi, Mas. Ini sekretaris saya, tolong jangan digodain ya." Sekarang aku makin melongo waktu lihat Bos Dimas datang dan mendekatiku. Kemudian berbisik, "Kamu itu diancam aja nggak ngerti ya, Ga. Ngapain masih di sini?" Coba, mana mungkin aku nggak makin sayang kalau kelakuan Dimas aja kayak begini. "Dia Davanka Jayesh ngomong-ngomong, Pak." Matanya langsung melotot. "Kok beda sama fotonya? Ini agak ganteng." Bibirku mengulum senyum. Memang dia ini bosku. Omongannya tanpa filter dan dari hati nurani. "Mas Davanka, ya? Maaf, saya pangling lho. Lihatnya cuma di foto. Saya Dimas." "Davanka." Mereka bersalaman. "Kafenya lumayan rame, Mas." Bosku memulai. "Saya penasaran sama menunya karena reporter saya bilang enak. Apalagi sekretaris saya ini, hampir setiap hari, seminggu ini selalu pesan GO-FOOD." "Kok Bapak tau?" Aku nggak terima. Ini kayaknya dia beneran ngawasin aku full jam deh selama di kantor! "Makasih, Pak. Kita ngobrol di sana aja, yuk! Masa di depan toilet gini." Mas Owner jalan lebih dulu, diikuti aku dan Bos Dimas. Mereka mengabaikan pertanyaanku! "Nggak sibuk, Pak Dimas sampai bisa nyempetin waktu buat ke sini?" "Sekretaris saya ini hebat kok. Kadang artikel yang menurut saya udah layak, pas dia baca nggak layak langsung dia buang. Banyak musuhnya dia sama para reporter dan editor." Lanjutkan! Terus saja, Bos, buat Ongka ini ngetawain aku kayak sekarang sampai matanya menyipit dibalik kaca mata. Tapi apa yang diomongin Bos Dimas bener sih. Setelah editor kasih artikel yang udah fix banget padahal, tapi kalau aku nggak srek ya aku buang. Bos Dimas mah nurut sama aku. Secara, gini-gini aku lulusan almamater kuning lho. Dan, berakhir aku menjadi objek nyinyiran di lantai 16. Aku sih nggak peduli ya. Sama nggak pedulinya dengan obrolan yang lelaki dua ini bangun. Aku lebih milih buat menikmati Frappe-ku dan cuma dengerin pujian Dimas buat makanan di sini. Mereka ngomongin peluang bisnis sampai merembet ke futsal segala. "Mbak Bhoomi mau nambah?" Aku mendengak. "Apanya?" Setelah mendengar dengusan dari Bos, aku langsung menggelengkan kepala dan sadar seketika. "Oh ininya? Nggak kok, Mas. Makasih." "Oke. Jadi, lusa saya pemotretan sama Mbak Bhoomi di sini kan?" "Sebentar?" Maksudnya apa pemotretan sama Bhoomi itu?! "Gangikaaa, kamu dari tadi nggak dengerin obrolan kami?" "Denger, Pak! Bapak ngomongin bisnis sampai—" "Sampai kamu ngelamun," decaknya pelan. "Jadi, dilembar akhir nanti kita bakalan kasih biodata tentang Mas Davanka ini. Dan ambil gambar paling menarik yang merepresentasikan dia sebagai owner dari K-Kafe. Paham?" "Sama saya, Pak?" "Menurut kamu cocoknya sama saya?" "Enggak, bukan. Itu, iya sama saya. Sama fotogfafer. Gitu. Sip. Siap. Lahir batin. Laksanakan!" Aku meremas kedua tangan di atas pangkuan. Kemudian melirik ke arah Mas Owner, aku meringis. Geli dengan senyumnya yang aku akui lumayan manis. Sama kayak senyummya Bos Dimas. "Ya ampun, lindungi gue," bisiku lirih. Gimana ini, Bo, bukannya menjauh dari Si mulut manis ini, aku malah kejebak lagi. Harusnya tugas ini kuserahkan ke reporter. Tapi beberapa kali mengenai owner memang aku yang menangani sih. Ugh, nyebelin banget. Bos Dimas ini kudoakan cepetan nikah supaya ada pawangnya dan nggak seliar ini kalau ngasih tugas. Bohong sih, nikahnya dia semoga setelah aku mendapat penggantinya. Yang seiman, serasa, dan seperjuangan. Ya nasib.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD