PARTE 1 - Cinderella

2190 Words
Tak ada yang menjemput Natali di bandara. Sebenarnya Natali tidak mengharapkan kedua orang tuanya menjemputnya, tapi ia tetap kesal ketika nomor Lu tidak bisa dihubungi. Dan perasaaannya semakin tak enak melihat banyak mobil terparkir di rumah besarnya. Berbagai warna lampu menyinari rumah itu - ditambah dengan suara musik yang terdengar dari tempat Natali berdiri. Lu pasti sudah gila. Natali menarik kopernya dan memasuki rumahnya. Membelah lautan orang yang memenuhi ruang tamu, kolam renang, ruang keluarga, bahkan hingga dapur dan kamar-kamar kosong di lantai dua. Natali melihat banyak botol tergeletak di meja. Berbagai merek rokok, pizza, beer, soda, dan semua makanan yang tampak berantakan dan mengotori lantai. Natali menyisir rumahnya yang berubah menjadi tempat pesta itu, berharap menemukan Lu, tapi perempuan itu tak terlihat dimanapun. Dengan kesal, Natali mematikan musik yang memenuhi rumahnya. Seketika seluruh orang menatapnya dengan kesal. Natali menatap tajam mereka semua. Seorang laki-laki bertato mendekati Natali sambil membawa botol minuman yang sudah kosong. Matanya tak fokus, laki-laki itu terlihat sangat mabuk. "Siapa kau? Kenapa kau mematikan musiknya, Jal-ang?" teriak laki-laki itu sambil melempar sebuah botol minuman ke arah Natali. Natali berhasil menghindar. Berusaha menenangkan dirinya karena ia tahu mencari masalah dengan orang mabuk di hari kedatangannya dari Inggris bukanlah hal yang baik. Natali menarik kopernya dan melangkah ke tengah ruangan. Semua orang mengikuti gerakannya seperti bertanya-tanya siapa perempuan tak dikenal itu. "Aku adalah pemilik rumah ini. Namaku adalah Natalina Tjandrawinata. Adik Lucresia Tjandrawinata yang mengundang kalian ke sini. Sekarang aku ingin kalian semua pergi, sebelum aku memanggil polisi untuk mengusir kalian dari rumahku!" Laki-laki yang melempar Natali dengan botol tadi kembali mendekat, "Bagaimana kami tahu kau benar-benar adik Lu?" Natali mengeluarkan kartu identitasnya, menunjukkannya ke laki-laki bertato itu. Laki-laki itu menatap tajam Natali dan menyumpahinya dengan kasar sebelum keluar dari rumahnya. Diikuti dengan puluhan orang lain yang mulai pergi dari rumah itu. Namun, melihat masih banyak yang tidak menanggapi Natali, perempuan itu berteriak. "Kubilang pergi dari rumahku! Kalian tidak dengar? Apa perlu kupanggil polisi sekarang?" teriak Natali pada beberapa pasangan yang masih berenang di kolam. Semua orang menatap Natali tak suka, tapi tetap pergi dari rumah itu. Natali memeriksa ke seluruh ruangan, mencari orang yang masih tersisa dan mengusirnya. Saat melihat seluruh mobil di depan rumahnya sudah hilang semua, Natali turun dan membersihkan botol dan sisa makanan yang mengotori lantai. Tak sampai semua bersih, Natali merasa tubuhnya sangat lelah dan memutuskan menelepon Lu. Suara ponsel Lu terdengar oleh Natali ketika ia meneleponnya. Suara itu berasal dari lantai dua. Natali naik ke lantai dua dan membuka kamar di pojok yang tak terkunci. Matanya terbelalak ketika melihat dua orang tertidur telanjang di kamar - mereka adalah Lu dan laki-laki pirang yang tak Natali kenal. "Lu!" teriak Natali. Melihat kakaknya tak juga bangun, Natali mendekati tubuh Lu dan mengguncangnya. "Bangun, Lu! Lu!" Mata Lu perlahan terbuka dan perempuan itu tersenyum kecil ketika melihat Natali. Lu bangun tanpa menyadari tubuhnya tak tertutupi apapun. Natali mengangkat selimut dan memberikannya pada Lu. Kakaknya itu menarik tangan Natali dan memeluknya erat. "Natali, kau sudah pulang." Pelukan Lu semakin erat hingga membuat Natali kesusahan bernapas. "Kapan kau pulang, Natali? Kenapa kau tidak menghubungiku? Pasti aku akan menjemputmu!" "Lu! Lepaskan aku!" kata Natali sambil melepaskan dirinya dari pelukan Lu. Natali menyilangkan tangannya di d**a, menatap Lu dengan amarah yang sejak tadi tertahan. "Jelaskan padaku apa yang terjadi sekarang," kata Natali. Lu tampak tak mengerti, "Apa maksudmu?" "Kenapa kau mengadakan pesta di rumah ini, Lu? Kau tak tahu rumah ini adalah harta keluarga kita satu-satunya. Apa kau pernah berpikir teman-temanmu itu akan menghancurkan barang-barang di rumah ini karena mabuk - atau bahkan mencurinya? Kau tak boleh mengadakan pesta di rumah ini!" Lu mengusap wajahnya dan berdiri mengambil pakaiannya yang terjatuh di lantai. Perempuan itu memakainya di depan Natali. "Teman-temanku tidak akan mencuri apapun dari rumah kita. Memangnya apa yang bisa dicuri? Apa yang berharga di rumah ini? Tidak ada, Natali. Jangan berpikir berlebihan." "Tapi mereka bisa merusaknya! Apa kau tahu guci kesukaan Rebeca pecah karena temanmu yang mabuk? Kalau Rebeca tanya kemana guci itu, kau yang harus bertanggung jawab." Natali membangunkan laki-laki yang tertidur di kamarnya. Laki-laki itu bangun dan menyadari ada orang lain di kamar itu. Laki-laki pirang itu tersenyum manis pada Natali. Natali segera memutar tubuhnya ketika laki-laki itu turun dari ranjang untuk memakai pakaiannya. Apa mereka berdua tak punya malu? Kenapa mereka bisa sesantai itu berdiri telanjang di depan Natali? "Tenang saja, tentang guci itu, aku bisa membelikannya lagi. Aku memiliki uang, Natali. Kau pikir aku tidak bekerja?" kata Lu saat teman tidurnya keluar dari kamarnya. Natali mendesah kasar, tak tahu kenapa Lu menjadi seperti sekarang. Perempuan itu menjadi maniak pesta yang mendatangi semua pesta yang diadakan teman-temannya. Lu juga banyak bergonta-ganti pasangan. Tidak ada yang bertahan lama dengan Lu - mereka kebanyakan hanya dalam hubungan one night stand atau teman tidur saja. Natali sungguh tak menyukai Lu yang sekarang. Dan yang pasti semua ini karena mantan suaminya yang berengsek itu. Laki-laki itulah yang membuat Lu menjadi sekarang. "Aku tak mau tahu, besok rumah ini harus kembali bersih. Kau bisa menyewa pembantu atau apapun - yang penting ketika aku bangun, aku tak melihat tumpukan minuman itu lagi di meja." Lu mengangguk dengan asal, perempuan itu mengikat rambut panjangnya. Lu mengambil ponselnya di meja dan tampak terkejut. "Sepertinya kau sudah berulang kali menghubungiku. Maaf karena tak mengangkat teleponmu, Natali." Natali memutar matanya jenuh, dua tahun yang lalu juga tidak ada yang menjemputnya. Orang-orang di rumah itu tidak ada yang peduli dengannya. Hanya ayahnya - tapi ayahnya tak mungkin bisa menjemputnya. Ayah Natali memiliki penyakit Alzheimer. Ingatan pria tua itu seringkali menghilang hingga ia tak mengingat apapun, bahkan namanya sendiri. "Dimana ayah?" tanya Natali. Lu merapikan ranjangnya, "Sepertinya aku lupa memberitahumu, Mami sedang mengantarkan Ayah berobat ke Singapura. Mungkin lusa mereka pulang. Karena itulah aku berani mengadakan pesta, Natali. Aku benar-benar lupa kalau hari ini kau pulang." Natali tersenyum kecil, perempuan itu memeluk Lu dengan tulus. Jujur ia juga merindukan Lu, Natali sudah menganggap Lu sebagai saudara kandungnya sendiri. "Aku merindukanmu, Lu." "Aku juga sangat merindukanmu, Gadis Kecil," balas Lu. Lu menarik Natali dan berjalan menuju kamar yang terletak di ujung lantai dua. Lu membuka pintu dan Natali tersenyum lebar ketika kamarnya dulu masih rapi, seperti tidak ada yang mengotorinya setelah empat tahun Natali meninggalkannya. "Ayah membersihkannya. Ayah kadang mengingatmu dan datang ke kamar ini. Saat ayahmu merindukanmu, ia akan membersihkan kamar ini dan berpikir besok kau kembali," kata Lu. Natali memasukkan kopernya ke dalam kamar. Semua barang masih ada di tempatnya. Tak ada yang berpindah sedikitpun. Natali memang pernah berkata pada ayahnya bahwa ia tidak suka barangnya dipindah-pindah. Natali tak menyangka ayahnya mengingat hal itu. "Sebaiknya kau mandi dan merapikan kamarmu. Sekali lagi - selamat datang ke rumah, Natali," kata Lu lalu menutup pintu kamar Natali. ****   Natali sudah bekerja di Theriso Law Firm selama sebulan. Sejak kepulangannya ke Inggris, Natali mendapatkan pekerjaan di firma hukum kecil itu atas rekomendasi kakak tingkat kuliahnya. Natali menyukai pekerjaannya, meskipun firma hukum itu tak terlalu terkenal, orang-orang di sana sangat berpengalaman dan gaji yang diberikan juga cukup untuk Natali. Natali sudah akrab dengan semua karyawan - baik pengacara baru sepertinya ataupun pengacara senior - dan mereka memperlakukan Natali dengan baik. Jadi, Natali sangat sedih ketika tiba-tiba pemilik perusahaan mengatakan bahwa Theriso Law Firm akan diakuisi oleh firma hukum terbesar di Inggris – Alejandra Law Firm – firma hukum yang selama ini dihindari Natali. "Tapi kalian tidak perlu khawatir, Alejandra Group mengakuisi firma ini dengan karyawannya sekaligus. Jadi mulai sekarang kalian akan bekerja di Alejandra Law Firm, bukankah ini sebuah keberuntungan besar?" Kata-kata Lauren, pemilik Theriso Law Firm itulah yang membuat Natali menginjakkan kakinya di kantor Alejandra Law Firm pagi ini. Dan sialnya, Natali telat. Natali terbangun tengah malam, karena harus menjemput Lu di klub malam dan menemani kakaknya itu minum sampai pukul tiga pagi. Dan Natali sungguh tak mau membuat masalah di tempat kerja barunya, apalagi di hari pertamanya. "Maaf, apa Anda tahu tempat pertemuan untuk karyawan akuisi Theriso Law Firm hari ini?" tanya Natali pada resepsionis dengan terengah-engah. "Di lantai sepuluh, ruang aula II, Nona," jawab resepsionis itu. Natali mengangguk dan berterima kasih lalu berlari mengejar lift yang hampir tertutup. Perempuan itu menghembuskan napasnya lega ketika berhasil masuk. Natali merapikan rambut dan pakaiannya yang berantakan sambil melihat pantulan dirinya di dinding lift. Perempuan itu merasa rambutnya tidak rapi dan memutuskan mengikatnya. Natali fokus pada penampilannya hingga tak sadar di belakangnya berdiri dua laki-laki yang tengah memperhatikannya. Natali membeku ketika suara berat menggelitik telinganya. "Sudah cantik, kurasa." Natali berbalik dan matanya menangkap iris biru yang pernah membuatnya terpaku empat tahun yang lalu. Mata biru yang jernih seperti lautan - sangat dalam hingga Natali tak bisa keluar. Natali menelan ludahnya, mundur selangkah untuk menetralkan debaran di jantungnya. Natali tak menyukai reaksi tubuhnya ketika bertemu dengan laki-laki itu. Natali juga tak suka dengan matanya yang tak mau beralih dari laki-laki tertampan yang pernah ia lihat di depannya itu. "Kau -" Natali menutup mulutnya, menegakkan tubuhnya, dan menajamkan tatapannya. Natali memutar tubuhnya membelakangi laki-laki itu. Mereka orang asing. Natali tak mau laki-laki seolah mengenalnya. "Sepertinya kau tak berubah." Natali melihat angka lift berjalan sangat lambat. Padahal hanya sepuluh lantai - kenapa pintu itu tak segera terbuka dan Natali bisa menjauh dari laki-laki itu? "Asal kau tahu, aku berbicara denganmu, Natali," kata laki-laki itu lagi. Lift berdenting dan pintunya terbuka. Natali segera keluar dan berjalan cepat menuju ruang aula di pojok lantai sepuluh. Natali membuka ruangan itu dan melihat teman-temannya sudah duduk rapi. Natali menunduk pada para atasan yang duduk di depan dan segera menuju ke kursi yang kosong di samping teman laki-lakinya, Arnold. "Aku menghubungi ratusan kali. Kenapa kau bisa terlambat?" tanya Arnold tanpa menatap Natali, matanya fokus ke depan seolah memperhatikan pidato salah satu  petinggi perusahaan. "Lu memintaku menjemputnya tadi malam," balas Natali sambil merapikan rambutnya. "Lu lagi, Lu lagi! Bisakah kau mengucapkan tidak padanya? Kenapa kau selalu menuruti perintahnya? Lu hanya memanfaatkanmu, Natali. Kapan kau sadar?" kata Arnold sedikit emosi. "Lu tidak begitu. Dia tidak memanfaatkanku. Dia meminta bantuanku karena aku satu-satunya saudaranya. Kenapa kau selalu berpikir buruk pada Lu?" "Lu sudah berubah. Dia bukan Lu enam belas tahun yang dengan tulus menata rambutmu setiap hari. Aku yakin dia salah pergaulan sejak sekolah di Paris. Itulah kenapa ia bisa hamil dengan laki-laki itu," kata Arnold sambil menunjuk laki-laki yang masuk ke ruangan itu dengan tatapan matanya. Semua petinggi perusahaan yang duduk di depan berdiri dan membungkuk pada laki-laki yang baru masuk itu. Laki-laki itu menganggukkan kepalanya dan tersenyum kecil - dengan dingin berjalan dan duduk di kursi paling tengah di jejeran orang-orang penting itu. Laki-laki itu menyisir semua ruangan - seperti mencari seseorang - dan menghentikan tatapannya pada Natali. "Ketika menikah, orang yang terpenting di hidup Lu hanya satu, yaitu laki-laki itu. Dan ketika bercerai, tujuan hidup Lu pun hanya satu, yaitu untuk kembali pada Alvaro Alejandra," kata Arnold tiba-tiba. "Kenapa kau bisa tahu semua ini?" "Kita bertetangga dari kecil, Nat. Kakakku adalah teman Lu. Karren mengenal Lu lebih baik daripada kau." Natali terdiam, apakah Lu memang seperti itu? Apa kakaknya itu belum bisa melupakan mantan suaminya itu? Kenapa Lu begitu tergila-gila pada laki-laki itu? "Dan kau tahu kenapa Lu selalu datang ke Tavern Bar selama ini? Itu karena bar itu adalah milik Alvaro. Lu mendekati semua teman-teman Alvaro dan mengajaknya berpesta di rumahnya agar bisa mendekati Alvaro, tapi Alvaro tak pernah melirik Lu lagi." Arnold menaikkan kacamata bundarnya di hidungnya yang mancung. "Sepertinya hubungan kakakmu dan laki-laki itu sangat tidak baik. Sebaiknya kau hati-hati." Natali mengangkat alisnya, "Kenapa aku harus berhati-hati? Aku tak memiliki urusan apapun dengan laki-laki itu." Arnold tersenyum penuh arti tanpa menatap Natali, "Karena Alvaro tak mengalihkan tatapannya padamu sejak tadi -" Natali mengikuti arah pandang Arnold dan kembali beririsan dengan mata biru itu. Meskipun dari kejauhan, Natali tahu mata biru itu sedang menatapnya. Seperti menyadari Natali sedang memperhatikannya, Alvaro tersenyum kecil sambil melambaikan tangannya ke arah Natali. Membuat teman kerjanya yang lain langsung menatapnya dengan penuh keheranan. "Apa yang dilakukan laki-laki gila itu?" tanya Natali dalam hati. "Lihatlah, apa dia sedang melambaikan tangan padamu, Nat?" tanya laki-laki di sampingnya dengan heboh. "Dia hanya mengenaliku sebagai mantan adik iparnya. Aku tak peduli apa yang ia lakukan," kata Natali dengan dingin, perempuan itu memutus kontak matanya dengan Alvaro. Arnold menepuk bahu kecil Natali, "Jangan terjebak pada pesonanya, Nat. Dia adalah mantan Lu. Laki-laki yang digilai Lu sampai sekarang. Bersaing dengan Lu hanya akan merugikanmu." Arnold tersenyum kecil pada Natali. "Aku tahu kau tak suka menjadi Cinderella, tapi jika kau dekat dengan laki-laki itu, Lu dan Rebeca akan benar-benar menjadi kakak dan ibu tiri yang jahat - dan aku tahu kau tidak akan melawan mereka, karena ayahmu masih membutuhkan Rebeca." Arnold mengatakannya dengan tepat - seperti itulah keadaan Natali. Perempuan itu tak bisa meninggalkan rumah itu untuk tinggal sendiri, karena ia sangat mengkhawatirkan ayahnya. Meskipun Natali membencinya, ia juga tak bisa melawan Rebeca karena wanita itulah yang merawat ayahnya selama ini. Natali sudah berusaha hidup dengan damai bersama Rebeca dan Lu. Dan Natali tak mau semua hancur - hanya karena seorang laki-laki. Apalagi hanya karena mantan kakak iparnya - Alvaro Alejandra. Meskipun tubuh Natali menegang dan dadanya berdesir ketika melihat Alvaro tersenyum kecil padanya dari kejauhan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD