Setelah pergi dari rumah, dan turun dari angkutan umum. Rania pun mendesah pelan, perasaannya begitu kacau setelah mendengar hal itu. Bukannya Rania tidak ingin tinggal bersama dengan ibunya, bahkan Rania juga menginginkan jika keluarganya kembali berkumpul. Rania ingin tinggal bersama dengan ibu, ayah dan juga adiknya. Apakah itu bisa? Tentu saja tidak bisa!!
Grace tidak mungkin mau tinggal bersama dengan Rania dan juga Adhitama. Apalagi kondisi ayahnya saat ini yang sakit-sakitan, dan hanya Rania yang menjadi tulang punggung keluarganya. Ibunya tidak mau tinggal di rumah petak, yang menurutnya hampir mirip dengan gudang. Ibunya juga tidak mau hidup susah serba kekurangan. Itu sebabnya sisa harta yang ada, Grace pun kembali menikah dengan David. Jika dihitung pria tua itu juga termasuk ayah tirinya, jika dia mau mengakui Rania sebagai anak tiri. Tapi tidak masalah jika tidak ingin, toh, dia juga tidak begitu berharap dianggap anak boleh David. Dia sudah memiliki Adhitama, ayah kandung yang memiliki segalanya bagi Rania.
Ponsel wanita itu bergetar menandakan ada panggilan masuk dari Abrisam. Buru-buru Rania pun menerima panggilan itu, dan bertanya ada apa?
Abrisam meminta Rania untuk menemuinya untuk yang terakhir kalinya. Besok mereka akan menikah, dan yang pasti Abrisam ingin menghabiskan satu hari ini bersama dengan Rania. Pria itu juga meminta Rania untuk tidak mengatakan apapun pada Selena, ibunya. Atau ibunya akan marah ketika tahu Abrisam menemui Rania, dan menganggap jika pria itu sudah tidak sabar untuk menikah dengan Rania.
Padahal pertemuan ini, adalah pertemuan yang nantinya akan membuat Abrisam berpikir banyak. Ketika sambungan telepon itu mati, Abrisam berpikir jika kemarin dia bertemu dengan wanita itu. Dia masih memanggil Abrisam dengan sebutan nama. Sedangkan di telepon kali ini, yang ada Abrisam malah mendengar kata Mas. Sebenarnya wanita itu ada berapa dan kenapa ke pribadinya begitu berbeda?
Tidak mau membuang waktu, dan karena Rania meminta Abrisam untuk datang ke taman kota. Wanita itu pun langsung berlari kecil ke arah taman. Untung saja angkutan umum yang dinaiki tadi, berhenti dekat di samping taman kota ini. Jadi dia tidak perlu repot-repot berjalan jauh hanya untuk menunggu Abrisam.
Duduk di dekat pancuran air, Rania malah tersenyum padahal dia tahu mood nya burik ketika melihat ibunya. Tapi hanya karena mendengar kata Abrisam ingin bertemu dengannya, yang ada malah membuat perasaan Rania kembali membaik. Ada apa ini, kenapa dia seperti ini. Merasakan sesuatu yang tak pernah dia rasakan sebelumnya.
Menatap arloji di tangannya, Rania pun menatap satu buah mobil mewah terparkir di seberang jalan. Rania tahu itu adalah mobil Abrisam, apalagi Bagas yang langsung turun lebih dulu mengitari mobil itu. Rania pun berlari, dia punya mendekati mobil itu sebelum Abrisam dan Bagas menyeberang.
"Hai … " sapanya.
Abrisam tersentak, dia pun mundur dengan memegangi tangan Bagas. "Rana?" tanyanya memastikan.
"Iya ini aku."
Abrisam tersenyum, dia pun melepas tangan Bagas dan meminta tongkat yang biasa dia pakai. Rana pun tersenyum melihat hal itu. Lalu mendekati Bagas dan mulai berbisik, lebih tepatnya bernegosiasi dengan pria itu agar memberikan sedikit waktu untuk Rania dan juga Abrisam.
Bagas yang tak mau ambil pusing pun mengangguk. Dia akan menjemput Abrisam di taman ini lagi, tidak akan ada tempat lainnya atau Bagas akan mencari Rana ke seluruh kota jika wanita itu bermain berbuat jahat pada Abrisam.
"Nggak akan. Aku nggak akan jahat sama dia. Palingan cuma buang dia ke sungai." kekeh Rania.
Abrisam tertawa kecil dengan lelucon itu. Pria itu juga meminta Bagas untuk segera pulang lebih dulu, atau menyelesaikan masalahnya dengan kekasihnya yang tak kunjung selesai.
"Kalau begitu saya permisi dulu, Bos. Nanti tolong telepon saya jika kalian sudah pulang." ucap Bagas sambil melirik Rania.
Abrisam mengangguk, dia akan menelpon Bagas setelah dia merasa sudah. Jika belum ada telepon, itu tandanya Abrisam belum selesai dengan Rania. Ini harus terakhir dan Abrisam harus memanfaatkan harini dengan baik.
Melihat kepergian Bagas, Rania pun menatap Abrisam yang diam saja. Mereka harus menyerang ke taman kota untuk pertama kalinya, tujuan Rania banyak untuk mengajak Abrisam senang-senang. Tapi kalau menunggu Abrisam jalan sudah dipastikan akan lama. Tapi kalau--
"Rana … Kamu masih ada disana kan?" kata Abrisam dan membuat wanita itu mengerjapkan matanya berkali-kali.
Rania mengangguk, meskipun dia tahu jika Abrisam tidak akan melihatnya. "Mas Abri kita harus nyebrang." ucap Rania memberanikan diri.
"Terus?"
"Ya … terus … Kita jalan." bawah Rania gugup.
Abrisam tertawa kecil, dia pun mengarahkan tingkat kecilnya hingga menyentuh kaki Rania. setelahnya, pria itu menaruh tongkat itu di tangan kiri dan membentuk nya mencari kecil. Tangan kanannya langsung menyentuh tangan Rania dan menganggapnya dengan begitu erat.
"Ayo kita jalan?" ajaknya dan langsung membuat Rania tersenyum tulus.
-IstriPengganti-
"Ini tempat terakhir kita." kata Rania. Wanita itu menatap arlojinya yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Dua jam lagi, dia harus pulang ke rumah.
"Ini dimana kok ramai banget." tanya Abrisam.
Ini adalah tempat terakhir tujuan Rania. Mereka berada di pasar malam pinggiran kota. Belum.bisa dikatakan pinggiran, karena tempat ini hanya membutuhkan lima belas menit untuk sampai di kota.
Rania suka sekali datang ke tempat Ramai, jika suasana hatinya buruk. Seperti tadi pagi, dan dia akan membeli cemilan kuping gajah dan juga makaroni pedas sebagai teman. Tidak hanya itu, Rania juga akan membeli satu cup teh dingin. Seperti saat ini, Rania yang meminta Abrisam duduk di kursi yang ada, sedangkan dia yang membeli banyak cemilan dan juga minuman. Dalam hati Rania berdoa jika pria itu tidak batuk dan juga tidak flu ketika Abrisam memakan cemilan murahan.
Kembali ke kursi itu, Rania langsung duduk di samping Abrisam. Wanita itu menaruh dia bungkus cemilan tidak pedas dan juga satu minuman yang dia berikan pada Abrisam.
"Nggak tau kamu suka atau nggak. Tapi aku berharap kamu nggak batuk aja." kata Rania.
Abrisam tertawa. "Nggak lah. Kamu suka kesini?"
Rania mengangguk, dia suka sekali datang kesini jika moodnya buruk. Dia akan membeli cemilan kecil untuk mengembalikan moodnya. Atau tidak, dia akan memakan makaroni pedas dan menangis. Dengan alasan jika makanan itu begitu pedas, sehingga membuat dia menangis. Jika suasana hatinya masih buruk juga, maka Rania akan menaiki salah satu dari banyaknya wahana di hadapannya untuk menghibur dirinya.
Mendengar kata wahana, Abrisam teringat akan mantan kekasihnya dulu. Dimana wanita itu mengamuk pada Abrisam ketika mereka pergi ke Disney. Itu jaman masih Abrisam bisa melihat, dan mereka masih keliling negara untuk menghibur suasana hati. Tapi setelah Abrisam buta, dia bahkan tidak tau lagi warna baju apa yang dia pakai saat ini. Karena semua kebutuhan Abrisam, Bagas yang menyiapkan semuanya. Ibunya begitu percaya dengan Bagas, karena menurut ibunya, hanya Bagas yang mampu menjaga Abrisam dari mara bahaya.
"Nanti setelah kita menikah, apa aku masih menggunakan Bagas untuk menyiapkan semua kebutuhanku?" tanya Abrisam.
Rania menoleh. "Jadi aku nggak boleh nyiapin semuanya?" ceplos Rania.
Bukannya tidak boleh menyiapkan. Dia hanya bertanya saja pada Rania apa dia masih membutuhkan Bagas, untuk menyiapkan semua kebutuhan Abrisam atau tidak. Jika tidak membutuhkan, itu tandanya Rania dong yang harus menyiapkan semuanya. Tapi jika wanita itu tidak mau, Abrisam juga tidak masalah. Dia akan menggunakan Bagas sebagai orang yang selalu merawatnya.
Rania tidak Terima dengan hal itu, besok itu mereka menikah dan sebuah tanggung jawab Abrisam ada di Rania. Lalu untuk apa lagi Bagas? Atau segini saja, jika Abrisam masih mau bersama dengan Bagas dan semua kebutuhan Bagas yang urus. Rania tidak masalah, tapi besok jangan menikah dengan Rania. Dan surat terbuka untuk Bagas, agar segera mungkin menikahi Abrisam.
Entah kenapa hal itu malah membuat Abrisam tertawa. Mana mungkin dia mau menikah dengan Bagas, Abrisam itu masih waras dia juga masih doyan wanita meskipun dia buta.
Dan saat ini yang ada dipikiran Rania hanya satu. Bagaimana nanti malam pertama mereka. siapa yang akan memulai duluan? Siapa yang akan menyentuh duluan? Siapa yang akan mengajak lebih dulu? Apa Abrisam tahu lubangnya dimana?
Entah kenapa pikiran kotor itu menyelimuti pikiran Rania!!
"Kenapa aku harus mikirin itu sih." gumam Rania pelan.
Abrisam menoleh. "Apa? Kamu bilang sesuatu?" ucap Abrisam yang mendengar ucapan Rania.
Wanita itu menggeleng. "Nggak kok. Ini loh kerupuk seblak nya enak." kata Rania asal.
Abrisam mengangguk kecil, dia pun menikmati cemilan yang ada di tangannya. Pikirannya begitu kacau, ada banyak hal yang ingin pria itu katakan. Tapi dia juga merasa ketakutan, jika nanti jawaban wanita itu menyakiti dirinya. Merubah sedikit posisi duduknya, pria itu meraih tangan Rania dan mengusapnya pelan.
"Hmm … Rana aku boleh tanya sesuatu nggak?" kata Abrisam.
Wanita itu mengangguk gugup. "Apa? Mau tanya apa?"
"Setelah kita menikah besok, apa yang akan kamu lakukan sama aku? Apa yang kamu harapkan dari aku yang buta ini. Aku tidak bisa memberimu kebahagiaan seutuhnya. Apa aku boleh meminta kamu untuk tidak terlalu berharap lebih sama aku?" kata Abrisam dan membuat Rania diajak.
Rania menaruh jajan yang ada di tangannya di atas kursi besi. Menatap sejenak wajah Abrisam yang menyiratkan kegelisahan yang begitu ketara. sejujurnya Rania juga tidak tahu harus apa, dan melakukan apa. Kalau masalah berharap, Rania juga tidak berharap lebih apalagi dia itu hanya sebagai pengganti saja tidak lebih. Yang ada dipikiran Rania hanya bagaimana jika mereka menikah, dan setelahnya Rana kembali? Apa dia akan melepas Abrisam atau tetap bersama dengan pria itu?
"Aku tidak tahu harus berbuat apa. Tapi setelah menikah, aku akan tetap menjalani kewajibanku sebagai istri, melayani mu, menjagamu dan juga memberikan hakmu. Jadi, aku tidak begitu berharap tentang kebahagian. Tapi aku yakin, jika bahagia itu kita yang ciptakan dan kita yang merasakan." jelas Rania dengan jantung yang terus berdebar kencang. "Mas Abri, setelah kita menikah besok. Aku harap kamu akan selalu menjadi senja, yang datang hari ini dan esok akan kembali. Jangan sekali-sekali menjadi pelangi." katanya.
"Kenapa?"
"Karena aku membenci warna yang datang hanya sekali, lalu meninggalkan luka yang begitu dalam."
To Be Continued