2. Namanya Boy

1699 Words
"Lo ngehamilin anak orang, 'kan?! Makanya nih bayi disimpen di sini!" tukas Abah Jambrong berang. "Sumpah, Bah. Demi Allah, Jamal ... eh, James masih perjaka ting-ting. Jamal enggak mungkin ngehamilin anak orang. Dosa, Bah." Aku mengangkat dua jari ke atas. "Iya, ih. Si Abah mah ada-ada aja. Bang James ini cowok baik-baik. Enggak pernah keluyuran. Kerjaannya cuma kuliah aja," bela Sari. "Ya, terus. Kenapa itu bayi disimpen di depan kontrakan elu?!" "Ya Allah, Bah. Mesti gimana lagi James ngomong. James enggak tau ini bayi siapa." Aku sudah kehabisan kata untuk mengatakan semua kejujuranku. "James, udah Teteh kasih ASI, tuh. Mudah-mudahan tidurnya nyenyak sampai pagi, ya." Teh Nurul keluar dari rumah kontrakanku. Kebetulan dia memiliki bayi berusia satu tahun. "Makasih banyak, ya, Teh," ucapku. Lalu menengok ke arah kasur. "Kira-kira, usianya berapa bulan, Teh?" tanyaku. "Mm, kayaknya baru umur lima bulan. Udah bisa tengkurap dia." Aku menganggukkan kepala. "Ya udah, Teteh pulang dulu. Takut Syahid bangun," pamitnya. "Iya, Teh. Makasih sekali lagi." "Sama-sama." Aku kembali melirik ke arah dalam rumah. "Ayo, Sari. Kita juga pulang." "Tapi, Bah. Gimana kalau nanti bayinya bangun?" "Lah, itu urusan si Jemes. Kita enggak usah ikut campur. Ayo, pulang!" Abah Jambrong menarik lengan Sari. Untuk sesaat, aku melihat kepergian bapak dan anak itu dalam diam. Selepas mereka menghilang di balik pintu rumahnya, rasa sedih yang mendera mulai menyergap. Jadi ... malam ini aku tidur sama bayi? *** "Assalamualaikum warahmatullah, assalamualaikum warahmatullah. Astagfirullah!" Aku mengelus daada. "Perasaan tadi tuh bayi masih tidur. Kenapa sekarang udah tengkurep aja?" gumamku. Bayi itu memang sedang dalam posisi tengkurap, kedua mata bulatnya memandangku dengan tatapan polos. Mengedip-ngedip, lalu menatapku lagi. Aku menelan ludah. Baru kali ini melihat bayi dalam jarak sedekat ini. Akhirnya, setelah beberapa jam bersamanya baru aku tersadar. "Ini bayi cowok apa cewek, ya?" . "Ini, kebetulan baju Syahid masih ada. Walaupun bukan baru, tapi masih bagus." Teh Nurul memakaikan kaos dan celana pendek pada bayi itu. "Ini, simpan aja sisanya. Nanti pasti ngompol. Enggak dipakein diapers, 'kan?" "Belinya di mana?" tanyaku. "Di warung depan gang ada. Beli yang ukuran M aja." "Oh, ya udah. James beli dulu," pamitku. Sesampainya di warung Bang Juki, aku mengambil lima diapers sesuai ukuran yang disarankan Teh Nurul. "Lah, tumben. Biasanya beli rokok, mie rebus, sabun mandi. Ini kok, beli popok bayi?" Bang Juki terheran melihat aku menyodorkan benda itu. "Buat anak temen. Kebetulan lagi main," sahutku asal. Bang Juki hanya menganggukkan kepala. Setelah menyebutkan sejumlah angka, aku pun memberikan sejumlah uang padanya. "Nih, Teh." Aku memberikan kantong plastik hitam pada Teh Nurul. Dengan segera dia membukanya. Aku memperhatikan dengan seksama bagaimana ibu satu anak itu memakaikan popok bayi. "Udah beres. Teteh pulang, ya. Kasihan Syahid ditinggal sama bapaknya," pamit Teh Nurul. "Iya, Teh. Makasih, ya." "Sama-sama." Aku menutup pintu setelah kepergian Teh Nurul. Kutatap bayi di atas kasur itu. Dia sedang tertawa sendiri melihat kerincingan bayi putar bekas Syahid yang sengaja kugantung di atas tubuhnya. Meski kesulitan mengikatnya pada paku di langit-langit, bahkan menggunakan tali rapia agar jarak benda itu bisa lebih rendah. Teh Nurul bilang itu ampuh untuk membuat anak bayi anteng bermain sendiri. Akhirnya aku menghampirinya, berdiri di samping kasur. Jam tujuh pagi, dia sudah mandi dan sudah kenyang minum ASI. Sedangkan aku? Dari semalam kesulitan tidur karena memikirkan dia. Aku pun duduk di tepian kasur, hanya bisa menatapnya yang sedang tertawa senang. Tersadar ada seseorang di dekatnya, membuat bayi itu menoleh padaku masih disertai tawa riang. "Hei, siapa nama kamu?" tanyaku. . "Jadi bayinya cowok, Bang?" tanya Sari. "Iya, Neng." "Abang mau kasih nama siapa?" Aku menautkan alis. Kenapa terkesan jika bayi ini adalah anakku? Apa aku harus memberinya nama? Kugelengkan kepala. Bingung. Belum pernah memberikan nama pada bayi meski sudah memiliki dua keponakan di kampung. "Mm, gimana kalau Boy aja. Biar kita enggak kesusahan panggil dia." Aku mengangguk, menyetujui saran Sari. "Hei, Boy." Sari menyapa bayi dalam gendongannya itu. Anehnya bayi itu malah tertawa. Apa dia suka dengan nama barunya? "Kira-kira, polisi bisa nemuin orang tuanya enggak, ya?" ucapku sambil tetap menatap Sari yang asyik berceloteh dengan bayi itu. "Kita lihat aja nanti. Sebentar lagi Abah pulang, kita langsung ke kantor polisi," jawab Sari. . "Seperti itu kronologinya, Pak," tandasku setelah menceritakan kejadian semalam. "Benar-benar tidak ada saksi satu pun?" tanya lelaki berseragam itu. "Tidak ada, Pak," jawabku lagi. "Jadi bagaimana, Pak. Bayi ini bisa dititipin di sini?" sela Abah Jambrong. "Abah!" tegur Sari sambil menepuk lengan ayahnya. Pak Polisi itu tersenyum. "Tidak bisa. Untuk sementara salah satu di antara kalian harus menjaganya, sampai pihak kepolisian berhasil menemukan orang tua bayi itu." Aku menoleh ke arah Sari. Sari menoleh ke arah Abah Jambrong, dan Abah Jambrong malah menoleh ke arahku. "Lu yang jaga, Jemes!" ujar lelaki berkopiah itu dengan mata melotot. . "Aduh, diem, dong. Aku mau tidur ini," keluhku. Bayi itu masih menangis. Padahal Sari sudah mengganti popoknya, Teh Nurul juga sudah memberinya ASI. Namun entah kenapa dia masih menangis. Kuputar kerincingan bayi berwarna-warni di atasnya, tapi tetap saja tidak membuatnya tenang. "Kenapa, Bang?" Aku menoleh. "Enggak tau, Neng. Apa popoknya harus ganti lagi?" Sari berjalan ke arahku. Dia meraih tubuh mungil itu. Ajaibnya dia langsung terdiam. "Mungkin kesel, Bang. Mau digendong gini," ucap Sari. "Oh." Kuanggukkan kepala. "Abang gendong sendiri, ya. Sari mau ke toko anterin makanan buat Abah." Perempuan dengan blus putih dan rok pink itu menyodorkan bayi dalam gendongannya padaku. "Apa? Gendong? Abang belum pernah--" "Ya, Abang belajar." Sari menyela, lalu tersenyum, hanya saja terlihat aneh di mataku. "Biar nanti kalau punya anak jadi terbiasa." Aku tertawa hambar. Kemudian kuraih bayi itu, menggendongnya sesuai petunjuk Sari. "Ajak ngobrol aja, Bang." Aku mengangguk. "Sari pergi dulu, nanti pulang mampir lagi." Aku mengangguk lagi. Hingga akhirnya Sari keluar, aku kembali berdua bersama bayi berpipi tembam dalam gendongan. "Hei, Boy," sapaku. Karuan saja dia tertawa. "Hei, Boy," panggilku lagi. Dia tertawa kembali. Seperti itu terus, sampai akhirnya kulihat dia menguap, lalu perlahan memejamkan mata. Akhirnya. Kuletakkan tubuhnya secara hati-hati di atas kasur, lalu ikut merebahkan diri di sampingnya. Menatap kosong langit-langit di atas kepala. Mimpi apa aku, kenapa bisa jadi begini, Ya Allah? . "Udah tidur bayinya," ujar Teh Nurul setelah keluar dari rumahku. Wajahnya tampak kusut dan mengantuk Jelas saja, aku membangunkannya pukul sepuluh malam, pasti dia kelelahan setelah mengurus suami dan anaknya. "Makasih banyak, ya, Teh. Maaf, ngerepotin terus," ucapku malu. "Enggak apa. Kalau Mas Rendi kasih izin, Teteh bisa aja urus bayi itu di rumah. Cuma, Teteh takut dia marah. Syahid aja masih butuh perhatian ekstra, takut terbagi kalau ada bayi lagi." "Enggak apa, Teh. James ngerti, kok. Ini aja James udah merasa terbantu karena Teteh udah mau kasih ASI. Maaf jadi ngerepotin terus, ya?" "Iya, enggak apa-apa, kok." Teh Nurul tersenyum. "Terus, besok kamu kuliah gimana, James?" Aku mengerjap, lalu menggelengkan kepala. Astaga naga, kenapa baru kepikiran? *** "Udah, Abang pergi aja. Biar Sari yang jagain Boy." Perempuan itu tersenyum sambil menggoyang-goyang bayi dalam gendongannya. "Abah enggak bakalan marah, Neng?" tanyaku ragu. "Enggak apa. Lagian Abah tau, kok, kalau Sari itu suka sama anak kecil." Dia merundukkan wajah sambil tersenyum malu. Kenapa dia? Apa jangan-jangan, dia memang memiliki impian untuk menjadi Mama Muda? . "Jem, lo tidur?" Aku terhenyak. Faris menatapku heran. "Enggak kuat ngantuk," jawabku lemas. "Abis ke mana? Apa jangan-jangan, hari Minggu kemarin abis jalan-jalan ama cewek sampe malem, ya?" tebaknya dengan senyum menggoda. Jelas saja aku tertawa sumbang. "Udah, lo keluar aja. Gue mau tidur dulu bentar." Kembali aku meletakkan kepala di atas kedua lengan yang terlipat di atas meja. "Ya udah, gue duluan. Awas, jangan sampe kebablasan tidurnya," peringat Faris sambil berlalu. Aku tak menyahut. Lebih memilih memejamkan saja. *** Sudah seminggu lebih berlalu. Masih belum ada kabar dari kantor Polisi. Setiap pagi Boy dimandikan oleh Teh Nurul, juga diberi ASI sampai kenyang. Kadang ketika bayi itu menangis dan mainan kerincingan tidak bisa menenangkannya, aku harus mengetuk pintu rumah Teh Nurul lagi. Terkadang malu, apalagi jika sedang ada suaminya. Mas Rendi sering menampakkan ekspresi tak sukanya padaku. Jika tiba waktunya kuliah, giliran Sari yang menjaga Boy. Aku juga merasa malu padanya. Sudah repot-repot mengurus Boy, dia juga sering membawakan makanan untukku. Ya, malu sekaligus senang sebenarnya. Seperti pagi ini, ketika aku masih bersiap untuk berangkat kuliah, Sari sudah datang membawa sepiring nasi beserta sayur opor tahu. "Abang jadi malu banget sama Neng Sari. Maaf, ya. Jadi nyusahin," ucapku seraya menerima nasi dan sayur darinya. "Enggak apa, Bang. Sari seneng, kok. Bisa masakin Abang makanan, terus ... urus Boy juga," sahutnya sambil meraih tubuh mungil di atas kasur. Aku yang sedang mengunyah makanan, entah kenapa mendadak merasa tercekat ketika akan menelannya. Padahal nasi yang aku makan penuh dengan kuah. . "Heran gue. Udah seminggu ini lihat lo, kerjaannya tidur melulu. Enggak di kelas, di perpustakaan juga." Faris menautkan kedua alis. "Lo tau 'kan gue tinggal di rumah kontrakan sempit, panas pula. Nah, kalo tidur di kampus tuh terasa adem. Ada AC-nya," jawabku asal. "Oh, gitu, ya. Pantes." Faris menganggukkan kepala berkali-kali. "Eh, Jem. Buku catatan yang kemarin lo pinjem, udah belom?" "Udah," sahutku lemah. "Kalo gitu, gue ikut pulang sama lo, ya. Mau ambil bukunya, belom beres ba--" "Jangan!" Karuan saja aku menegakkan kepala. Mata yang semula terasa berat, melotot seketika. "Gue belom beres salin. Malem ini gue beresin, besok gue bawa. Oke?" Faris melongo melihatku. "Lo kebanyakan tidur di kelas jadi aneh, Jem." "Ya udah, gue pulang duluan." Segera aku berdiri, berjalan cepat keluar dari perpustakaan. . "Bang James," panggil Sari saat aku hampir menginjakkan kaki di teras rumah. Dia yang sedang berdiri di depan rumahnya, berjalan cepat menghampiriku. "Mana Boy?" tanyaku. Melihatnya hanya membelitkan kain jarik di pundaknya. "Ada di rumah, lagi tidur," jawabnya. Aku menganggukkan kepala. "Abang mandi dulu, ya. Nanti kalau udah beres Abang jemput Boy." "Tunggu, Bang," cegah Sari ketika aku akan melanjutkan langkah. "Tadi ada Pak Polisi ke rumah." "Udah ketemu siapa orang tuanya?" tanyaku cepat. Sari terdiam, kemudian menggelengkan kepala. "Polisi belum menemukan jejak tentang siapa yang meninggalkan Boy di depan rumah Abang." "Terus?" Aku mulai tidak sabar. "Polisi bilang, cuma ada dua pilihan." Aku menautkan kedua alis. "Kalau Abang enggak sanggup urus Boy, bisa dititip di panti asuhan dulu. Atau ...." Aku menatap Sari tanpa berkedip. "Carikan orang tua angkat buat Boy." "Apa?" Aku hanya bisa mengusap wajah gusar. ***** --bersambung--
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD