3. Panti Asuhan

2256 Words
"Panti asuhan, orang tua asuh. Panti asuhan, orang tua asuh. Panti asuhan, orang tua asuh. Panti asuhan, orang tua a ...." Kelopak bunga di tangan habis ternyata. "Asem," gerutuku sambil melempar sisa tangkai bunga sembarangan. "Lah dalah. Kenapa lo, Jem?" Aku menoleh sekilas, lalu menyandarkan punggung pada sandaran kursi. "Lagi BB," sahutku. Faris duduk di sampingku. "Selain Boy Band sama berat badan, BB artinya apaan?" tanyanya antusias. "Biar gue catet di buku catatan bahasa anak gaul," sambungnya sambil membuka tas. "Banyak beban, oy! Banyak beban," sahutku sambil berdiri. Faris tampak menulis di buku berukuran kecil itu. "BB artinya banyak beban. Sip!" "Gue pulang duluan, deh, ya." Aku membuka tas, mengambil buku catatan mata kuliah yang kupinjam beberapa hari lalu. "Nih, bukunya." Kuberikan benda itu padanya. "Katanya mau ke kantin dulu?" tanya Faris seraya menerima buku itu. "Enggak jadi, lah. Besok aja. Pusing gue. Dah," tandasku. "Oiya, dadah, James!" "Eh, Riz. Gue mau nanya ama lo." Aku berbalik kembali karena teringat sesuatu. "Apa?" Kedua mata itu menatapku. Aku menengokkan kepala ke kanan dan ke kiri. Lalu duduk kembali di sisinya. "Lo ada sodara atau kerabat yang enggak punya anak?" "Ada banyak," sahutnya. "Beneran?" "Iya. Kakak sepupu gue, adik sepupu gue, keponakan juga. Kebetulan mereka belum pada nikah," paparnya. "Ah, asem lo. Maksud gue, sodara lo yang udah nikah, tapi enggak punya anak kecil di rumahnya. Ada enggak?" "Paling ... Mbah Kakung gue sama--" "Udah-udah. Ngomong ama lo bikin pegel. Gue balik, dah. God bye!" Aku berdiri dan berlalu dari hadapannya. "Gud bay, James!" sahutnya. . "Ciluk ... ba!" Sari menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, lalu membukanya. Seperti itu terus selama berkali-kali, Bayi yang sedang tengkurap di atas dipan itu pun tertawa terbahak-bahak. Sungguh, Sari memang berbakat menjadi Mama Muda. Ckckck. "Eh, Abang udah pulang?" ujar Sari ketika menyadari kehadiranku. "Iya, Neng." Aku melangkah, lalu berdiri di tepian teras. "Kenapa wajahnya kusut gitu, Bang? Ada masalah?" Sari terheran. Aku terdiam sejenak. "Menurut, Neng. Kira-kira ... bayi ini mendingan dititipin di panti asuhan atau dikasih sama orang?" "Jadi ... Abang mau titipin Boy aja?" "Ya, habis gimana? Abang 'kan kuliah. Tiap malem Abang susah tidur gara-gara harus ngelonin dia kalo kebangun. Efeknya, di kampus Abang jadi ngantuk," keluhku. Sari menoleh ke arah Boy, menatap iba dengan satu tangan mengusap puncak kepalanya. "Sebenarnya ... Sari mau aja sih, urus Boy. Tapi ... Abah pasti enggak bolehin juga kalau harus tiap waktu," ucapnya sedih. "Di sekitar sini, ada panti asuhan anak, Neng?" tanyaku. "Jadi Abang mau titipin Boy ke panti asuhan?" "Coba dulu, deh," sahutku. "Titip lagi sebentar, Abang mau solat Duhur dulu, ya," tandasku. "Iya, Bang." Sari menyahut ketika aku sudah keluar dari teras rumahnya. . "Udah," ujar Teh Nurul setelah memasangkan pengait gendongan di punggungku. "Masukin sini Boy-nya," perintahnya kemudian. Sari berdiri, lalu memasukkan tubuh bayi itu di depan daada dengan menghadap ke arahku. "Nanti kalau tidur tinggal peluk aja kepalanya," ucap Teh Nurul lagi. "Kayak gini, Teh?" Aku mencoba mempraktekkannya. "Iya." Teh Nurul menganggukkan kepala. Beruntung dia memiliki peralatan bayi lengkap. Tidak mungkin jika aku harus menggendong anak ini dengan kain jarik seperti yang selalu Sari pakai. "Ini topinya." Sari memakaikan topi berwarna merah di atas kepala gundul itu. Boy terdiam diperlakukan seperti itu. Sedari tadi dia hanya menyesap jemari tangannya. "James pergi dulu ya, Teh, Neng," pamitku. "Iya, hati-hati," jawab Teh Nurul. Sedang Sari, hanya melambaikan tangan disertai wajah sedih. . Lewat internet aku mencari panti asuhan terdekat. Ternyata ada lima panti asuhan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kontrakan, hanya butuh satu dan dua kali naik kendaraan umum. Panti Asuhan Anak Sejahtera, tempat pertama yang aku kunjungi. Setelah mengatakan tujuanku pada salah satu petugas, aku dipersilahkan masuk ke ruangan pimpinan panti. "Sayang sekali, bayi di sini sudah banyak. Ada dua bayi di bawah satu tahun, dan tiga lainnya berusia dua tahun, tiga tahun dan empat tahun. Mungkin jika salah satu dari mereka sudah ada yang mengadopsi, kami bisa saja menerima anak ini." "Tidak apa kalau begitu, Bu. Saya coba di tempat lain," pamitku segera. Kudatangi panti asuhan kedua, dengan nama Panti Asuhan Ananda. Dari namanya, ini pasti panti asuhan bagus. Baru saja menjejakkan kaki di teras, sudah terdengar ramai suara anak menangis. Astaga. "Ada perlu apa, Mas?" tanya seorang perempuan yang sedang menggendong bayi mungil dengan satu tangan memegang dot. "Mau ...." "Bu, Fani nangis, Bu. Gimana ini, Bu?!" teriak seorang perempuan yang lebih muda, dia berlari keluar dari dalam ruangan. "Aduh, Gusti. Anak-anak ini rewel sekali," keluh ibu yang menggendong bayi. Mereka berdua masuk ke dalam. Akhirnya, tanpa berpamitan aku pergi saja. Belum apa-apa aku sudah kasihan melihat dua perempuan itu kerepotan mengurus banyak bayi. Panti asuhan ketiga. Rumahnya terlihat kurang terawat. Aku sampai terheran. Bagaimana bisa tempat yang dihuni banyak anak begini terlihat kotor? "Assalamualaikum," sapaku. "Waalaikumsalam," sahut seorang perempuan paruh baya berkerudung merah yang keluar dari dalam. "Mau ketemu siapa, Mas?" "Benar ini Panti Asuhan Anak Sukarela?" tanyaku. "Iya, benar. Ada keperluan apa?" "Saya ... mau menitipkan keponakan saya, Bu," ucapku ragu. "Oh, begitu. Baiklah, silakan masuk. Kita bicara di dalam," ajaknya. Aku terkejut ketika memasuki ruangan. Ada belasan anak sedang duduk di atas lantai beralas tikar, dengan piring kosong di tangannya. "Mau makan siang, Mas," ucap si ibu, seolah mengerti keherananku. Aku melirik jam tangan di lengan. Makan siang jam tiga? "Silahkan duduk," ujar ibu itu. Aku pun menghempaskan tubuh di atas kursi kayu. "Ada lima belas anak di sini. Paling kecil berusia dua tahun, dan paling besar berusia empat belas tahun. Sudah satu tahun ini belum ada orang yang datang untuk mengadopsi." Ibu itu berkata ramah. Aku hanya diam untuk menyimak. "Sudah beberapa bulan ini juga belum ada orang baik yang datang untuk menyalurkan sedekahnya." "Bu, makan, Bu!" teriak salah satu anak. "Iya, sebentar, ya. Bu Ajeng masih masak," jawab si ibu dengan lembutnya. Aku menatap anak kecil perempuan itu. Sepertinya baru berusia lima tahunan. "Kalau boleh tau, alasan Mas untuk menitipkan bayi ini di sini karena apa?" Aku menoleh. "Karena ...." "Nasi sudah masak!" Tiba-tiba seorang perempuan lain datang dari arah belakang. Membawa wadah besar. "Sebentar ya, Mas. Saya kasih makan anak-anak dulu." "Iya, Bu." Kuanggukkan kepala. Boy merengek. Sepertinya dia kepanasan. Akhirnya kulepas topi di kepalanya, barulah dia terdiam kembali. "Ayo, diam di tempatnya. Yang enggak diam nanti enggak kebagian," ucap ibu berkerudung merah. Anak-anak itu memang diam. Masih memegang piring di tangannya. Sampai akhirnya piring mereka terisi dengan nasi. Tak lama, ibu yang membawa wadah tadi datang kembali dari arah yang sama. Kali ini membawa piring besar berisi tempe goreng. "Satu orang satu, ya." Ibu berkerudung merah menyimpan sepotong tempe di tiap piring. Aku menelan ludah. Tempe goreng, doang? Akhirnya anak-anak itu melahap makanan mereka dengan khusyuk. "Maaf, petugas di sini cuma ada dua orang. Yang lain tidak betah karena saya tidak bisa menggaji mereka selama beberapa bulan ini," ucap Ibu berkerudung merah setelah duduk kembali. "Jadi ... bagaimana? Apa alasan Mas untuk--" "Saya enggak jadi titip keponakan saya, Bu. Permisi," ucapku segera. Aku berdiri, melangkah lebar. Namun kemudian berbalik kembali. Kurogoh dompet dalam saku celana. "Ini, sedikit rezeki dari saya. Walau pun tidak besar, mungkin bisa membantu untuk membeli telur atau tahu." Kuberikan tiga lembar uang seratus ribuan. "Saya permisi," tandasku. Pergi melangkah meninggalkan wajah terpaku ibu itu. "Harusnya ganti nama, bukan Panti Asuhan Sukarela," gumamku seraya keluar dari rumah itu. "Mas!" Aku berhenti lalu berbalik. "Terima kasih." "Sama-sama, Bu," jawabku. Bergegas pergi kembali. Panti asuhan keempat. Kali ini rumahnya terlihat lebih terawat. Aku ketuk pintunya segera. "Siapa?" Seorang laki-laki keluar dari samping rumah. "Ini Panti Asuhan Dharma Jaya?" tanyaku. "Hust, ngomongnya pelan-pelan, Mas." Bapak itu meletakkan telunjuk di depan bibirnya. "Anak-anak sedang tidur siang," lanjutnya. "Oh, maaf, Pak," bisikku. "Ada keperluan apa?" bisik bapak itu. "Saya mau ketemu pemilik panti," ucapku. "Baik, tunggu di sini. Saya panggilkan." Dia pun melangkah ke arah kedatangannya tadi. "Oek ...." Boy mulai merengek lagi. Kutepuk punggungnya beberapa kali sambil menggoyangkan tubuh. Teh Nurul bilang itu salah satu cara menenangkan anak. "Ada keperluan apa, ya?" Seorang ibu muncul dari arah samping tadi. "Maaf, ganggu, Bu. Saya datang ke sini--" "Mau nitipin anak?" "Iya," jawabku pasrah. "Aduh, cari tempat lain saja deh, ya. Sudah ada dua puluh anak di sini. Saya sudah kerepotan. Mana ini anaknya masih kecil lagi. Haduh." Ibu itu memegang daadanya dengan wajah frustasi. "Iya, Bu. Enggak apa. Saya cari tempat lain," pamitku segera. Takut jika dia mendadak pingsan. Kutatap layar ponsel. Panti asuhan terakhir yang ada dalam daftar. Semoga kali ini beruntung. . Yayasan Panti Asuhan Al-Ikhlas. k****a papan di depan rumah itu. Sedikit takjub melihat bangunan yang lebih mirip rumah pribadi karena memang suasananya yang terasa nyaman dan sejuk. Ada beberapa pohon dan taman kecil penuh bunga di sudut sana, membuat halamannya terasa indah dipandang mata. Haish, kenapa malah jadi menatap pemandangan. Tujuanku ke sini 'kan bukan itu. Aku mendorong pintu gerbang yang memang sudah terbuka. Berjalan beberapa langkah menuju teras. "Permisi. Assalamualaikum. Selamat sore," sapaku. Tak ada sahutan. Aku melangkah lagi mendekati pintu. Asem. Ternyata ada bel di sana. Sepertinya efek lapar dan pundak yang sudah pegal ini. Beruntung Boy tidur setelah aku beri minum air putih di angkutan umum tadi. Walaupun sebenarnya tidak tega, tapi mau bagaimana lagi. Melihatnya kehausan pun aku semakin tak tega. Akhirnya kutekan bel. Menunggu selama beberapa detik, hingga kemudian pintu terbuka. "Assalamualaikum, Mbak," sapaku segera. "Waalaikumsalam," sahut perempuan yang tampaknya seumuran denganku itu. "Ada kepentingan apa, ya?" Dia bertanya setelah melihatku dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Ini ... panti asuhan, 'kan?" tanyaku ragu. "Iya," jawabnya singkat. "Saya mau ketemu sama pemilik yayasan ini, bisa?" "Wah, pemilik yayasan ini lagi ke luar kota, Mas. Ke Batam. Mas ada keperluan apa ketemu sama Pak Handoko?" Aku menelan ludah. Haduh. "Kalau begitu mau ketemu kepala panti atau orang yang dipercaya Pak Handoko buat pimpin panti ini, ada?" "Oh, Bu Indah. Ada di dalam. Sebentar saya panggilkan," ucapnya. Lalu berjalan ke dalam ruangan. Aku menengokkan kepala. Oh, ternyata di belakang sana ada rumah yang lain. Sepertinya di sana para anak berkumpul. Tak lama seorang perempuan berpakaian syar'i datang menghampiri. Wajahnya terlihat sejuk sekali dipandang. Putih berseri, dan memancarkan aura seorang perempuan shalihah. Pantas saja namanya Indah. "Assalammualaikum. Anda mau bertemu saya?" tanyanya ramah. "Waalaikumsalam. Iya, Bu. Saya ada kepentingan," sahutku. Dia melihat Boy yang terlelap di dadaku. Lalu menganggukkan kepala, seakan mengerti peliknya masalah yang sedang aku hadapi. "Silakan masuk. Kita bicara di dalam," ajaknya. "Baik, terima kasih," sahutku. Kemudian berjalan mengikutinya. Dia membawaku ke salah satu ruangan. Di mana di dalamnya terdapat banyak rak berisi buku dan map. "Silakan duduk," titahnya. Menunjuk kursi di depan meja, dan dia duduk di kursi di seberangku. "Apa tujuan Mas ke sini mau menitipkan bayi ini?" Aku menganggukkan kepala kaku. "Baik, boleh saja. Kami menerima semua bayi yang ingin dititipkan di sini. Tapi sebelumnya, tolong Anda isi dulu formulir ini." Dia menyimpan sehelai kertas yang diambil dari salah satu map. Aku tahan kepala Boy dengan tangan kiri, sedang tangan kanan meraih kertas itu. Ah, syukurlah. Tempat ini dengan mudahnya menerima Boy. Kubaca isi kertas itu. Nama. Alamat. Tempat tanggal lahir. Hubungan dengan anak. Alasan menitipkan anak. Sip. Gampang ini mah. Kuraih balpoin yang tergeletak di atas meja. Kuisi pertanyaan 'nama' dengan nama asliku. Jamaludin. Lalu kuisi 'alamat' dengan alamat kontrakan Abah Jambrong. Tempat tanggal lahir pun kuisi dengan mudah. Hingga pertanyaan nomor empat, hendak kuisi dengan jawaban keponakan. "Memangnya ke mana orang tuanya?" tanya perempuan di depanku. "Oh, orang tuanya ... meninggal," jawabku. "Dua-duanya?" Wajahnya tampak terkejut. "Iya. Kecelakaan mobil," jawabku cepat. "Mobil pribadi?" Aku mengangguk asal. "Itu artinya kakak Anda orang mampu, ya?" Aku yang baru selesai menulis kata 'keponakan', menoleh seketika. "Bisa disebut begitu." Lalu aku pindah ke pertanyaan selanjutnya. "Lalu kenapa harus dititipkan? Saya pikir Mas-nya terkendala biaya, lho." Aku yang hendak mengisi, terdiam sejenak. "Saya masih kuliah, Bu. Saya tidak punya waktu banyak, dan memang terkendala biaya juga." "Kakaknya Mas enggak tinggalin ... maaf, sebelumnya. Rumah atau tabungan misalnya untuk anak ini?" Aku menggelengkan kepala. "Orang tua Mas sudah tidak ada juga?" "Ibu masih ada, kalau Bapak sudah meninggal." "Apa tidak memiliki saudara yang lain?" "Ada satu kakak di ...." Aku terdiam. "Maaf, di daftar pertanyaannya cuma lima, tapi Ibu kok, bertanya banyak hal sama saya?" Kutatap wajah perempuan itu. Sorot matanya masih tetap sayu, tapi anehnya seperti sedang mengintimidasiku. "Bukan apa-apa, saya kadang suka kuatir. Jaman sekarang 'kan banyak remaja yang terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Laki-laki dan perempuan yang berpacaran layaknya suami istri. Lalu mereka punya anak. Akhirnya, alih-alih demi membersihkan masa depan, si perempuan tak segan untuk menggugurkan kandungannya." "Tapi 'kan enggak semua begitu, Bu," sanggahku. "Iya, tidak semua begitu. Banyak juga di antara mereka, yang ketika melahirkan, memutuskan untuk membuangnya." "Maksud saya, tidak semua pasangan kekasih itu berhubungan di luar batas lalu hamil dan menggugurkan kandungannya atau membuang anak mereka. Temen saya malah nikah muda demi menghindari itu," sanggahku lagi. "Nah, itu. Di antaranya ada yang pas ketahuan hamil mereka menikah muda, lalu karena tidak kuat menghadapi dunia pernikahan akhirnya mereka bercerai dan anaklah yang jadi korban," tukas Ibu Indah lagi. Aku menyimpan balpoin di atas kertas. "Jadi maksud Ibu, Ibu menuduh anak ini adalah anak saya dari hasil hubungan terlarang bersama pacar saya, makanya saya titipin di sini?" "Saya tidak mengatakan seperti itu, tapi bisa jadi 'kan seperti itu." "Aduh, Bu. Saya ini punya pacar aja belum pernah, Bu," elakku. "Lalu ini anak siapa?" "Ini anak ...." Aku memejamkan mata. "Apa saya harus katakan yang sesungguhnya?" tanyaku setelah menatapnya lagi. "Saya ingin yayasan ini bersih. Kami hanya menerima anak-anak yang jelas-jelas memiliki orang tua yang baik dan bukan dari hasil hubungan terlarang." Astaga naga! ***** --bersambung--
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD