4. Gara-gara Boy

1725 Words
Aku pulang ke rumah kontrakan dalam keadaan lemah, letih, lesu, lelah dan ... lapar. Ditambah lagi Boy yang menangis, rasanya ingin menangis juga. Oh, Tuhan. Cobaan macam apa ini? . "Jadi Abang pulang gitu aja?" "Ya iya. Mau gimana lagi. Itu si ibu pertanyaannya aneh-aneh banget." Kusuapkan sisa nasi terakhir dalam sendok. "Alhamdulillah, kenyang. Makasih, Neng. Sayur sop-nya mantap," pujiku, lalu meneguk air putih di gelas. "Sama-sama." Sari tersenyum, seraya membereskan piring dan mangkuk kotor bekas aku makan. "Terus itu tentang ibu panti, aneh gimana maksudnya, Bang?" tanyanya masih dengan senyum tak jelas. Aku mengabaikan senyum penuh tanda tanyanya itu. Memilih menyandarkan punggung, menerawangkan pandangan menatap langit senja di atas sana. Kubayangkan lagi kejadian memilukan tadi. Rasanya luka-luka yang sudah kering itu kembali tersayat. "Masa ... ibu panti itu nyangkanya si Boy anak Abang dari hasil hubungan terlarang. Padahal, jangankan menjalin hubungan terlarang, punya pacar aja Abang enggak pernah, Neng," ucapku sedih. "Astagfirullah, itu si ibu nyebelin banget, sih," timpal Sari gemas. Dia juga menggeram kesal. "Awalnya Abang bilang itu bayi ditinggal orang tuanya meninggal, tapi dia enggak percaya. Gimana kalau seandainya Abang bilang itu anak yang ditinggalkan gitu aja di depan kontrakan coba, makin enggak percaya aja itu Ibu Indah Surindah," omelku. "Suudzon banget itu orang," sungut Sari. "Iya. Makanya Abang pulang aja," ujarku. Pintu rumah terbuka. Membuat aku dan Sari menoleh. Tampak Teh Nurul keluar dari sana. "Kasian, laper banget dia," ucapnya. "Ya ampun, kasihan Boy," lirih Sari. Dia langsung berdiri, masuk ke dalam rumah. "Makasih ya, Teh," ucapku segera. "Sama-sama. Ya udah, Teteh pulang dulu, ya," pamit Teh Nurul. "Iya, Teh." Kuanggukkan kepala. Selepas kepergian Teh Nurul, aku memiringkan setengah badan, melihat ke arah dalam rumah. Sari sedang mengajak Boy bercengkerama. Kukira malam ini aku bisa tidur nyenyak tanpa rengekan bayi itu. Ternyata .... *** "Abang." Aku yang sedang menyapu teras menoleh. "Iya, Neng." "Boy udah mandi. Tinggal pake diapers." Sari berjalan membawa anak dalam gendongan yang wajahnya dipenuhi bedak itu. "Yang kemarin habis emang, Neng?" tanyaku heran. "Habis, Bang." "Isinya tiga puluh, lho!" Aku menunjukkan tiga telunjukku. Ya, tadinya sengaja membeli diapers kemasan besar di minimarket agar harganya lebih murah dan isinya banyak, jadi tidak harus bolak-balik ke warung Bang Juki untuk beli yang eceran. "Iya, 'kan dipakai setiap hari. Pagi satu sampai siang, siang ganti yang baru sampai sore, nah nanti sore ganti lagi sampai malem. Belum kalau tiba-tiba e*k. Itu 'kan harus ganti baru lagi," terang Sari. "Ya udah, Abang beli dulu di warung Bang Juki." Kusimpan sapu, lalu berjalan ke arah gang. Kurogoh saku celana pendek di tubuh. Uang dua puluh ribu jatah ongkos dan jajan di kampus hari ini, terpaksa harus terpotong untuk membeli popok bayi. Hadeuh. . Pak Sony keluar dari kelas. Kusandarkan punggung dengan satu tangan menutup bibir yang terbuka. "Lo ngantuk lagi, James?" tanya Faris. "Iya. Abis main gapleh sama tetangga," sahutku asal. "Enak, ya. Tinggal di kontrakan gitu. Punya tetangga banyak. Gue kalau Bapak Ibu tidur di toko, jadi sendirian aja di rumah. Enggak ada temen," keluhnya. Ya, Faris memang anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakaknya yang paling besar menjaga toko di daerah Jawa, milik orang tuanya. Sedang kakaknya yang kedua memilih membuka toko baru di pulau seberang, Kalimantan. Maka dari itulah orang tuanya memutuskan membuka kembali toko di Jakarta. Mengembangkan bisnis katanya. Mau tahu toko apa? Toko jamu-jamu. "Ya, lo syukuri aja hidup lo, Ris. Seenggaknya lo enggak kayak gue," ucapku seraya memasukkan buku catatan ke dalam tas. "Kenapa emang? Hidup lo kayaknya asik-asik aja, Jem?" "Gue .... maksud gue tinggal di kontrakan tuh kudu tebel kuping. Tiap mendekati tanggal tertentu, itu Abah Jambrong bakal teriak-teriak di depan rumah lo!" sungutku. "Abah Jambrong yang punya kontrakan? Kenapa dia? Sakit?" "Iya, penyakitnya kumat tiap kita telat bayar duit kontrakan." "Ah, elo. Eh, betewe anaknya Abah Jambrong itu siapa namanya?" "Sari." "Iya, Sari. Udah punya pacar belom dia?" Faris bertanya diakhiri cengengesan tak jelas. "Belom. Kenapa emang? Lo suka?" "Ya, kali aja bisa jadi mantu Abah Jambrong," tukasnya dengan ekspresi malu-malu. "Bulan lalu ada cowok deketin Sari. Dikasih golok sama Abah Jambrong." "Masa?" "Iya." "Dibacok?" "Enggak. Disuruh ngasah tuh golok. Abah Jambrong 'kan kolektor golok. Hahaha." Aku pun bangkit dari dudukku. "Ah, elo, James. Nakut-nakutin gue," ucapnya sambil mengaitkan tas di punggungnya. "Jajan dulu, nyok!" ajaknya ketika kami sudah melangkah menuju pintu kelas. "Enggak, lah. Gue mau langsung pulang. Mau lanjutin mimpi gue," tolakku. "Lah, elo enggak asik banget," gerutunya. "Duluan, dah!" tandasku seraya melambaikan tangan. Kurogoh saku celana, menatap tiga lembar uang dengan nominal dua ribuan. Lalu tersenyum pahit. Nyiksa diri lo, Jem-Jem. Demi tuh bocah sampai nahan tenggorokan yang haus. *** Pletak. Aku menyentuh pipi. Meringis seraya mengusapnya. Menyipitkan mata melihat bayi itu sudah berputar menjadi berlawanan arah denganku dalam posisi tengkurap. Tangan kirinya bergerak-gerak ke atas dan ke bawah, lebih tepatnya menepuk-nepuk kasur. "Kenapa pipi gue yang lo tabok," desisku. Eh, dia malah tertawa. Kulihat jam dinding yang tergantung di salah satu sisi kamar. Pantas saja. Sudah jam empat rupanya. Boy pasti menagih minum ASI. Aku bangun, menggendong bayi itu lalu turun dari kasur. Keluar dari kontrakan setelah sebelumnya memakaikan jaket di tubuh Boy. Setelah melewati dua rumah kontrakan, kuketuk pintu rumah Teh Nurul. Tak lama perempuan berdaster dengan motif bunga itu muncul dari balik pintu. Sudah mengerti dengan kebiasaanku selama tiga minggu ini, tanpa banyak kata Teh Nurul meraih tubuh mungil Boy lalu menutup pintu. Akhirnya aku duduk di atas lantai teras, menyandarkan punggung pada tembok rumah. Seperti ini setiap menjelang Subuh selama hampir satu bulan, dan entah sampai kapan. . "Abang!" Sari memanggil dari teras rumahnya ketika aku baru memasuki pagar yang mengelilingi kontrakan. "Sebentar, Neng. Abang kebelet pipis," sahutku. "Ih, Abang. Tunggu dulu sebentar," cegah Sari yang ternyata berjalan menghampiriku. "Lihat, Bang." Dia menunjukkan mangkuk kecil berisi makanan. Aku menautkan kedua alis. "Apaan itu?" Terheran melihat bentuknya yang seperti bubur tapi berwarna merah kecoklatan. "Ini makanan bayi, Bang," sahutnya. "Oh. Neng suka makanan gituan?" tanyaku. "Ih, Abang. Masa Sari makan bubur kayak gini. Ini, Sari lagi suapin Boy." Kali ini dia memperlihatkan sendok kecil berisi bubur lalu memasukkannya ke dalam mulut mungil itu. Dengan lahap Boy memakannya. Bibirnya bergerak-gerak mengunyah dengan cepat. "Dia udah makan?" tanyaku tak percaya. "Iya. Jadi tadi pagi pas abis dikasih ASI sama Teh Nurul dia nangis terus. Teh Nurul bilang mungkin masih lapar. Akhirnya dicobain deh, dikasih bubur ayam punya Syahid. Eh, dimakan, Bang. Teh Nurul bilang kayaknya Boy emang udah umur enam bulan." Asem! Mau enam bulan mau seribu bulan, yang jelas kenapa itu bayi malah udah makan aja. Haduh! . Ponsel berdering. Kulirik segera siapa yang menelepon. Astagfirullah, Kang Kamal? Kulihat Boy yang asyik bermain sendiri. "Heh, Boy. Diem, ya. Jangan bersuara," bisikku sambil meletakkan telunjuk di depan bibir. Anak itu malah cekikikan sendiri. Kusambar benda yang masih berbunyi itu. Menekan segera tombol jawab. "Halo, assalamualaikum." "Waalaikumsalam, Jamal. Gimana sehat?" Ternyata Emak yang berbicara dari seberang sana. "Alhamdulillah, sehat, Mak. Emak sendiri gimana?" tanyaku pada perempuan yang telah melahirkanku itu. "Alhamdulillah, sehat. Gimana kuliahnya?" "Lancar, Mak. Gimana panennya, hasil, Mak?" "Alhamdulillah, hasil panen bagus. Makanya ini Emak mau kasih tau, kalau Emak udah transfer uang ke rekening kamu." Aku tersenyum semringah. "Oh, iya, Mak. Terima kasih banyak. Jamal janji akan gunakan sebaik mungkin uangnya." "Iya, semoga berkah. Ya sudah, Emak cuma mau kasih kabar itu. Sudah dulu, ya. Hati-hati di sana, jaga diri baik-baik." "Iya, Mak. Emak juga jaga kesehatan." "Insyaa Allah. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Kujauhkan ponsel yang sambungnya sudah terputus. Yes! Kiriman datang. Kuraih segera tubuh Boy. "Eh, lo tunggu sama Neng Sari, ya. Bentar aja. Oke?" Boy tertawa memperlihatkan gusinya. Hadeuh! Aku keluar dari rumah lalu mengunci pintu. Ketika berbalik, tampak Mas Rendi datang mengendarai motornya. Terlihat terburu-buru melepas helm, dia turun dari kendaraan roda dua itu lalu masuk ke dalam rumah. Ada apa? "Ayo, cepetan!" "Iya, bentar, Mas. Pakai kerudung dulu." Lalu tangisan Syahid terdengar keras. Merasa penasaran, aku menghampiri mereka. "Kenapa Syahid, Teh?" tanyaku setelah berdiri di depan teras rumah. "Sakit, James," sahut Teh Nurul yang sedang memakaikan jaket ke tubuh Syahid. Sedang Syahid sendiri berada dalam gendongan ayahnya, alias Mas Rendi. "Ini semua gara-gara kamu, James. Istri aku harus ikut-ikutan ngurus anak itu. Nih, sekarang lihat. Anak kita yang sakit," omel Mas Rendi. "Udah lah, Mas. Anak sakit kok, diributin. Ayo, kita ke dokter sekarang," ajak Teh Nurul. Aku termangu menatap kepergian sepasang suami istri dan anak semata wayang mereka. "Abang, mau ke mana?" Sari muncul dari arah gang. Aku mengerjapkan mata. "Eh, Neng Sari. Habis dari mana?" tanyaku balik. "Biasa, habis ambil rantang bekas makan siang Abah," jawab Sari yang sudah berdiri di depanku. "Abang mau minta Teh Nurul buat kasih ASI? Barusan Sari lihat Teh Nurul pergi sama Mas Rendi," lanjutnya sambil menunjuk ke arah kedatangannya tadi. "Iya, Abang tau. Mereka pergi ke dokter," sahutku lesu. "Ke dokter?" Kedua mata Sari melotot. "Siapa yang sakit?" "Syahid. Mas Rendi nyalahin Abang, gara-gara Teh Nurul kerepotan ikut ngurus Boy," paparku. "Ya Allah, Mas Rendi kok, gitu. Harusnya dia 'kan tau, Abang enggak mungkin kasih dia susu." Sari mengelus pipi Boy dengan wajah iba. "Apa ... Boy dikasih s**u formula aja ya, Neng? Jadi enggak usah minta ASI lagi sama Teh Nurul," tanyaku ragu. Sari berdiri tegak kembali, lalu mengembuskan napas pendek. "Sari sih, gimana Abang aja. Kalau Abang sanggup, ya silahkan." Aku tersenyum kelu. "Kalau gitu, boleh titip dulu Boy? Abang mau ke minimarket sebentar." "Boleh, Bang." Sari menyambut Boy ke dalam pelukannya disertai senyum lebar. . "Mbak, s**u formula buat anak umur enam bulan mana?" "Enam bulan yang ini, Mas," tunjuk karyawan minimarket itu. "Kalau ... MPASI-nya yang mana?" tanyaku lagi setelah mengambil tiga dus s**u formula. "Kalau MPASI sebelah sini, Mas," ucapnya sambil melangkah ke rak di sebelahnya. "Ada beberapa rasa. Ada beras merah, kacang hijau, rasa pisang, apel, bubur tim--" "Semua rasa satu-satu," pintaku. "Oh, iya. Diapers sama botol susunya juga." "Baik." Perempuan berkerudung merah itu mengangguk seraya tersenyum. Akhirnya, aku membawa semua belanjaan ke kasir. Tidak tanggung-tanggung, dua keranjang penuh. Kukeluarkan dua lembar uang seratus ribuan. Menunggu sang kasir menghitung dengan baik dan benar. Akan tetapi, lama-lama aku mulai gelisah, karena angka di layar mesin komputer sudah melebihi nominal perkiraan. Dua ratus lima puluh ribu. Tiga ratus ribu. Tiga ratus lima puluh. Kutatap keranjang yang masih berisi beberapa kotak makanan bayi. "Semuanya lima ratus lima puluh lima ribu lima ratus rupiah, Mas," ujar sang kasir. Apa?! Haduh, tiba-tiba terasa pusing kepalaku. ***** --bersambung--
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD