Aileena menatap hamparan laut lepas di hadapannya. Dia masih di Bali. Semua pekerjaannya sudah selesai tapi Aileena masih malas untuk kembali ke rumah. Membayangkan rumah tangga konyolnya dengan Adnan membuat Aileena merasa dia tidak pernah baik-baik saja. Pernikahan itu terasa hanya formalitas. Menikah hanya status semata. Mereka hanya sah di mata agama dan negara. Tapi ketika sudah di rumah atau di luar rumah mereka tetap dua orang asing. Rekan-rekan kerjanya bahkan tidak pernah tahu bahwa Aileena Razeta Abdilah sudah menikah sejak setahun yang lalu.
Setahun menikah dengan Adnan, Aileena masih belum bisa menerima pria itu dalam hidupnya. Adnan hanya penghuni dan penjaga rumah ketika Aileena sedang tidak ada di rumah yang sudah dia beli sejak tiga tahun yang lalu. Adnan adalah suami pajangan sedangkan Aileena adalah kepala rumah tangga yang harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga kecil yang mendadak terbentuk itu.
Aileena kadang kerap kali di jodoh-jodohkan oleh rekan kerjanya tapi Aileena memilih bungkam. Aileena menganggap lelaki itu merepotkan, toh, tanpa seorang laki-laki Aileena bisa terbang setinggi yang dia bisa. Aileena tidak pernah menggantungkan dirinya pada orang lain. Abdilah, ayahnya selalu mengajarkan Aileena untuk bisa menjadi wanita mandiri dan selalu bisa menjaga diri. Dan sepertinya itu sudah kelewatan, Aileena terlampau ketat menjaga diri sampai-sampai setahun menikah dia masih di nyatakan perawan.
Aileena menyesap teh hangatnya, pagi ini di Bali langit sangat cerah namun Aileena masih enggan untuk beranjak dari kursi malas yang ada di blakon hotel tempatnya menginap.
Siapa sih? :Assalamualaikum istri, selamat pagi. Aku mau laporan.
Aileena hanya membaca pesan yang baru di kirim oleh Adnan.
Siapa sih? : Aku sudah selesai beres-beres rumah. Hari ini kotak pororo yang selalu kamu kasih makan, aman. Aku nggak ngambil uang sama sekali karena aku nggak mau si pororo busung lapar karena ibu Aileena yang sultan sekali sedang tidak ada di rumah hehe
Aileena mengeryit bingung, Adnan selalu sulit di pahami. Pria itu selalu berpikir di luar kendali manusia normal.
“Kapan pintarnya sih?” tanya Aileena bermonolog sendiri. Dia masih menatap room chat-nya dengan Adnan ketika pria itu masih mengetik.
Siapa sih? : Hari ini aku ke kampus, dosen pembimbingku minta di apelin. Kangen kayaknya sama anak yang di campakan ini wkwk
Dahi Aileena semakin berlipat. Adnan dan pikiran absurd-nya sepertinya menang tidak bisa di pisahkan. Jemari lentik itu mulai bergerak untuk membalas pesan Adnan. Pria itu tidak akan berhenti mengganggu ketenangan Aileena sebelum mendapat balasan.
Me: Pergi yaudah pergi aja. Nggak usah laporan. Berasa penting banget kamu
Aileena menutup layar ponselnya. Kembali meletakkan benda persegi panjang dengan harga selangit itu di atas meja. Aileena memilih menidurkan diri di sofa yang ada di sebelah kursi malasnya. Hari ini Aileena sedang tidak ingin melakukan apapun dan jelas tidak ingin di ganggu oleh manusia edan seperti Adnan.
***
Adnan melangkah tergesah ke arah motor astreanya yan terparkir di perkarangan rumah Aileena. Saat sudah duduk di atas motor, pria dengan kaus lusuh itu kembali turun dan berjalan ke arah pintu. Memastikan pintu tersebut sudah terkunci dengan baik atau belum. Adnan bahkan sudah melakukan hal yang sama sebanyak lima kali. Kejadian rumah pernah kemalingan sebulan yang lalu membuat Adnan sedikit trauma, bukan takut sama malingnya tapi takut sama kemurkaan Aileena yang sudah seperti penjaga neraka.
Saat ingin menyalakan motornya kembali. Bunyi ponselnya membuat Adnan mengurungkan niatnya.
Istriku adalah sumber cuanku: Pergi yaudah pergi aja. Nggak usah laporan. Berasa penting banget kamu
Mata Adnan membulat sempurna, dia menatap pesan yang di kirim Aileena dengan ekspresi terkejut yang di buat-buat.
“Istri siapa sih ini!”
Adnan Alfarizi: Jawab salam dulu, Ai
Adnan Alfarizi: Bukannya sok penting, takut kamu kangen aja, eakkk
Adnan Alfarizi: Aku sudah kunci pintu, ini aku mau berangkat ke kampus
Adnan Alfarizi: Ai, kapan pulang? Perabotan mahal kamu kangen katanya
Adnan Alfarizi: Istri, suami ganteng berangkat memperjuangkan skripsi dulu, kamu yang semangat cari cuan. Assalamualaikum, muehehe
Setelah memastikan semua pesan itu terkirim dan tidak ada tanda-tanda Aileena akan membalas pesannya, Andan kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Dia memakai helm bututnya dan motor astrea yang sering di hujat Aileena itu melenggang membela jalan ibu kota dengan udara penuh polusi yang sesekali membuat Adnan terbatuk.
Aileena Razeta Abdilah, bohong jika Adnan mengatakan tidak tertarik pada Aileena. Kadang Adnan berpikir, dosa besar apa yang Aileena lalukan di masa lalu sampai-sampai menikah dengan lelaki tidak memiliki masa depan seperti dirinya. Aileena bahkan bisa memilih laki-laki yang diinginkanya dengan mudah. Cantik, karier bagus dan jelas memiliki banyak uang. Lelaki mana yang tidak menginginkan Aileena?
“Gue orang beruntung, walau dia galak kayak Hitler sih. Tapi selow, Nan, semua akan cie-cie pada waktunya, eaakk,” celetuk Adnan, pria itu menelusuri koridor kampus yang mendadak terasa asing. Tanpa Adnan sadari, penghuni kampus berganti setiap tahun. Bahkan teman-teman satu angkatannya tidak lagi terlihat.
“Kayaknya emang gue doang yang b**o,” ucap Adnan lalu terkekeh sendiri sambil memainkan kunci motornya dengan jari tangan.
“Jantung gue kenapa dugun-dugun sih, berasa mau malam pertama,” ucap Adnan. Pria itu menatap pintu yang tertutup rapat di hadapannya dengan horor.
“Bismillah, gue harus cepat lulus supaya bisa open piyama Aileena dan punya baby yang uwu-uwu.”
***
Menurut ilmu perkayongan Adnan, bertemu ayah mertua adalah hal yang menyeramkan. Namun, ternyata kenyataannya tidak semenyeramkan itu. Adnan sekarang malah sedang tertawa cekikikan bersama bapak Abdilah yang kepalanya sudah memutih.
“Bapak Abdilah, nggak mau ubah warna rambut?” tanya Adnan. Dia meminum kopi hitam yang di belikan oleh bapak Abdilah. Sore ini setelah bertemu dosen pembimbingnya, Adnan di ajak ngopi sama ayah mertua yang kebetulan ada di kampus.
“Kamu ngeledek?” tanya bapak Abdilah. Adnan nyengir.
“Bukan begitu bapak Abdilah, siapa tahu aja bapak Abdilah masih ingin terlihat muda di depan mahasiswa yang masih unyu-unyu,” ucap Adnan. Abdilah mendengus, Adnan selalu begitu. Selalu menjahilinya dengan jokes receh yang kadang berhasil membuat dia tertawa lepas.
“Ngapain, rambut warna putih lagi jadi trend di kalangan mahasiswa. Kamu sih mahasiswa bangkotan mana tahu trend,” ucap bapak Abdilah dengan sadis.
“Bulan depan juga saya lulus, Pak,” ucap Adnan dengan wajah bangga.
“Emang tadi dosen pembimbingmu yang galaknya sebelas dua belas sama Aileena itu bilang apa?” tanya bapak Abdilah. Dia menyesap kopinya. Duduk menghadap Adnan dengan wajah serius.
“Nama Aileenanya bisa di sensor aja bisa nggak pak?” tanya Adnan sambil memajukan sedikit tubuhnya.
“Kenapa?” tanya bapak Abdilah. Adnan memasang wajah sangat serius, dia semakin mencondongkan tubuhnya ke depan.
“Takut dia tiba-tiba muncul terus…” Adnan menghentikan ucapannya.
“Terus?” tanya bapak Abdilah dengan senyum misterius. Adnan juga memasang senyum yang sama. Sudut bibir kedua pria berbeda generasi dan berbeda nasib itu terangakat. Mereka semakin mendekat.
“Berubah,” ucap mereka dengan kompak. Senyum keduanya semakin terbentuk.
“Menjadi,” ucap keduanya lagi. Tatapan keduanya terlihat semakin jenaka.
“MACAN BETINA!” seru mereka kompak lalu tertawa terbahak-bahak. Wajah galak Aileena memang menakutkan dan penuh intimidasi, siapa saja pasti akan memilih diam ketika Aileena sudah marah termasuk dua pria beda generasi itu namun ketika Aileena tidak ada di antara mereka maka inilah yang akan terjadi. Aileena mendadak menjadi bahan gibah yang paling nikmat.
Puas dengan tawanya. Tatapan bapak Abdilah berubah serius. Dia kembali duduk dengan tegap.
“Jadi bagaimana skripsi, kamu?” tanya bapak Abdilah.
Adnan berdehem, “tinggal revisi bab 4 dan membuat bab 5,” jawab Adnan sambil nyengir. Bapak Abdilah melotot galak.
“Dari tahun kemarin jawab kamu itu terus. Kamu niat kuliah nggak sih? Kamu mau jadi mahasiswa sampai mati?” tanya bapak Abdilah. Tidak ada lagi ekspresi jenakanya. Adnan mendadak dapat bimbingan untuk kedua kalinya hari ini.
“Niat bapak Abdilah,” jawab Adnan dengan patuh. Kalau sudah begini, Adnan sangat yakin, mereka baru bisa beranjak dari kafe ini ketika malam menjelang.
“Saya kan sudah kasih kamu tips cara menyelesaikan skripsi dengan cepat. Kamu dengerin saya nggak sih selama ini?” tanya bapak Abdilah. Jiwa profesornya langsung keluar.
“Siap dengarkan pak Abdilah,” jawab Adnan dengan kepala menunduk.
“Siap dengarkan mulu kamu dari tahun lalu. Kalau kamu begini terus kapan Aileena mau ngakuin kamu sebagai suami? Ayolah Adnan bekerja sama. Saya nggak mau nanti tiba-tiba mati dan belum gendong cucu. Saya gentayangin kamu siang dan malam biar cepat nyusul,” ucap bapak Abdilah dengan sadis dan berhasil membuat bulu kuduk Adnan meremang.
“Hari ini di dengarkan dengan benar, bapak Abdilah,” ucap Adnan.
“Yasudah, kamu nggak usah sok jadi orang sok tertindas gitu. Nggak cocok banget sama wajah kamu yang abstrak itu,” ucap bapak Abdilah.
Adnan mendengus, “nggak anak, nggak bapak. Sama aja, hobi banget nistain gue,” ucap Adnan dalam hati.
“Jangan ngomongin saya dalam hati. Kalau punya pesan dan kesan sampaikan saja secara langsung,” ucap bapak Abdilah sambil melihat keluar jendela kafe yang ada di samping kampus.
“Siap laksanakan bapak Abdilah,” ucap Adnan dengan senyum lima jari.
“Jadi kamu punya kesan dan pesan apa buat saya?” tanya bapak Abdilah.
Adnan nyengir lagi, “bapak Abdilah tahu kan istri saya yang cantik sekali sedang tidak ada di rumah?” tanya Adnan.
“Iya saya tau, istri kamu yang galak itu sedang ada di Bali, kan?”
“Kok bapak Abdilah tahu?” tanya Adnan. Bapak Abdilah menatap Adnan dengan sinis.
“Yaiyalah saya tahu, orang tadi saya telponan sama Aileena,” jawab bapak Abdilah dengan bangga.
“Aileena telponan sama bapak? Seriusan? Bapak siapa Aileena sih? Bapak selingkuh sama istri saya? Kok pesan saya nggak di balas?” tanya Adnan dengan dramatis.
“Orang saya bapaknya, apalah artinya butiran debu seperti kamu. Nggak penting!” seru bapak Abdilah sadis. Adnan melotot.
“Bapak Abdilah,” panggil Adnan masih dengan ekspresi dramatisnya.
“Apa?” tanya bapak Abdilah.
“Apa yang bapak lakukan itu, jahat!” seru Adnan sambil memalingkan wajahnya bertepatan dengan sebuah pesan yang baru saja masuk ke ponselnya.
Istriku adalah sumber cuanku: Aku sudah sampai bandara, tunggu aku di depan pintu rumah!
Istriku adalah sumber cuanku: Kalau sampai aku nyampe rumah dan kamu nggak ada. Kamu tidur di luar sama pot bunga.
Adnan melotot melihat pesan yang baru saja di kirim Aileena. Sepertinya istrinya itu benar-benar ingin membuat Adnan cepat mati.
“Pesan dari Aileena, ya?” tanya bapak Abdilah.
“Buruan deh kamu pulang, Aileena sepertinya akan sampai rumah lima belas menit lagi,” ucap bapak Abdilah dengan santai.
“APA?!” seru Adnan tidak santai.
“Nggak usah drama, buruan pulang, saya sudah bosan lihat kamu,” ucap bapak Abdilah.
“Kenapa bapak Abdilah nggak ngomong dari tadi?” tanya Adnan gereget sendiri pada ayah mertuanya ini."
“Berasa penting banget kamu sampai-sampai saya harus berbagi info penting,” jawab bapak Abdilah. Adnan mengusap dadanya pelan. Harusnya Adnan ingat mertuanya ini sama menyebalkannya dengan Aileena. Nggak bapak, nggak anak sangat hobi menyiksa Adnan.
“Bapak Abdilah,” panggil Adnan sebelum benar-benar beranjak dari kafe.
“Apa?” tanya bapak Abdilah.
“Kita putus, bye,” ucap Adnan dramatis lalu meninggalkan kafe dengan langkah lebar dan wajah penuh ketakutan. Bapak Abdilah menatap punggung Adnan dengan geli.
“Putus? Sakarepmu bae lah, Nan..Nan,” ucap Bapak Abdilah sambil menggelengkan kepala sambil tertawa.