PART 9 - PEMBAHASAN BERAT.

1633 Words
Pagi ini Danil mengendarai motornya dengan rasa sedikit kesal atas sikap Papanya. Membelah jalanan yang hari itu tidaklah begitu merayap. Merasakan bagaimana semilir angin mengiringi perjalanan menuju gedung sekolah. Semakin kemari, Papanya semakin kelewatan. Ini sudah hampir satu minggu papanya rutin pergi pagi dan pulang malam, alasan tugas kantor segala. Nanti akan ada saatnya ia menyelidiki semua, biar rasa penasarannya tertuntaskan. Danil teringat niatnya pagi ini. Ia akan mencari siswi bernama Hana itu. Sudah ditolong malah main pergi saja. Seolah membiarkan Danil terkena masalah. Tahu gitu, tak akan ia tolong kemarin. Bikin menambah masalah saja di rumah. b******k!! Gara-gara menolong gadis itu, dia malah kena omel Papanya. Yang ditolong malah gak tahu diri. Main keluyur aja pergi. Setelah sampai di gedung sekolah, ia tidak langsung ke kelas. Memilih tetap duduk di atas motor, sampai Dipta dan Ega datang. Dari parkiran, Danil memperhatikan satu-persatu siswa yang datang. "Gimana kemarin, lo perang lagi gak sama bokap Lo?" tanya Dipta. Pasalnya saat bertemu Papanya Danil, Dipta dan Ega hanya bisa mengangguk hormat. Walau tak dapat balasan. Tapi lebih baik gitu sih. Ya kali mereka mau dapat balasan ocehan. Lihat wajah Papanya Danil menyeramkan sekali saat menjemput Danil kemarin. Gak aneh Danil lebih menghindari percekcokan dengan sang Ayah. "Biasalah. Bukan bokap gue kalau gak ngomel mah." Danil menjawab asal. "Harap maklom sob, namanya bapak-bapak. Besok juga kita ngalamin kok," nasehat Ega sambil menepuk bahu Danil. Mendapat pelototan dari kedua sohibnya, Ega mengangkat bahu. "Lho benar kan. Kita bertiga bakal jadi bapak-bapak. Ya kali lo mau jadi mak-mak berdaster gitu." Cengiran khas Ega terlihat. "Lo aja kali, gue kagak." Dipta melempar dahan kering ke wajah Ega, tapi berhasil ditepis. "Ke kantin yuk, gue belum sarapan nih," pinta Ega dengan memelas pada Dipta yang kembali asyik dengan gamenya. Sementara Danil masih memfokuskan matanya ke arah pintu masuk. Dan itu tak begitu diperhatikan oleh kedua sahabatnya. Dipta mematikan gamenya dan bangkit dari duduknya yang semula bersandar di motor miliknya. "Yoi, gue juga belum sarapan." Saat Dipta dan Ega bangkit berdiri, berbeda dengan Danil. Membuat kedua sahabatnya saling mengangkat kedua alisnya. "Nil, ke kantin gak?" ajak Ega. "Gak, lo aja sana." Danil mengibaskan telapak tangannya tanda mengusir. "Nah lo ngapain di mari bengong gitu? Mending masuk kelas sana!" titah Ega. Danil menoleh dan berdecak. "Ck, udah sana! Punya mulut jangan kayak cewek deh, bawel banget. Sana pergi!" Ega dan Dipta hanya menggeleng, tapi tetap juga melangkah pergi. "Tuh anak lagi ada yang diincer ya?" bisik Ega. "Gak mungkinlah, si Delia segitu cantiknya saja dilepas. Cewek anak sini mana ada yang cantik." "Ho oh." Ega mengangguk. "Kalau ada yang cantik juga pasti langsung gue ajak kenalan dan gue jadiin pacar." "Lo jangan ngarep punya pacar cantik, Ga-Ga." Dipta menggeleng sedih. "Emang kenapa?" Ega memandang heran. "Yang jelek aja lo gak dapat-dapat, ngarep yang cantik pula. Sadar diri woyyy!" "b******k lo!" Ega hendak menonjok bahu Dipta, tapi temannya itu sudah lebih dulu mengelak. Dipta tergelak, dan tak lama Ega pun ikutan. Begitulah mereka, kadang saling tonjok kadang saling tertawa bersama. Danil bangkit dari posisi duduknya, saat melihat sesosok gadis masuk ke dalam area sekolah dengan membawa beberapa buku di depan d**a, juga plastik besar yang entah apa isinya. Sekilas tampak merepotkan sekali. Mirip ibu-ibu yang belanja di pasar. Orang yang memang ia tunggu sejak tadi. Hana. Gadis itu terlihat santai berjalan, tidak terlihat kerepotan dengan membawa bungkusan besar di tangan kanan. "Lo bener-bener cewek yang gak tahu terima kasih ya," ketus Danil menjajari langkah Hana ke tengah lapangan. "Hah!" Hana menghentikan langkahnya. Mata gadis itu melotot, menoleh pada Danil. Seketika raut wajahnya menunjukkan jika ia keheranan, seorang Danil mendekatinya. Tumben sekali. "Kamu bicara sama aku?" tunjuknya pada diri sendiri. "Bukan, sama angin." Kini mereka berdiri di depan lapangan, dengan dipandangi oleh beberapa siswa-siswi yang melewati lapangan. Buat Danil mungkin biasa, tapi tidak buat Hana. Ia risih karena takut terkena gosip dekat dengan Danil. Bukan apa, kaum hawa di sekolah ini sangat mengidolakan Danil sekali. "Lo mau-maunya ya deket sama si Roy b******k itu. Lo kan baru pindah kemari? Harusnya pilih-pilih cari teman, jangan asal. Supaya gak kena masalah." Bak seorang sahabat sejati, Danil memberi nasehat. Tapi yang ia lakukan justru membuat Hana melipat kening. "Aku gak dekat kok sama yang namanya Roy." Bagaimana bisa lelaki ini menuduhnya? "Gak dekat gimana? Lo pacaran sama dia kan?" Danil asal nuduh lagi. Memang. Kepala Hana menggeleng cepat. "Gak, gak pacaran. Apaan sih!" Mulut Hana kini cemberut kesal, membuat alis Danil naik satu. "Gue cuma mau kasih tahu satu sama lo. Roy itu terkenal bandel dan nakal. Tapi terserah sih, lo deket sama dia juga bukan urusan gue. Cuma lo tahu gue nyesel nolongin lo kemarin, gue dipanggil ke ruangan kepala sekolah, dan lo enak aja main kabur. Harusnya lo bantuin gue kasih penjelasan sama kepala sekolah di sana, kalau si Roy itu ganggu lo. Dasar gak tahu terima kasih. Bikin masalah di hidup gue aja lo." Danil berbalik hendak pergi. Segala kekesalan hatinya sudah ia luapkan pada gadis ini. Ia menyesal membantu Hana kemarin. "Tunggu!" teriakan gadis bernama Hana itu membuat Danil menghentikan langkahnya. Walau setengah hati, ia tetap menoleh sedikit. "Terima kasih ya." Terlihat senyum di kedua sudut bibir Hana. Senyum tulus dari dasar hati. Danil hanya mendengus. Telat. "Gadis aneh." Lalu ia kembali masuk ke dalam kelasnya, sama sekali tidak berminat membalas senyum Hana. Sementara Hana yang melihat sikap Danil, hanya mengangkat bahu dan melangkah juga ke dalam kelasnya. "Ck,ck,ck. Ternyata lo ngincer Hana sejak tadi di parkiran?" Ega geleng kepala. Danil tak mempedulikan ucapan sahabatnya, meletakkan begitu saja tas yang tersampir di bahunya di atas meja. "Jangan suudzon Ga. Kalau inceran tuh ketemuan pasti senyum-senyum merekah. Lah lo gak liat muka si Danil ketemu si Hana, kaya orang abis diuber-uber debt kolektor gitu. Manyun ngelebihin mak-mak yang abis dipoligami?" "Buset dah! Bahasa lo! Kaya lo tahu aja gimana manyunnya mak-mak yang dipoligami." Ega tergelak. "Yah tahulah, depan rumah gue ada. Sebulan di poligami sama lakinya, hidupnya kusut bagai hidup segan mati pun ogah." "Seriusan tetangga lo dipoligami?" Kini Danil yang bertanya. "Yoi, beneran ya, kasus poligami itu sungguh meresahkan ibu-ibu zaman now. Bikin sengsara istri tua. Bayangin aja, nemenin dari susah, merasakan jungkir balik kaya naik roller coaster. Begitu suami di atas, eh main izin aja buat poligami. Enteng banget lagi ngomongnya, karena merasa mapan membiayai dua rumah tangga. Gila banget gak sih? Gak memperdulikan hati istri pertama," tutur Dipta. "Memang anak-anaknya gak berontak? Semacam protes gitu?" Danil semakin penasaran. "Anak dua cewek semua, mana berani sama bapaknya. Kan semakin kemari bapaknya semakin emosian. Udah untung istri pertama dan anaknya gak ditendang dari rumah. Ada lho, yang main usir istri dan anak-anak demi istri muda. Pelakor zaman now, gitu lho." Dipta naik turunkan kedua alisnya. "Eh gila, kenapa pagi-pagi pembahasan berat amat sih?" Ega protes, membuat Dipta terkekeh. "Ini siraman rohani dari gue, biar kalau lo nanti punya bini jangan poligami. Hargailah ibu dari anak-anak kita. Karena kita hanya butuh satu pendamping saat di surga nanti, biar gak sempit di sana." "Sekalian lo juga liat-liat, kali bokap lo di rumah udah mulai beda sama nyokap lo. Apalagi sering alasan ke luar kota lah, pergi pagi pulang malam. Itu warning guys! Siap-siap pelakor menyambangi rumah kalian ha ha ha." "Resek lo!! Lulus aja belom udah bicara ibunya anak-anak. Lo pacar aja belum dapet," seloroh Ega. "Enak aja, otewe dong. Gue tinggal berjuang sedikit lagi. Evelyn-Evelyn." Dipta tersenyum bangga. Apalagi mengingat wajah cantik siswi SMA PERDANA kemarin. Untung dia mau menemani Danil, jadi ketemu calon gebetan baru. Dia baru tahu ada gadis secantik Evelyn di sekolah Perdana. "Bah, mimpi kali lo dapetin cewek secantik bidadari gitu. Ngaca woy! Lo gak punya kaca di rumah ya. Besok gue bawa." Ega menepuk bahu Dipta, yang langsung dibalas Dipta dengan kesal. Ketika Ega dan Dipta saling berbalas kata dan pukulan ringan, Danil justru termenung. Poligami? Ingatan Danil terarah pada Papanya. Pergi pagi, pulang malam. Belum lagi kemarin melihat satu mobil dengan seorang wanita. Sepertinya ia harus mencari tahu, apa yang terjadi dengan Papanya. Ia tidak akan membiarkan siapapun menyakiti hati Mamanya. Pikiran Danil terus berkecamuk hingga jam istirahat tiba. "Dip, tetangga lo akhirnya gimana sama suaminya?Cerai apa gimana? Terus nasib anak-anaknya gimana? Terima gitu aja Papanya poligami Mamanya?" Dipta yang tengah menyuap bakso menoleh ke arah Danil. Mulutnya bahkan penuh dengan bakso yang ia kunyah dengan lambat-lambat, sambil menikmati struktur olahan daging dan terigu yang sudah hancur oleh giginya yang tajam. "Kenapa? Lo kepo? Tumben." Ega yang bertanya, sambil melirik bakso milik Dipta. Dan saat Dipta menoleh ke arah Danil, Ega iseng meraih bakso milik Dipta. "Woyyy, itu punya gue!" Tapi telat, karena Ega sudah keburu memasukkan bakso itu ke dalam mulut. "Lo kan banyak duit, pesan lagi gih sono," perintah Ega. "Enak aja lho. Beli sendiri. Demen amat minta mulu. Budayakan memberi daripada menerima," tegur Dipta. "Lah kan lo bagian yang memberi, gue bagian menerima. Kalau kita berdua memberi mulu, yang nerima siapa?" Dipta menyeringai. Ada saja alasan Ega berkilah atas perbuatannya yang selalu merugikan. Tapi walau begitu, mereka kerap berkumpul bertiga dalam segala suasana. "Tetangga gue itu akhirnya memilih dipoligami. Mau gak mau." Dipta angkat bahu. "Dia hanya ibu rumah tangga yang mengandalkan uang pemberian dari suami. Kalau memilih pisah, mau makan apa coba? Jadi gitu deh, menikmati harta kekayaan, tapi menderita. Asli, badannya saja udah kaya tiang listrik. Dulu gemuk lho, bahkan dulu rajin senam biar langsing. Sekarang dia langsing dengan sendirinya ha ha ha." Mulut Dipta yang tertawa lebar, mendadak bungkam saat melihat tatapan dari Ega dan Danil. "Eh sorry bukan gue ngetawain kesusahan orang ya. Tapi lo tahu kan wanita tertutama ibu-ibu yang selalu senam di lapangan komplek biar langsing gitu lho. Padahal ada jalan untuk langsing dadakan, ya itu di poligami." Ega menyeringai. "Gila lo. Lo kasih ide gitu di depan mak-mak yang lagi senam, abis lo di keroyok."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD