PART 8 - DEMI NILAI.

1717 Words
Jika Danil pikir Mamanya selalu berusaha menyembunyikan kesalahan Danil dari sang Papa, bukan karena tak ingin Danil dimarahi. Nyatanya Ulfa kerap memarahi jika putranya berbuat salah. Ulfa hanya tak ingin ada keributan di dalam rumahnya. Ulfa selalu berusaha menunjukkan pada suaminya jika ia bisa menangani masalah rumah tangga. Hingga tak membuat suaminya ikutan pusing setelah seharian bekerja di luar rumah. Karena tugas seorang istri itu membereskan semua permasalahan di dalam rumah. Dan Danil mengerti hal itu. Tapi terkadang, ada saja hal yang tidak bisa kita rencanakan. Seperti hari ini. Danil terpaksa menelpon Papanya. Bisa ditebak bagaimana reaksi Yusuf saat tahu ulah putranya mengenai Delia. Berang, emosi dan kesal menjadi satu. Apalagi mengingat pesan kepala sekolah SMA PERDANA padanya sebelum Yusuf keluar dari sana. "Pastikan putra anda tidak menginjak sekolah ini lagi. Karena kalau itu terjadi, saya tidak segan-segan memperkarakan kasusnya terhadap anak didik saya." Memalukan, jelas. Untuk seorang Yusuf, itu sangat memalukan sekali. Harga dirinya tercoreng. Ulfa baru saja selesai membereskan taman belakang ketika mendengar suara menggelegar dari ruang depan. "MAU SAMPAI KAPAN KAMU MEMBUAT MALU PAPAH, DANIL!!" Segera Ulfa melempar begitu saja gunting yang tengah ia pegang, dan berhambur ke dalam rumah. Ia mengenali itu suara suaminya. Tumben suaminya sudah pulang. Tapi, dengan siapa dia bertengkar. Mungkinkah? Saat langkah kakinya sampai di ruang depan, Ulfa terkesiap. Pasalnya ia melihat suaminya dengan wajah merah membara dan tatapan menusuk pada putranya. Tumben mereka barengan datang. Ada apa ini? Sementara Danil tertunduk menghindari tatapan emosi Papanya. Yusuf jelas berang, apalagi ia merasa ucapan kepala sekolah SMA PERDANA sungguh keterlaluan. "Peringai anak dipengaruhi bagaimana keluarga di rumah." Secara tidak langsung, ia mengatakan jika Yusuf tidak mendidik anaknya dengan baik di rumah. Menyebalkan bukan? Di dikte orang yang baru dikenal? Dan ini semua karena Danil. "Ada apa Pah?" Ulfa segera mendekati suaminya. Berusaha meredakan emosi suaminya. Walau ia bingung ada apa antara Danil dan Papanya? Yusuf menoleh pada istrinya. Sepertinya ia akan kembali melampiaskan kekesalan pada istrinya ini. "Kamu tanya anak kesayangan kamu ini. Bagaimana bisa dia membuat seorang siswi nekat menghabisi nyawanya, apa yang sudah diperbuat anakmu ini?" Ulfa jelas tersentak. Bagaimana bisa suaminya tahu perihal ini? Bukankah urusan Danil dan Delia sudah selesai? "Danil, bukankah urusan Delia sudah selesai?" bisik Ulfa pelan. Yusuf yang mendengar pertanyaan istrinya pada Danil sontak terkejut. "Kamu tahu kasus Delia?" tanyanya tak percaya. Kini Yusuf ganti memandang berang pada istrinya. "Itu-itu ... aku-aku sudah ...." "Oh jadi di rumah ini cuma aku yang gak tahu kasus Delia?" "Aku sudah gak dianggap di rumahku sendiri?" "Gak begitu juga Pah." "Apa lagi yang kira-kira kamu sembunyikan sama aku Ulfa." Ucapan Yusuf pelan, tapi Ulfa tahu sarat emosi. Wajah Ulfa mendadak gugup. Semoga suaminya tidak tahu jika Ayah Delia adalah mantan kekasihnya. Hadeh, kenapa jadi serumit ini sih? Mata Yusuf menyipit, mendesak istrinya membuka mulut. Bercerita tentang apa yang ia ingin tahu. "Kamu sudah mulai bermain rahasia dengan suamimu sendiri." "Pah, Mama gak salah." Danil berusaha membela. Ia merasa bersalah jika Mamanya kena imbas lagi karena dirinya. "DIAM KAMU!" Bentakan Yusuf membuat Ulfa dan Danil tersentak. Jadi Ulfa masih tidak mau memberitahu jika ia bertemu mantan kekasihnya? Brengsekk! "Mas, aku tahu kamu sibuk dengan pekerjaan di kantor." Danil berdecak dalam hati. Tidak tahu saja Mama, kalau papa bawa wanita lain hari ini di dalam mobilnya. "Aku hanya berusaha menyelesaikan apapun masalah di rumah, dan tidak melibatkan kamu. Urusan anak-anak adalah urusanku. Kamu sudah cukup sibuk dengan urusan kantor. Aku gak ingin menambah pikiran kamu Mas. Tolong jangan salah berprasangka." Ulfa memasang wajah memelas. Sementara rahang Danil mengetat, melihat kembali Mamanya di salahkan. Kini Yusuf memandang istrinya dengan tajam. "Oke, kalau memang kamu merasa tugas kamu mengurus anak-anak. Kamu pastikan anak kamu yang ini." Telunjuk Yusuf mengarah pada Danil. "Supaya dia berhasil dalam ujian sekolahnya tanpa nilai rendah. Kalau sampai nilainya rendah, apalagi sampai dia tidak lulus!" Jemari Yusuf mengacung tepat di depan hidung istrinya. "Aku akan coret dia dari nama keluarga kita!" bentak Yusuf. Ulfa terkesiap. "Mas! Tega kamu bicara begitu. Danil itu putra kita, anak kandung kita. Gak pantas kamu bicara begitu!" Ulfa tidak terima. Masa karena gak lulus mau coret anak dari kartu keluarga. Lalu Danil mau dicatat sebagai anggota keluarga siapa? Aneh-aneh saja ancamannya. Yusuf terkekeh tapi tersirat emosi terpendam. "Mana dari kata-kata aku yang salah? Aku selama ini memberikan apapun yang kalian butuhkan di rumah ini. Apapun!" "Tapi kalian selalu membuat kepalaku pusing! Jadi jangan salahkan jika aku berbuat seperti ini. Tugasmu sebagai ibunya dan istri yang setiap hari ada di rumah, memastikan anak kesayanganmu ini bisa menjadi apa yang aku inginkan!" "Ingat Ulfa, Danil itu tanggung jawab kamu." Lalu dengan membawa emosi Yusuf beranjak ke dalam kamar, tak lupa dentuman pintu selalu mengiringi langkahnya. Kembali semua di ruangan itu mengelus d**a. Ulfa menatap putranya. "Ada apa lagi Danil? Kenapa Papa bisa tahu?" Bahunya lunglai. Pasalnya ia berusaha menyembunyikan semua dari suaminya. "Aku bel Mama tadi, tapi ponsel Mama gak aktif." Danil mendudukkan tubuhnya di sofa. "Memang kenapa lagi Danil?" Ulfa was-was. Ia mendekati putranya penasaran. Ingin tahu apalagi yang dilakukan putranya ini. "Tadi aku ke sekolah Delia, bermaksud meminta maaf pada gadis itu. Dan di sana aku ketemu Papanya Delia. Ia mengatakan jika Delia pindah sekolah. Lalu aku melihat teman aku di jahili anak SMA Perdana. Dan aku membantunya. Tapi ... lagi-lagi aku disalahkan. Dan Bapak Kepala Sekolah meminta bertemu dengan Mama dan Papa, kalau tidak prosesnya akan dibawa ke polisi." Ulfa memijit keningnya. Astaga Pantas suaminya marah-marah. Kenapa sih harus bawa-bawa kantor polisi terus. "Danil, Mama harap ini terakhir kalinya kamu berbuat masalah," pinta Ulfa dengan memohon. "Mama, ini bukan salahku." Danil membela diri. Hembusan napas Ulfa terdengar di telinga Danil. "Intinya sudah cukup, Mama gak mau rumah kita selalu ramai dengan amarah Papa terus." Kepala Danil yang menunduk perlahan terangkat. Menatap bola mata yang sepaket dengan wajah cantik mirip wajah Danil. Ya, Danil memang mirip Mamanya. Aya dan Tya lebih mirip Yusuf. "Mama gak curiga kenapa Papa marah-marah terus?" "Curiga bagaimana maksud kamu?" Alis Ulfa tertaut. Danil mengangkat bahu. "Aneh gak sih Ma, papa itu kalau pulang malam terus dan pergi pagi-pagi sekali. Belum lagi sekarang mudah sekali emosi." Ulfa tersenyum. Ia mengusap bahu putranya. "Papa bekerja keras untuk kita semua Danil. Makanya kamu harus belajar yang giat. Karena kamu yang akan melanjutkan usaha Papa, bukan kakak atau adik kamu. Tapi Kamu." "Sekarang Mama tanya, kamu sudah menguasai pelajaran tentang laporan keuangan? Laporan Laba Rugi, Neraca sebuah perusahaan dan lain-lain yang nantinya akan berguna saat kamu memimpin sebuah perusahaan?" Ditanya begitu Danil hanya menghela napas. "Mama kan tahu aku sukanya olah raga. Bukan tentang ekonomi dan keuangan." Jika mengingat mimpinya, Danil menjadi kesal. Ia menyukai olah raga, berharap masuk tim sepak bola, tapi dipaksa masuk sekolah kejuruan jurusan akuntansi. "Sayang, kamu nanti yang akan meneruskan usaha Papamu. Tolong jangan pernah memandang kami tidak menyayangimu, karena selalu memaksakan kehendak kami. Ini semua demi masa depan kamu." "Jadi, kamu yakin gak, dapat nilai tinggi nanti pas lulus?" Danil menggeleng. "Yang penting lulus kan Ma?" "Kamu gak dengar papamu bicara apa tadi?" "Ya terus bagaimana dong Ma, Danil sudah berusaha ikuti pelajaran akuntansi, tapi gak masuk ke otak. Asli Mah susah." "Lagi pula kalau pun Danil gantikan Papa, pasti punya karyawan yang handal dalam urus keuangan bukan?" Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mengingat susahnya membuat jurnal, rasanya rambut Danil bisa rontok sebelum waktunya. "Sekalipun punya karyawan handal. Kamu gak bisa percaya sepenuhnya." Ulfa menghembuskan napas. "Kamu maukan mama carikan guru les?" Tiba-tiba ide itu muncul di otak Ulfa. "Guru les Ma?" Danil menatap tak percaya. Memang aku anak SD apa? "Ya, guru les yang khusus memberi kamu pelajaran tambahan tentang akuntansi." "Harus ya Ma?" Wajah Danil nelangsa. "Semua demi masa depan kamu. Memang kamu mau nama kamu dicoret dari kartu keluarga? Tidak mau menyandang nama besar keluarga kita?" Danil menghembuskan napas kesal. "Papa ada-ada saja sih Ma. Aneh-aneh bener deh. Apa coba pake ancam coret nama dari kartu keluarga. Emang aku anak pungut apa." "Beneran, ancamannya gak asyik." "Jadi, kamu setuju Mama carikan guru les?" tanya Ulfa lagi meyakinkan. Danil memandang Mamanya dengan wajah seakan tiada berdaya. "Terserah Mama saja deh, tapi aku maunya disesuaikan dengan jam sekolah aku ya Ma." "Oke sayang, serahkan semua sama Mama. Sekarang kita makan siang yuk, Mama temani. Kebetulan Mama masak makanan kesukaan kamu." Ulfa tersenyum pada putranya. Danil mengangguk, dan ikut bangkit. Melihat senyum Mamanya, membuat semangat Danil kembali tumbuh. Danil akan berbuat apapun demi senyum sang Mama. "Maaf ya Ma, Danil sudah membuat Mama susah." "Mama hanya ingin kamu menjadi anak yang baik dan berguna sayang. Kamu itu segalanya buat Mama dan Papa." Ulfa tidak bohong. Diantara ketiga anaknya, dia dan Yusuf menaruh harapan besar pada Danil, untuk menjadi penerus perusahaan milik keluarga mereka. Itu sebabnya Ulfa lebih banyak memberi perhatian lebih kepada Danil. Bukan karena tidak percaya pada putranya, tapi ia dan Yusuf takut terjadi hal yang tidak mereka inginkan. Mereka harus bisa mempersiapkan Danil, hingga waktunya tiba untuk putra mereka memimpin perusahaan yang dibangun Yusuf dengan susah payah. ** Suasana pagi terlihat lebih mencekam dari biasa. Soraya dan Aristya saling pandang dan angkat bahu, melihat meja pagi ini lebih seram dari film horor yang biasa mereka tonton. Entah sejak kapan suasana pagi seperti ini. Seolah tidak ada lagi suasana harmonis. Ulfa hanya tersenyum pada kedua putrinya, seolah memberi tahu semua baik-baik saja. Sementara Danil? Ia makan dengan menunduk, tak berniat menyapa Ayahnya yang juga sama menikmati sarapan dalam diam. "Aku berangkat." Yusuf berdiri dan meraih tasnya. "Tya ikut Papa ya." Aristya bangkit. "Aya juga." Soraya, putri pertama Ulfa juga ikutan. "Gak bisa, kalian pakai mobil yang satu lagi, papa buru-buru." Lalu Yusuf pergi begitu saja, sesekali melirik jam di lengannya. Yah, dia ada janji mengantar Irna pagi ini. "Kenapa sih Papa berangkat pagi terus ya Ma?" tanya Tya kecewa. "Papa sibuk." Ulfa menjawab dengan tersenyum. "Tumbenan amat, minta sekalian jalan aja nolak." Aya ikutan bicara. Mereka berdua kembali duduk barengan. "Kan Papa bilang ada mobil yang satu lagi, kasihan Pak Jaya kalau gak ada kerjaan." Ulfa tersenyum pada kedua putrinya. Mereka suka sekali ikut Papanya sekalian ke sekolah. Berbeda dengan Danil yang lebih menyukai naik sepeda motor. "HARTA-TAHTA-WANITA." Ucapan Danil membuat ketiga wanita di dekatnya menoleh. "Maksudnya?" Aya si sulung melipat kening. "Gak ada maksud apa-apa kok, orang lagi inget judul film aja." "Kak Danil gak menuduh Papa punya wanita simpanan kan?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD