PART 7 - KEMBALI MASALAH

1851 Words
Danil bukan orang yang suka mencari masalah. Niatnya ke sekolah ini ingin menemui Delia dan meminta maaf, atas perbuatannya yang menyebabkan masalah pada gadis itu. Siapa sangka Delia memutuskan pindah sekolah. Bukan haknya melarang bukan? Danil pikir urusannya di sekolah itu selesai. Ia mau berbalik keluar dari gedung sekolah ini. Tapi saat melihat seorang wanita di kasari, ia jelas emosi. Ia memiliki dua saudara perempuan di rumah. Dan akan berdiri paling depan jika ada orang yang mengasari kedua saudarinya. Ia melihat dengan jelas bagaimana ada seorang laki-laki berbuat kasar pada wanita di depan matanya. Apalagi ia mengenali wanita itu adalah Hana. Hana teman satu sekolahnya, yang baru tadi pagi ia sapa untuk pertama kalinya. Danil jelas berang. Awalnya Dani hanya iseng melirik ke arah kiri, siapa sangka matanya memindai sosok Hana tengah membawa nampan. Sayang nampan itu berantakan jatuh saat lengan gadis itu ditarik kebelakang dan dibawa ke balik tembok sekolah. Tanpa pikir panjang Danil beranjak mengikuti. Semoga lelaki itu tidak berbuat macam-macam. Astaga, ini lingkungan sekolah. "Kenapa kamu tolak cinta aku?" Danil masih menunggu dibalik tembok. Tapi ia jelas mendengar suara itu. Jika ia sedikit saja melongokkan wajahnya, sudah pasti ketahuan. Ia yakin itu suara anak lelaki yang tadi menarik tangan Hana. "A-aku gak mau pacaran. Aku masih mau sekolah." "Kalau kamu jadi pacar aku, gak perlu repot bawa nampan ke sekolah kaya gini." Danil melirik dari pantulan kaca spion motor yang terparkir, jika Hana sudah tampak ketakutan karena sekolah sudah mulai sepi. Anak lelaki yang Dani yakini merupakan salah satu siswa di sekolah ini, sudah mengurung Hana di tembok. Lengannya sudah berada di kanan-kiri kepala Hana. Beruntung Danil sempat melihat bagaimana tangan Hana ditarik ke balik tembok. "Lepas Roy, atau aku akan teriak," ancam Hana kesal. "Teriak saja, kamu gak akan berani." Roy semakin nakal, ia membelai pipi Hana, tapi gadis itu memalingkan wajahnya. Hingga Roy kesal, dan menjepit dagu Hana. "Kamu tahu, aku gak suka di tolak." Saat itulah Danil keluar dan menarik tubuh Roy dari belakang. Roy yang tak menyangka, aksinya ketahuan oleh orang lain, menjadi tersentak. Tapi telat, sebuah pukulan menghantam wajahnya. BUGH! Roy yang tak terima membalas. Tapi Danil mampu menangkis, dan kembali melayangkan pukulan, hingga. BUGH! Roya jatuh ke tanah. "Aarrgghhh!" Roy berteriak bangkit dan menyerang Danil kembali. ** Sepeninggal Danil ke dalam sekolah SMA PERDANA, Dipta dan Ega saling menatap, lalu keduanya tersenyum sambil menghampiri sosok gadis yang kini tengah fokus pada ponsel. "Hay, siswi SMA PERDANA ya." Dipta mulai menyapa. Basa-basi sekali. Siswi yang bernama Evelyn itu mengangkat wajahnya. "Kok baru pulang sih?" Kini Ega yang bertanya. Dipta dan Ega terpukau saat melihat senyum di wajah Evelyn. "Mana yang mau aku jawab dulu, kamu atau kamu?" tunjuk Evelyn pada dua makhluk yang merasa dirinya kini paling tampan. "Bebek aja antri, masa kami gak sih." Suara Dipta yang kini terdengar. Sementara Ega berdecak kesal. "Gak sekalian lo bawa soang," protes Ega. Evelyn terkekeh. Biasanya ia malas jika diganggu laki-laki. Tapi dua orang lelaki di depannya ini lucu sekali. Dan kembali Dipta dan Ega terpukau lagi akan senyum Evelyn. Dua kali lebih bagus dari pada satu kali. Evelyn menghentikan tawanya saat menyadari dua wajah di depannya ini menganga. Layaknya melihat satu keajaiban negara yang pindah tempat. "Hmm." Evelyn berdehem. Membuat Dipta dan Ega sontak menutup mulutnya. "Aku memang siswi sekolah sini, dan aku pulang telat karena menunggu jemputan Mama." "Oh nunggu jemputan." "Boleh tahu nama kamu?" tanya Dipta. "Evelyn." Serentak Dipta dan Ega mengangguk. "Kalian ngapain di sini? Nunggu jemputan juga?" Evelyn rasanya tidak salah bertanya, tapi Dipta dan Ega kini terkekeh. "Kami bawa kendaraan kok." Dipta menunjuk motor yang terparkir di depan warung. "Iya, kami sedang menunggu teman kami. Itu lho yang tadi negur kamu lalu ke dalam. Si Danil." "Danil?" Kini kening Evelyn melipat. "Iya, kami bertiga siswa SMK Tunas Bangsa. Kami menemani Danil kemari bertemu si Delia." "Tunggu, Danil itu ... pacar Delia yang katanya ninggalin Delia dan buat Delia bunuh diri kan? Jadi dia orangnya?" Dipta dan Ega sontak mengangguk. "Danilnya sih bener, tapi lainnya kaga." "Ya ampun Danil!" Teriakan Dipta membuat Ega dan Evelyn menoleh ke arah dalam. Dan mereka melihat Danil baku hantam di sana. Sontak Dipta dan Ega berlari ke dalam lingkungan sekolah. Evelyn yang ingin ikut masuk, mendadak urung saat mendengar ponselnya berbunyi. "Mama?" Tak lama sebuah mobil hitam berhenti di depan dirinya. Evelyn membuka pintu depan, karena yakin Mamanya dan teman Mamanya duduk di bangku belakang. "Maaf ya sayang, Mama telat datang. Tadi acaranya di hotel padat banget." Irna tersenyum pada putrinya. "Gak apa kok Ma, siang Om Yusuf." Evelyn tersenyum pada Yusuf, dan di balas senyum oleh Yusuf yang tak lain adalah Papanya Danil yang sama sekali tidak tahu jika putranya kini tengah terengah karena belum puas menghajar lelaki bernama Roy itu. "Sekali lagi lo kurang ajar sama perempuan, habis lo!" ancam Danil, pada lelaki yang kini tengah menghapus sudut bibirnya. Sementara gadis bernama Hana masih terlihat shock. "Nil lo kenapa sih?" tanya Dipta heran. Ega merapikan nampan yang ia tahu milik Hana. Aneka macam gorengan tergeletak di tanah. "Udah lima menit belum ya?" bisik Ega bermaksud meraih bakwan yang mendarat di tanah. "Jangan!" teriak Hana saat melihat teman satu sekolahnya mau mengambil bakwan, dan entah mengapa ia yakin tangan itu akan langsung membawa bakwan ke dalam mulut Ega. "Itu sudah kotor dan lebih dari lima menit." "Berapa detik?" "Hah!" "Iya lima menit berapa detik?" Tiba-tiba Ega terhuyung, karena punggungnya di tepuk dari belakang. Membuat bakwan di tangannya kembali meluncur jatuh ke bawah. "Ya jatuh lagi." Tatapan Ega nelangsa. "Eh ampun lo ya! Lo masih sempet-sempetnya mikir makanan." Suara Dipta yang kesal di iringi tatapan kesal pada temannya yang nomor satu dalam hal makanan. "Apa-apan ini!" Suara menggelegar terdengar. Membuat ke lima siswa menoleh ke asal suara. Saat itulah Roy mengumpat. "Ah siallll!!" ** Danil, Dipta dan Ega duduk di depan Kepala Sekolah yang tengah menatap mereka dengan emosi. Terlebih kepada Danil yang sudah membuat salah satu anak didiknya luka dan memar. "Kalian bisa jelaskan ada urusan apa kalian datang ke Sekolah ini? Sengaja mau buat onar di sekolah saya?" Danil mengangkat wajahnya. "Tidak Pak, saya awalnya ingin menemui Delia." Ia merasa ini salahnya, jadi ia harus meluruskan masalah. "Delia?" Mata Bapak Kepala Sekolah menyipit. "Ya, Delia yang ...." Ucapan Danil tidak berlanjut karena ucapan Pak Kepala Sekolah langsung menuduhnya. "Kamu yang menyebabkan Delia nekat mengakhiri hidupnya?" "Saya ...." "Siapa nama kamu?" tanya pak kepala sekolah dengan wajah kesal. Danil menelan salivanya dengan kesat. "Danil Febian Saputra." "Hubungi kedua orang tuamu sekarang." "Tapi kenapa pak?" Kini hati Danil ketar-ketir. "Kamu menyebabkan masalah di sekolah saya dua kali. Pertama Delia, lalu hari ini. Sepertinya saya perlu bicara dengan kedua orang tuamu." "Pak, maaf. Masalah saya dengan Delia sudah selesai, dan hari ini semua tidak akan terjadi andai anak didik bapak yang bernama Roy tidak mengganggu Hana teman saya, saya tidak mungkin menghajarnya." Danil membela diri. BRAK!!! Semua yang ada di ruangan tersentak, tak percaya Bapak Kepala Sekolah Perdana semarah itu. "Kamu pikir siapa kamu, berani menentukan di sini." "Hubungi kedua orang tuamu sekarang juga, atau saya panggil polisi karena kamu mengacau di sekolah saya." Dani terhenyak. Polisi? Baru kemarin lalu dia bebas, masa iya harus masuk ke kantor polisi lagi? Sepertinya membela diri pun percuma. Saat matanya menatap Dipta dan Ega, kedua sahabatnya hanya membalas dengan tatapan prihatin. Beda dengan Roy. Dia tersenyum puas. Sementara Hana, saat semua disuruh masuk ruangan ke kantor Kepala Sekolah, gadis itu sudah pulang membawa nampan di tangan. Dengan menghela napas, Danil menekan nomor Mamanya. Tapi tidak aktif. Mama kemana ya? Tumben ponselnya gak aktif. "Maaf Pak, tapi ponsel Mama saya tidak aktif." "Kamu punya Ayah kan?" "Pak, saya mohon bisa diselesaikan secara kekeluargaan," pinta Danil lirih. Tak mungkin juga ia menghubungi Papanya. "Justru saya mau menyelesaikan dengan kekeluargaan, makanya saya meminta kedua orang tuamu kemari." "Atau kamu memang mau menginap di kantor Polisi?" Tampaknya Bapak Kepala Sekolah ini tidak main-main. Jadi Danil segera menekan nomor milik Papanya, Yusuf. Sudahlah, dia akan menerima apapun hukuman dari Papanya. Paling tidak, Papanya bisa melihat jika ada Dipta dan Ega di sini. "Hallo Papa." ** "Jadi semua urusan dengan Hotel beres? Apa ada masalah lagi, Irna?" tanya Yusuf pada seorang wanita dari masa lalunya yang baru saja ia bantu bertemu pihak hotel atas relasi dari Yusuf. "Sudah gak ada masalah sih Mas. Tinggal buka saja, mungkin secepatnya. Aku gak mau terlalu lama. Paling sementara aku pakai karyawan yang dari hotel lama saja untuk handle di hotel yang baru." "Baguslah, nanti aku tetap pelanggan pertama ya, test menu di sana." "Sipp, tapi jangan lupa ajak Mbak Ulfa dong Mas." Yusuf tersenyum. "Kapan-kapan aku ajak Ulfa." "Janji ya Mas?" Belum Yusuf menjawab, ponselnya berbunyi. Danil? Tumben? "Hallo Papa." Suara Danil terdengar di seberang sana. "Ya, ada apa?" "Papa, aku ada masalah. Papa bisa kesini?" Yusuf menggeram dalam hati. Selalu saja begini. Tidak bisakah anak itu tidak membuat masalah? Dan tumben dia menghubunginya, biasa selalu Ulfa istrinya yang mengurus semua kekacauan yang putranya lakukan. "Kamu di mana?" "SMA Perdana. Papa harus datang sekarang juga. Karena aku gak mau masuk kantor polisi lagi." Demi Tuhan. Apalagi yang diperbuat anak itu? "Share loc segera," titah Yusuf pada putranya. Sesaat ia melirik ke ponsel. Lho inikan sekolah Evelyn tadi. Bagaimana bisa Danil ada di sana? "Ada masalah Mas?" Irna menatap wajah Yusuf yang terlihat serius. "Hmm hanya masalah kantor. Nanti setelah Mas antar kalian, Mas akan kembali ke kantor lagi." Irna tersenyum tak enak hati. "Maaf ya Mas, selalu merepotkan. Nanti aku akan segera mencicil mobil biar gak tergantung sama Mas Yusuf." "Jangan terburu-buru Irna, kamu masih butuh modal untuk melebarkan usahamu. Gak apa kok aku jemput kayak gini sampai kamu bisa aku lepaskan untuk berdiri sendiri." Irna tersenyum. Tetap aku gak enak Mas, apa kata Mbak Ulfa kalau tahu kita sering ketemuan begini. Batin Irna. Jelas ini salah, walau kita hanya teman, tapi kita pernah punya kisah. Dan aku gak mau Mbak Ulfa curiga. "Evelyn, kamu tadi sekolah di SMA Perdana kan?" tanya Yusuf pada putrinya Irna. Merasa dipanggil Evelyn menoleh ke belakang. "Iya Om." Ternyata benar. Terus ada apa Danil sampai di sana? "Betah sekolah di sana?" Pasalnya Evelyn dan Ibunya baru pindah ke kota ini, setelah mereka lama tinggal di luar kota. "Aku betah kok Om, anak-anak di sana baik-baik semua." "Gak ada perkelahian remaja kan?" Kalau semua baik-baik, kenapa putranya kena masalah di sekolah Evelyn? "Gak ada kok Om, hanya kemarin ada anak yang berniat bunuh diri, karena putus cinta." "Hah, serius Ev?" Irna bertanya tidak percaya. "Iya Ma, tadi aku baru ketemu lelaki penyebab Delia berbuat begitu." "Lalu bagaimana nasib teman kamu itu? Kok bisa nekat begitu gara-gara cinta?" "Aku gak tahu Ma. Gak enak juga tanya-tanya. Tapi kabarnya Delia keluar dari sekolah karena malu. Tadi Ayahnya Delia mengurus kepindahan sekolah Delia." "Ya ampun sampai segitunya ya." Jangan bilang Danil kena masalah karena gadis bernama Delia ini. Tak lama mobil yang dikendarai mereka sampai di depan rumah Irna. "Terima kasih ya Mas." Irna dan Evelyn keluar dari mobil Yusuf. "Oke, sampai ketemu besok," pesan Yusuf. Lalu Yusuf menepuk bahu supir pribadinya. "Pak ke sekolah SMA Perdana lagi ya," titah Yusuf pada supirnya. "Baik Pak."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD