PART 6 - EVELYN

1797 Words
Keadaan sekolah Tunas Bangsa sudah mulai ramai. Danil mendorong motornya ke parkiran yang telah disediakan pihak sekolah. Waktu baru menunjukkan pukul enam tiga puluh, ketika Danil memarkirkan motornya tepat di sebelah motor Ega dan Dipta. "Tumben pagi-pagi udah sampai." Ega menepuk punggung sahabatnya. "Rese lo pada, kemarin main tinggal saja. Gak usah deh ya ngaku sohib-sohib segala." Danil ganti memukul punggung Ega dengan sedikit keras. "Lah, gue mana tahu motor lo mogok!" Ega membela diri. Ia memang tidak tahu jika Danil tertangkap, karena ia dan Dipta langsung pulang ke rumah masing-masing. "Bokap lo bel ke rumah gue semalam." Dipta ikutan gabung bicara. Memang pagi ini Dipta dan Ega sengaja menunggu Danil. Mereka mau minta maaf, karena meninggalkan Danil di tempat balapan liar. Mendengar ucapan Dipta, kening Danil melipat. "Serius bokap gue bel lo?" Seingat Danil, ia tidak melihat ayahnya lagi semenjak ayahnya masuk ke dalam kamar dengan dentuman pintu yang membuat jantungnya nyaris terserang penyakit jantung dadakan. Walau hal itu sudah biasa, tetap saja ia kaget mendengar kerasnya pintu yang Papanya banting. Beruntung rumah mereka terbuat dari pondasi yang kokoh. Jika tidak, entah sudah berapa kali rumahnya roboh. Di rumah itu hanya ada dua laki-laki, tapi jika emosi selalu melampiaskan amarah pada pintu. Like father like son. "Bokap lo cuma mau meyakinkan saja, benar gak, lo ikutan balapan terus sama gue dan Ega," tutur Dipta. "Terus?" "Ya, gue bilang aja sejujurnya, kita cuma nongkrong dan minum kopi di sana. Kan gue anak baik, jujur. Walaupun gue bukan anak soleh dan gak rajin menabung." "Preet!" Ega terbahak. "Lah benar, bapak gue namanya Mukti, mana ada Soleh. Lo kata Mak gue selingkuh gitu?" Lalu Danil menepuk bahu Dipta. "Thanx bro. Atas bantuannya." "Lo ya, giliran gue digebuk, giliran Dipta dibelai." Ega serasa tidak terima. "Apa sih belai? Lo kata gue menyimpang?" Dipta melotot. "Kalau begitu, Gini yang benar." BUGH! Ega memukul punggung Dipta dengan kencang. "Eh sakit gila!" Dipta tak terima dan berusaha memukul balik. "Eh gue cuma kasih contoh!" Ega menangkis tangan Dipta. "Ini bukan contoh, lo aniaya gue namanya." Ega tahu bakal dibalas, segera berlari ke kelas. "Eh tunggu gue! Awas lo ya." Dipta berlari mengejar Ega ke kelas. Danil hanya menggeleng melihat tingkah keduanya. Sudah dipastikan mereka pasti saling pukul dan saling timpuk sampai puas. Mereka berdua ibarat Tom dan Jerry. Kalau gak saling pukul ya saling kejar-kejaran layaknya anak TK. Danil membetulkan tas di bahu dan berniat menuju kelas. Baru saja ia melangkah beberapa saat, ketika mendengar suara. "Eh Maaf!" Danil menoleh ke arah pintu masuk. Matanya menemukan seorang siswi yang ditabrak seseorang. Lalu mereka kembali berjalan. Danil melihat sepucuk kertas terjatuh tanpa di sadari siswi tersebut. Danil bergerak meraih kertas itu. Kebetulan jaraknya tidak begitu jauh dari kertas yang jatuh itu. Matanya melihat ada tulisan nama Hana di kertas. Nama gadis itu pasti Hana "Hana!" Danil berteriak. Membuat sesosok siswi yang di maksud Danil berhenti. Lalu siswi itu menoleh ke belakang dimana Danil berdiri. "Ini punya lo jatuh." Danil mengulurkan kertas di tangannya. Siswi yang bernama Hana, meraih kertas yang memang miliknya. Mungkin terjatuh saat tubuhnya ditabrak. "Terima kasih." Danil memandang gadis itu, sebelum beranjak ke kelas. Ia memang tidak begitu mengenal siswi bernama Hana ini. Hana, adalah siswa baru di sekolah ini. Kira-kira baru dua bulan gadis itu menjadi murid di sekolah ini. Itu menurut Ega, yang selalu mencari usaha untuk memiliki kekasih. "Lagi usaha bang?" goda Ega saat melihat temannya dari jarak jauh mendekati Hana. Danil menatap Ega yang napasnya terengah-engah. Sepertinya Ega kalah adu lari kali ini. Nyatanya dia memilih menunduk dan mengatur napas. Resiko punya tubuh sedikit gemuk ya begini. "Apa sih." Danil meletakkan tas di atas meja. "Dengar-dengar dia pinter lho. Lo gak akan susah kerjain PR kalau dekat sama dia." Ega duduk di samping Danil. "Kenapa gak lo aja yang deketin dia?" Danil membuka buku Akuntansi yang tinggal separuh ia kerjakan. Lalu Danil menoleh ke arah belakang tempat Dipta duduk. "Liat PR dong. Kok gue gak bisa balance ya." "Gue bilang juga apa, deketin noh si Hana. Lo modal ada. Lo kasih senyum aja tuh cewek klepek-klepek." "Lo kata ikan." Danil meraih buku dari tangan Dipta. Membukanya dan mencocokkan. "Sial, gue salah jurnal." Lalu segera ia meraih penghapus dan mengganti angka di buku. "Ya ampun, hari gini nulis masih pake pensil. Lo balik lagi ke TK sana." Seolah tidak ada kerjaan Ega selalu saja mengganggu. "Berisik, lo udah kerjain belum? Banyak ngoceh mulu." Dipta melempar gulungan kertas ke kepala Ega. "Udah dong, gue gitu lho." Ega tersenyum puas. "Paling kakak lo yang kerjain." Danil tersenyum sinis. "Intinya kan gue udah, gak susah-susah nyontek kaya lo." Gak lama bel berbunyi. Beruntung Danil segera membereskan pekerjaan rumahnya, sehingga tidak terkena masalah lagi. Sepertinya ia harus jauh-jauh dari masalah. Kasihan Mamanya selalu saja disalahkan oleh Papanya. ** Seperti biasa saat akan pulang sekolah, Danil dan kedua sohibnya pasti kumpul sebelum pulang ke rumah. "Kita ke sekolah SMA Perdana yuk," ajak Danil. "Lah mau apa lo kesana?" Ega menatap heran. "Barangkali Delia sudah masuk sekolah." "Astaga, jangan bilang lo mau ketemu dia, setelah insiden anak itu mau bunuh diri." Dipta geleng kepala. "Cuma say hello aja kali. Gak masalah kan?" usul Danil. "Eh brader, buat lo sih gak masalah, buat dia ama gue masalah banget." Ega ikutan menggeleng. "Tunggu, apa hubungannya sama lo?" Danil melipat kening. Ega merangkul bahu Danil. "Lo gak serius selama ini sama si Delia kan? Kenapa juga lo iyain pas dia nembak. Sekarang orang udah jatuh ngustruk cinta sama lo, main lo tinggal. Coba lo kasih gue, biar gue bisa sayang-sayangan sama Delia." "Hah! Lo kata si Delia mau sama lo apa?" Dipta menyeringai. "Daripada dia bunuh diri, astaga. Cantik-cantik mati mengenaskan, mending jadian ama gue." "Ck lebay lo. Yang ada mending dia mati dari pada jadian sama lo kali." Dipta menyeringai. "Terserah lo dah, gue tetap mau kesana. Gue mau minta maaf aja sih. Terserah dia mau terima apa gak?" Danil mulai menggerakkan motornya. "Lo udah siap ditabok? Cewek kalau kesel pasti main tabok." Ega kembali memperingatkan. "Kita lihat saja nanti." Danil menjalankan motornya, Dipta pun ikutan. "Eh lo mau kemana Ta?" tanya Ega. "Gue ikut Danil lah, cewek-cewek anak Perdana oke punya." "Ah sial lo! Gue ikutan woy tunggu!" Ega bergegas menuju motor Honda beat kesayangannya. Memang diantara Danil dan Dipta, Ega hanya memiliki motor beat, maklom keuangan orang tua Ega, tidak seperti Danil dan Dipta. ** Danil menghentikan motornya tak jauh dari gerbang sekolah SMA Perdana. Kebetulan ada warung kopi, jadi ia memilih nongkrong di sana memesan kopi. Ternyata setelah mereka sampai sana, sudah bubaran sekolah. Terlihat dari area sekolah yang telah sepi. "Gila, cantik man." Dipta menyenggol bahu Danil, kala melihat sesosok anak siswi keluar dari gerbang. Rambutnya yang melebihi bahu tampak terbang sepoi-sepoi terbawa angin. Kulitnya yang putih sepaket dengan lekuk wajahnya yang lancip dan hidungnya yang mancung. Dipta baru hendak bangkit menghampiri gadis yang di maksud, tapi lengannya ditarik ke belakang oleh Danil. "Ini sih bagian gue. Sorry, abang duluan." Danil ganti melangkah duluan ke arah siswi yang diunjuk Dipta tadi. "b******k! Dia main selak aja." Dipta memaki, yang langsung disambut tawa oleh Ega. "Syukurin, sok kegantengan sih lo. Danil maju mah lewat kadar ketampanan lo bro." Danil mendekati seorang siswa yang tengah berdiri dan tampak menunggu seseorang. "Maaf, selamat siang." Danil memasang senyum. Gadis itu menoleh, dan mata mereka bersitatap. Benar kata Dipta, lumayan juga nih cewek. "Ada apa ya?" tanya gadis dihadapan Danil. "Kamu kenal Delia?" tanya Danil lagi. Kening gadis cantik itu melipat. "Delia?" tanyanya. "Ya, Delia Anggraeni, kamu kenal dia?" "Maksud kamu, Delia yang kabarnya keluar dari sekolah karena berniat bunuh diri akibat putus cinta?" OMG! Segitu cepatkah kabar itu tersebar? "Delia keluar dari sekolah?" tanya Danil lagi. "Kalau kamu cari dia, sebaiknya segera ke ruangan guru. Ayah Delia masih ada di sana kok. Sedang urus kepindahannya." "Oke, terima kasih." Danil beranjak hendak menuju gerbang. Lalu ia berhenti dan berbalik pada gadis tadi. "Nama kamu siapa?" tanya Danil. "Nama aku?" Gadis itu menunjuk dirinya. "Ya, nama kamu." "Evelyn." "Oke, terima kasih Evelyn." Lalu Danil bergegas masuk ke dalam sekolah Perdana. Ketika kepala Danil menoleh ke kanan dan ke kiri, ia melihat sosok Deri, ayah Delia. Danil segera berlari mendekat. "Siang Om Deri." Napas Danil memburu. "Danil?" Deri, lelaki yang beberapa hari lalu bertemu Danil dan Ulfa di rumah sakit tersenyum. "Bagaimana kabar Delia Om. Apa dia baik-baik saja?" Deri mengangguk. "Delia baik-baik saja kok." "Boleh saya menjenguk ke rumah?" tanya Danil takut-takut. "Sepertinya gak usah, nanti takutnya istri Om malah marah-marah sama kamu lagi." "Oh gitu ya Om." "Iya, lagipula Delia baik-baik saja kok. Ini Om sedang urus kepindahan sekolah Delia." "Delia benar mau pindah sekolah Om?" Deri menghela napas. "Iya, dan Om terpaksa mengikuti keinginan Delia untuk pindah ke luar kota. Dia ingin tinggal sama Tantenya di Surabaya." Danil menatap Deri tak enak hati. "Maaf ya Om. Karena saya Delia harus pindah. Saya gak tahu kalau jadinya kayak gini." "Gak apa-apa Danil. Mungkin memang Om yang terlalu memanjakan Delia. Eh ya gimana kabar Mama kamu." Danil yang semula memberi tatapan sendu, berubah siaga. "Maksud Om?" Kenapa dia nanya Mama sih? "Mama kamu baik-baik saja?" Jujur Danil ingin tertawa mendengar pertanyaan lelaki di depannya. Yang dirawat kan putrinya, kenapa justru terkesan mengkhawatirkan Mama? "Mama kan emang sehat Om." Deri tampak gelagapan. "Mmm maksud Om, kamu tidak dimarahi Mama kamu kan karena kasus anak Om. Karena kalau gitu, Om kan gak enak. Apa perlu Om bertemu Mama kamu untuk menjelaskan semuanya?" Modus amat sih nih orang. "Gak perlu Om, Mama aku orangnya selow kok. Dia Mama yang superwoman. Gak marah kok sama aku." Marah gak sih Om, ngamuk iya. "Syukurlah kalau begitu. Om hanya gak enak, kalau sampai hubungan kamu sama Mama kamu berantakan karena putri Om. Om mengenal Mama kamu dengan baik." Serius nih kenal baik? Perasaan, Mama gak banget deh. "Mmm bagaimana kabar Papamu? Mama dan Papamu baik-baik saja kan mereka?" Kening Danil makin melipat. Jangan sampai nih orang ngarep Mama dan Papa bubaran? Enak saja. "Baik Om. Papa dan Mama baik-baik saja kok." Deri kembali menghembuskan napas. "Sebenarnya Om masih ingin bicara panjang lebar sama Mama kamu. Om sudah lama gak bertemu Mama kamu. Tapi tampaknya Mama kamu keberatan. Khawatir Papa kamu salah sangka dengan hubungan kami." Danil menatap tali sepatunya yang terlepas. "Mama memang benar Om. Papa orangnya cemburuan banget soalnya." Mata Deri membola. "Oh ya?" "Hmmm." Danil mengangguk. "Papa pernah menghajar orang karena orang itu menggoda Mama. Jadi sejak itu Mama jarang keluar, fokus di rumah." Raut wajah Deri tampak khawatir. "Oke lah kalau begitu, salam saja sama kedua orang tuamu ya. Om permisi." "Oke, salam juga untuk Delia ya Om." Danil menghembuskan napas melihat Deri keluar dari area sekolah. "Mama-mama, punya mantan kok kaya gini sih." Akhirnya Danil memutuskan untuk keluar gerbang. Baru saja beberapa langkah lagi kakinya mencapai gerbang, ia mengumpat. Brengsek!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD