PART 5 - EMOSI

1434 Words
Setelah melalui kemacetan luar biasa, mereka sampai di dalam rumah. Yusuf bahkan membanting pintu mobil ketika keluar dari mobil mewah yang sebenarnya tidak bersalah itu. Pak supir sampai mengelus d**a. Atasannya ini kalau emosi pasti sasarannya pintu, entah pintu rumah atau pintu mobil. Untung ia sudah lama menjadi supir keluarga ini, jadi jantungnya sudah terbiasa menerima kejutan. Ulfa dan Danil bahkan sudah menyiapkan diri menerima amukan Yusuf yang tak segan mengeluarkan emosinya. Benar saja, baru langkah keduanya masuk pintu, suara Yusuf sudah menggelegar. "Tidak bisakah kamu menjadi anak baik, Danil!" "Selalu dan selalu saja membuat masalah, membuat malu keluarga! Tidak jera kamu hah!" Tia yang sedang di lantai dua, bahkan berlari dan menoleh dari dinding lantai dua. Ia bertemu tatap dengan kakaknya Danil yang kini melarikan tatapannya ke segala penjuru ruangan. "Aku gak berbuat macam-macam Pah." Danil berusaha membela diri walau percuma. Ia tak akan dipercaya seperti biasa. "Lalu apa yang kamu lakukan hingga ada di polsek tadi hah!" "Kalau Papa tidak membawa kuasa hukum kita, jangan harap kamu bisa melenggang bebas seperti sekarang ini." "Pah, ada baiknya kita dengarkan dulu kenapa Danil bisa ada di sana." "Halah! Buat apa! Anakmu ini pasti banyak alasan." Lalu Yusuf mendekati putranya. "Jawab, kamu gunakan motor kamu itu untuk balapan kan? Jawab!" Hardikan Yusuf mengagetkan siapa saja yang ada di ruangan itu. "Tidak Pah, aku tidak balapan. Aku hanya nonton dan bertemu Dirga dan Ega." Rahang Danil mengeras menahan emosi. Selalu saja Papahnya tidak mau mendengar dari pihaknya. Mungkin karena kesal sudah mengeluarkan sejumlah uang demi menebus dirinya. "Bersama Dirga dan Ega! Jangan buat papa tertawa Danil. Jelas-jelas tidak ada nama Dirga dan Ega di sana." Telunjuk Yusuf menunjuk keluar. Yah memang gak ada, karena kedua curut itu sudah pergi duluan, melupakan dirinya yang ketiban sial karena motornya mendadak mogok. Danil mengerang dalam hati. Perlukan motor itu mogok disaat yang tidak tepat? Sungguh tidak tahu terima kasih. Padahal Danil rajin cek secara berkala motor itu ke bengkel. Dasar motor manja, besok-besok sepertinya aku jual dan ganti motor saja. Bisa repot kalau kejadian tadi berulang. "Ega dan Dipta gak ada di sana, karena mereka sudah pulang pah, dan aku apes. Motor aku mogok." "Masih saja kamu mencari alasan." Yusuf jelas tidak percaya penjelasan putranya. Mungkin karena ia masih kesal sejak kejadian tadi pagi dan kini kekesalannya berlipat ganda karena kelakuan putranya itu. "Pah, dengar dulu penjelasan Danil." Ulfa berusaha menengahi ketika dua lelaki yang begitu penting dalam hidupnya saling berhadapan. "Diam kamu! Kamu pikir kamu tahu apa yang sudah anak kamu ini lakukan di luar sana!" bentak Yusuf. "Apa kamu tahu apa yang ia lakukan sejak pulang sekolah?" Kini amarah Yusuf mengarah ke Ulfa. Ulfa menelan salivanya. Ia jelas tahu kemana Danil sepulang sekolah, tapi tak mungkin memberi tahu jika ia dan Danil ke rumah sakit bersamanya. Bisa semakin emosi suaminya. Yusuf selalu tak bisa mengontrol emosinya. Sama seperti Danil. "Pah, Mama ....." "Ah Diam!" Yusuf memotong ucapan Danil dengan kesal. "Kalian semua sama! Suka memancing emosi aku! Apa kurang aku selama ini pada kalian hah! Aku bahkan bekerja keras untuk yang ada di rumah ini. Tapi kalian berdua sama sekali tidak menghargai kerja kerasku." Danil merenung. Kenapa Mama juga kena, ini papa marahnya kok aneh. "Pah, Mama gak salah." "Diam kamu!" Yusuf menunjuk tepat di hidung putranya. Dia heran, bagaimana bisa putranya mau saja di ajak bertemu oleh istrinya dengan Deri, mantan kekasih Ulfa. Apa yang sudah Ulfa berikan pada Danil. Atau mungkin Danil gak tahu jika lelaki yang ia temui bersama sang Mama adalah mantan kekasih Makanya. "Kamu dan mama kamu sama saja." Setelah bicara begitu, Yusuf beranjak ke dalam kamar, tentunya dengan kembali membawa korban. Pintu kamarnya ditutup dengan sangat kencang. Ulfa mengelus dadanya, ketika mendengar bantingan dari arah pintu kamar. Danil mendekati Mamanya. Ia jelas kasihan melihat mamanya ikut disalahkan. Padahal jelas ini salahnya. "Maaf Ma, gara-gara aku, Mama kena amarah Papa," sesal Danil. Ulfa memasang senyum. "Gak apa-apa sayang. Mungkin papa kamu sedang lelah saja." Ulfa tak mungkin memperlihatkan kesedihannya di mata putranya. Ia paham sifat suaminya ini. Di balik sifat emosinya yang meledak-ledak, bagi Ulfa, Yusuf segalanya. Ia adalah sosok lelaki penyayang keluarga. Mungkin memang masalah suaminya sudah sedemikian banyak di kantor. Dan masalah Danil menambah pusing kepalanya. Beruntung saat kasus Delia, Yusuf tidak tahu. Jika tahu bisa lebih emosi lagi. Jadi sekali lagi, Ulfa menerima apapun sifat suaminya dan segala kemarahannya, karena buatnya semua kekurangan dan kelebihan pasangan kita harus kita terima, begitu juga sebaliknya. "Kamu mandi sana, lalu makan. Nanti mama sebentar akan siapkan makanan untukmu." Danil menatap ke arah Mamanya yang melangkah ke dapur. Kalau Papanya emosi begini, biasa kedua orangtuanya akan saling berdiam diri beberapa waktu. Danil menaiki anak tangga dan bertemu dengan adiknya, Tia Mereka bersitatap sebentar, sebelum Dani memilih masuk ke dalam kamar. Ia melempar tubuhnya ke atas kasur. Hari ini masalahnya seolah beruntun sekali. ** Danil turun dari lantai dua rumahnya. Pagi ini, ia sudah bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Tas bahkan sudah tersampir di pundak. Keningnya melipat, saat melihat ruang makan sepi, yang ada hanya Mamanya seorang. Bukankah ini masih terlalu pagi untuk semua orang beraktivitas? Atau ia yang bangun kesiangan? "Pagi Ma," sapanya pada Ulfa. Ia mendudukkan tubuhnya pada salah satu kursi, dan menatap Ulfa yang tengah mengoles roti untuknya. "Pagi Danil." Ulfa mengulas senyum. "Yang lain pada kemana Ma?" Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Sepertinya memang sepi, hanya mereka berdua yang akan sarapan bersama kali ini. Danil menerima roti dari tangan Ulfa. "Aya dan Tya sudah berangkat pagi-pagi," jelas Ulfa sambil menyerahkan segelas s**u pada putranya. "Tumben pagi amat pada pergi." Sambil melihat Ulfa kembali mengoles roti, Danil mengunyah sarapannya. "Aya ada tugas dadakan, dan Tya terpaksa ikut." "Papa juga?" Jangan-jangan Papa gak mau lihat aku pagi ini. "Papa ada keperluan pagi ini." "Keperluan?" "Hmm." Ulfa mengangguk. Danil terdiam. Ia ingat Papanya akhir-akhir ini sering berangkat pagi dan pulang malam hari. Sebenarnya ada yang ia ingin tanyakan pada Mamanya, tapi ia sendiri belum yakin. Terlebih ia tak ingin membuat hati Mamanya bersedih. "Papa sibuk terus ya Ma," ucap Danil enteng. Gerakan Ulfa berhenti, dan menghela napas. "Semua untuk kalian. Apa yang kini tengah Papa lakukan semata untuk kamu, Aya dan Tya." Danil mengangguk. Semoga ya Ma. "Apa Papa masih marah Ma?" Ulfa tersenyum. Ah, senyum pagi-pagi dari Ulfa adalah penyemangat untuk Danil. "Papa marah sudah biasa, nanti juga reda. Cuma Mama harap, kamu jangan sampai ada masalah lagi ya. Ingat bentar lagi kamu lulus dan kuliah." "Beres Ma." Danil berjanji semoga tidak ada masalah lagi yang akan menderanya. Setelah menghabiskan segelas susunya, Danil bangkit. "Aku berangkat ya Ma." Ia menyalami tangan Ulfa. Ulfa mengikuti langkah putranya ke luar rumah. "Hati-hati, jangan ngebut ya," pesannya. Ia selalu khawatir jika melihat putra satu-satunya ini naik kendaraan roda dua. Inginnya semua anaknya diantar jemput supir, tapi hanya putrinya yang bersedia. Sementara Danil tetap minta kendaraan roda dua, agar bisa samaan dengan sahabatnya Dipta dan Ega. ** Danil memacu kendaraannya dengan kecepatan sedang. Helm tertutup dan jaket hitam yang membungkus tubuhnya, membuat Danil terlihat gagah di atas motor gedenya. Suasana pagi yang cerah mengiringi Danil saat ini. Hingga ia membelokkan motornya ke SPBU, mengingat ia perlu mengisi bensin. Pagi itu SPBU tampak antri. Danil mengikuti antrian, hingga matanya memindai mobil yang ia kenal. Mobil papanya. Tidak ada yang aneh, jika ia melihat mobil papanya di jalan raya. Tapi hari ini berbeda. Keningnya melipat saat seorang wanita keluar dari toilet SPBU dan masuk ke dalam mobil papanya. Wanita yang sama yang pernah Danil lihat bersama Papanya masuk ke sebuah restoran. Ia tidak pernah curiga pada Papanya, mengingat seringnya sang Papa ketemu relasi bisnisnya. Tapi mengapa saat ini rasa curiga itu hadir di dalam d**a. Apalagi mengingat pesan sang Mama. "Papa ada keperluan pagi ini." Apa ini keperluan yang Mama maksud? Menjemput wanita ini dan berangkat satu mobil? Tak lama mobil Yusuf terlihat meninggalkan SPBU. Sementara Danil melanjutkan antri. Andai motor nya tidak kehabisan bensin, ia pasti akan ikuti mobil Papanya itu. Sekali lagi motornya ini selalu membuat masalah. Tidak bisa di andalkan. Dalam perjalanan ke sekolah, ia semakin berpikir. Mungkinkah Papanya selingkuh dari Mamanya? Selama ini sosok Papanya selalu menjadi panutan, rasanya tidak mungkin Papanya seperti itu. Tapi apa yang tidak mungkin terjadi di dunia ini? Kalau bukan dia wanita yang baru hadir di kehidupan Papanya, bisa jadi wanita ini CLBK papanya. Ia teringat akan lelaki yang menjadi Ayahnya Delia. Apa semua laki-laki akan seperti itu jika ketemu wanita dari masa lalunya? Apakah termasuk Papanya juga? Danil menggeleng. Tidak, ia ingat pesan Mamanya untuk tidak menyakiti hati seorang perempuan. Dan Danil tidak akan seperti itu. Ia akan mencari tahu apa yang membuat Papanya seperti itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD