PART 11 - GURU LES.

1841 Words
Seorang gadis tampak memasuki sebuah rumah yang terlihat sederhana. Ia membuka pintu yang memang tidak terkunci. Terus masuk ke belakang rumah hingga sampai ke bagian dapur. Membuka tasnya, dan mengeluarkan nampan kecil yang ia bawa dari sekolah tadi. Suasana rumah itu terbilang sepi. Biasanya ia akan menemukan ibunya duduk sambil menonton televisi, berbeda dengan hari ini. Dia adalah Hana, salah satu siswi Tunas Bangsa. Hana hanya tinggal berdua dengan ibunya yang bernama Sulastri. Baru empat bulan ia pindah ke kota ini. Semua berawal dari kematian Ayahnya setahun yang lalu. Tiba-tiba keluarga dari pihak Ayahnya datang bersama sang nenek. Mereka meminta hak bagian harta Ayahnya. Pernikahan ibu dan Ayahnya dulu tidak mendapat restu dari keluarga Ayahnya, sehingga saat Ayahnya meninggal dalam kecelakaan, keluarga Ayahnya menyalahkan ibunya. Mereka menjual rumah satu-satunya peninggalan Ayah Hana. Membagi dua uangnya, yang entah jujur atau tidak. Karena baik Hana dan Ibunya sama sekali tidak pernah tahu berapa harga rumah itu. Mereka hanya diberi uang untuk selanjutnya keluar dari rumah yang selama ini memberikan banyak kenangan untuk mereka bertiga, Hana dan kedua orang tuanya. Jadilah Hana dan ibunya pindah ke rumah yang bisa di bilang kontrakan, karena lebih kecil dari rumah lama, yang terjangkau pembayarannya oleh mereka. Semenjak Ayahnya meninggal, Ibu Hana mencari uang dengan berjualan nasi uduk, berlanjut hingga mereka pindah ke rumah ini. Ibu Hana tetap berjualan di depan jalan. Beruntung, di depan jalan antara perbatasan komplex dan perkampungan, Ibu Hana mendapat lahan untuk berdagang nasi uduk. Hana meneguk segelas air hangat, sebelum melangkah ke arah kamar, untuk menjenguk ibunya. Kamar yang tidak terkunci itu, ia buka. Hana melihat ibunya tengah terlelap tidur. "Bu, ibu sudah makan siang?" Hana meraba dahi ibunya. Panasnya sudah turun. Lastri membuka matanya perlahan. "Hana. Kamu sudah pulang?" "Sudah bu, ini ibu sudah minum obatnya juga?" Hana melihat bekas bungkus obat terlihat di atas meja. "Sudah, ibu sudah makan dan minum obat. Ini Ibu mengantuk lagi. Setiap ibu minum obat pasti mengantuk." Lastri menguap. "Gimana gorengannya, habis?" Tadi pagi Lastri memang tidak berdagang nasi uduk. Merasa kurang sehat, Lastri berobat ke klinik dua puluh empat jam. Hana yang melihat bahan baku gorengan menumpuk, rasanya sayang jika tidak di olah. Jadilah Hana yang mengerjakan semua, menggoreng beberapa jenis gorengan seperti bakwan, tahu isi dan tempe tepung untuk ia kirim ke sekolah Tunas Bangsa. Terpaksa untuk SMP Perdana tidak ia kirimkan dulu. Karena waktu untuk ke sekolah sudah mepet sekali. Dan ia tersenyum saat melihat gorengannya habis di sekolah. "Habis bu, ini uangnya." Hana memberikan beberapa lembar uang pada ibunya, yang di terima Lastri dengan senyum. Lalu memasukkan uang tersebut ke bawah bantal. "Kamu siap-siap sana, nanti anak didikmu menunggu." Lastri kembali menguap, memperbaiki posisi tidurnya. Sepertinya ia akan kembali terlelap. "Tapi, ibu gak apa aku tinggal sendiri?" "Hmmmm?" Lastri yang sudah menutup mata kembali membuka matanya. "Gak apa, ini ibu udah mau tidur lagi, sudah sana pergi. Gak enak mereka menunggu nanti." Lastri mengibaskan telapak tangannya, agar Hana keluar kamar. "Baik bu, Hana pergi dulu ya." Hana bergegas ke kamarnya, untuk berganti pakaian. Kebiasaan Hana sepulang sekolah adalah memberi Les untuk anak-anak tetangganya, dari mulai SD sampai SMP. Ia datang ke rumah anak yang les, dan di sana sudah menunggu beberapa anak yang siap mendapat bantuan dari Hana untuk mengerjakan tugas sekolah dan beberapa materi yang akan Hana berikan, sesuai kelasnya masing-masing. Awalnya Hana diminta bantuan oleh tetangganya mengerjakan soal matematika anaknya yang duduk di kelas lima Sekolah Dasar. Karena nilai anak itu bagus setelah belajar bersama Hana, jadilah ibu si anak meminta Hana memberi les setiap hari. Dan dalam waktu sebulan anak didiknya sudah bertambah dari satu hingga sepuluh orang. Jadi sepulang sekolah hingga senja, tugas Hana adalah mengajar anak-anak tetangganya. Sementara di luar rumah Hana. Tampak Ulfa bersama supir keluarganya yang bernama Sarkim. Ulfa terlihat sedang mengatur napas. Ia baru tahu jika dibalik tembok komplex perumahan yang ia huni ada perkampungan yang luas sekali. Dan berhubung mobilnya tidak masuk ke perkampungan ini, terpaksa ia berjalan kaki. Ulfa memang meminta bantuan Sarkim mencari guru les untuk Danil. Dan di sinilah ia berada. "Kamu yakin ini rumahnya Kim?" tanya Ulfa tak yakin. Pasalnya rumah yang ia lihat ini sepi sunyi. "Iya bu, keponakan saya biasa les sama Hana. Anaknya pintar. Dia baru pindah ke mari, dan satu sekolah dengan Den Danil. Jadi menurut saya, dia pilihan yang tepat untuk memberi les pada Den Danil." Ulfa mengangguk. "Oke, coba saya ketuk pintunya ya." Ulfa mendekati rumah yang tanpa pagar itu. "Assalamualaikum." Ulfa mengetuk pintu rumah. "Waalaikum salam." Terdengar suara dari dalam rumah. Saat pintu terbuka, Ulfa melihat sesosok gadis dengan rambut sebahu. Tatapan heran terlihat dari raut wajah itu, tapi saat matanya bertemu Sarkim, senyum terlihat di sudut bibir gadis itu. "Pak Sarkim?" sapa Hana. Sarkim mengangguk. Lalu mata Hana kembali menatap Ulfa. "Kamu yang bernama Hana?" tanya Ulfa. "Iya bu, saya Hana. Ibu siapa ya?" Jelas Hana heran melihat seorang wanita yang jika ia perhatikan, terlihat bukan berasal dari kampung ini. Kulitnya yang bersih dan terawat memperlihatkan jika ia orang berada. "Saya Ulfa. Bisa saya bicara sebentar dengan Hana?" tanya Ulfa dengan senyum "Bisa bu, Mari masuk. Tapi maaf rumah saya berantakan." Hana membuka lebar-lebar pintu rumahnya, mempersilahkan tamunya masuk ke dalam. Rumah yang jauh dari kata mewah, saat Ulfa melihat suasana di dalam. Hanya ada dua kamar yang berdampingan. Juga sofa yang sudah bisa dikatakan jauh dari kata layak untuk diduduki. Terlihat sobekan di sofa yang kini Ulfa duduki. "Sebentar ya bu, saya buatkan minum dulu." "Eh tidak usah Hana." Ulfa mencekal lengan Hana yang hendak bangkit dan berniat pergi ke dapur. "Duduklah, ibu ingin bicara sama kamu." Hana menurut. Ia duduk tak jauh dari Ulfa, membuka telinganya lebar-lebar. Sepertinya ada hal penting yang akan dibicarakan wanita ini pada dirinya. "Kamu tinggal dengan siapa di rumah ini?" "Dengan ibu saya bu, tapi ibu saya sedang sakit. Dia sedang tidur di dalam, mungkin karena habis minum obat." Ulfa mengangguk. "Ayahmu?" tanya Ulfa lagi. "Ayah sudah berpulang setahun yang lalu." "Oh, maaf. Saya gak tahu." "Gak apa Bu." "Hmm begini Hana. Kamu pasti heran melihat saya datang ke mari." Hana mengangguk. "Hana, ibu dengar kamu membuka les-lesan dari Pak Sarkim." "Benar bu." "Setiap hari?" "Senin sampai jumat bu." "Berapa biayanya sebulan?" "Dua ratus ribu untuk anak SD dan dua ratus lima puluh ribu untuk SMP." "Berapa jam biasa kamu memberi les pada mereka?" "Satu jam bu. Bergiliran." "Berapa muridmu?" "Sepuluh orang." "Di sini kamu memberi lesnya?" Ulfa menatap rumah Hana, sepertinya tidak cukup jika sepuluh orang duduk disini, lima orang pun sempit. "Oh bukan bu. Saya biasa memberi les di rumah tetangga, dan anak murid saya menunggu di sana." "Oh gitu." Ulfa mengangguk. Dengan serius, Ulfa menatap Hana. "Hana, ibu mau kamu mengajar putra ibu juga. Kamu bisa kan?" "Bisa bu." Senyum Hana mengembang. Bertambah lagi pemasukan uang darinya. Terima kasih Tuhan. "Anak ibu kelas berapa?" "Kelas tiga Hana." "Tiga SMP?" "Bukan." "Tiga SD?" "Bukan, tapi tiga SMK." "Hah!" Mata Hana melotot. "Ti-tiga SMK?" Gak salah? "Iya Hana, putra ibu sekolah kelas tiga SMK. Kamu pasti kenal dengan putra ibu. Kamu bersekolah di Tunas Bangsa kan?" Dengan berdebar, Hana mengangguk. Siapa yang akan menjadi murid barunya? "Kamu tahu Danil?" "Da-Danil?" tanya Hana dengan terbata. "Iya, Danil Febian Saputra. Dia adalah putra ibu." Danil yang itu? Semua juga kenal. Tapi apa iya aku harus mengajari Danil? Tidak salah? "Bagaimana Hana? Kamu kenalkan dengan putra ibu?" "Ya-ya saya kenal bu. Kenal kok." Hana tersenyum terpaksa. Lalu tampak raut wajah kekhawatiran terlihat. "Kamu bisa kan mengajar Danil?" Hana meneguk salivanya dengan susah payah. Saat mata di depannya menatap seolah menunggu jawaban pasti. "Tap-tapi bu. Saya biasa memberi pelajaran tambahan itu untuk anak SD dan anak SMP. Belum pernah di luar itu. Apalagi anak SMK." Memang anaknya mau aku ajari gitu? Ulfa meraih telapak tangan Hana. "Tolonglah Hana. Putra ibu ini agak sulit mengenai pelajaran akuntansi. Dia sudah dipersiapkan untuk menggantikan tugas Ayahnya di kantor jika besar nanti. Kami ingin dia lulus dengan nilai bagus, agar bisa masuk ke universitas yang sudah kami pilihkan. Itu sebabnya kami meminta dia untuk belajar tentang akuntansi. Tapi sepertinya anak ibu kesulitan. Kamu bisa bantu dia kan?" "Tapi bu." "Saya akan bayar kamu tiga kali lipat. Tujuh ratus lima puluh ribu, jika kamu mau memberi les pada Danil." Hana menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Hanya dua hari saja Hana, sabtu dan minggu. Jamnya kamu atur sendiri." Dua hari, sabtu minggu, tujuh ratus lima puluh ribu? "Kamu bisakan? Tolong bantu ibu sekali ini saja." Melihat permohonan dari seorang wanita yang baru ia tahu ibu dari seorang Danil Febian, tentu Hana tak enak hati. Siapa yang tidak kenal Danil. Saat ia masuk ke sekolah Tunas Bangsa, nama itu seakan menjadi menu sehari-hari di kelas Hana. Danil yang tampan, Danil yang jago main basket, Danil yang juara main futsal. Terakhir Danil yang membuat patah hati anak SMA Perdana. Ternyata dari semua kesuksesan namanya, terselip Danil yang tidak mengerti pelajaran akuntansi. "Saya akan usahakan ya bu. Tapi apa anak ibu mau saya beri les begitu?" Kenapa dia gak cari les di luar saja sih yang bonafid? "Terima kasih Hana, urusan Danil itu urusan Ibu. Ini Ibu bayar di muka lesnya ya." Hana melotot melihat lembaran uang yang Ulfa berikan padanya. Ia menghitung sampai dua kali. "Lho ini banyak sekali bu. Satu juta?" Hana memandang Ulfa tak percaya. "Gak apa-apa. Sisanya bisa buat bantu ibu kamu. Yang penting kamu bisa kan datang ke rumah?" "Ke rumah?" Hana kembali terkejut. "Ya, kamu mengajar Danil di rumah saya. Karena anak saya pasti gak mau kalau di suruh kemari." Hana terkekeh. "Iya benar bu, anak ibu gak akan nyaman di sini." "Oh maksud saya bukan karena rumahnya, tapi saya takut dia gak mau kamu ajari di sini. Jadi kalau kamu datang ke rumah, Danil mau gak mau kan harus belajar." Benar juga sih. "Baik bu, jadi sabtu ini saya akan ke rumah ibu jam sepuluh pagi. Setelah saya membantu ibu saya jualan nasi uduk." "Oh ibu kamu jualan nasi uduk?" "Ya bu, di ujung jalan depan." "Yang dekat tembok komplex itu?" "Iya, ibu tahu?" "Ya ampun, saya sering beli di sana. Nasi uduknya enak. Saya baru tahu itu ibu kamu." Ulfa terkekeh. "Ya sudah Hana, saya permisi. Jadi sabtu ini saya tunggu kamu di rumah ya." Merasa urusannya sudah selesai, Ulfa berdiri, diikuti oleh Hana. Mereka kini sama berdiri di depan rumah Hana. "Terima kasih atas kepercayaannya ya bu," ucap Hana. Mimpi apa dia, tiba-tiba dapat uang satu juta begini. "Baik Hana, saya permisi. Jangan lupa ya, sabtu ini," pesan Ulfa. "Baik bu. Saya gak akan lupa." Hana memandang pergi Ulfa dengan rasa bahagia. Lalu tatapannya terarah pada uang di tangan. Orang kaya, uang segini gak ada artinya kali ya. Hana mencium uang itu dan mengibaskan ke udara dengan senyum sumringah. "Rejeki di sore hari." Tiba-tiba wajahnya yang semula riang mendadak sendu. "Kira-kira si Danil mau gak ya aku ajari les? Nyebelin gak ya orangnya?" "Ah bodo amat. Mau nyebelin kek, yang penting satu juta udah di tangan. Gak baik nolak rejeki." Hana kembali tersenyum, melupakan jika sosok Danil tidak sama dengan anak didiknya yang biasa ia beri pengarahan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD