PART 12 - NILAI ULANGAN.

1899 Words
Ega menggeleng menatap kertas di tangannya. Mengibaskan kertas putih yang mengukir sebuah angka. Angka yang semakin ditatap matanya semakin membuatnya lelah jiwa dan raga. "Gila bener! Ini gak salah nilai ulangan gue?" Matanya bahkan membola meneliti lembaran di tangannya. Seakan tidak puas, ia membalik kertas dan terus saja begitu tiada henti. Mungkin berharap dengan begitu angka yang bernama nilai itu, yang tertera di kertas putih itu bisa berubah menjadi lebih baik lagi "Hey brader, kalian gimana nilainya?" Ega mengumpat dalam hati untuk yang kesekian kali. "Gila!! Masa gue dapat empat! Empat!! Asli empat man! Ini mah bukan nilai! Ini sih upah gue neken-neken kalkulator aja seharian. Apes banget sih!" "Siallll! b******k!! Perasaan gue dah puter otak bolak balik depan belakang, tapi kenapa ini angka empat demen amat nempel di mari!" Seakan tak puas Ega meremas rambutnya. Dipta dan Danil masih meneliti lembaran di tangannya. Bedanya mereka menerima dengan keikhlasan luar biasa, tidak seperti Ega yang tidak terima dunia akhirat. "Coba gue lihat!" Dengan tidak sabaran, Ega merampas kertas di tangan sahabatnya. Masih dengan dengusan kesal yang keluar dari kedua lobang hidupnya. "Lah lo dapat enam!" Ega melotot ke arah Dipta. Ia semakin berang. Lalu beralih ke kertas milik Danil. "Lo juga dapat lima?" Kini matanya mendelik ke arah Danil. Wajahnya semakin mengenaskan. Dipta dan Danil saling tatap dan tanpa dikomando, mereka bersamaan angkat bahu. Mata Ega menyalang menatap kedua sahabatnya. "Kita contekan, kenapa cuma nilai gue yang rendah." Ega mengangkat ketiga kertas di tangannya. Sekali lagi Dipta dan Danil angkat bahu. "Wah gue gak terima ini." Lalu Ega meneliti satu persatu angka dari ketiga kertas itu. "Eh, lo berdua. Coba bantuin gue. Gue pusing ini lihat angka." Gelengan terlihat di kepala Dipta, sementara Danil terkekeh. "Ega-Ega. Mau lo pelototin juga, itu nilai gak akan berubah. Udahlah anggap lo emang lagi apes." Ega menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Terus gimana dong? Kita kan samaan jawabannya, ini kenapa gue doang yang nilainya rendah. Lo berdua kaga?" "Lo itu nyontek kan?" tanya Danil lagi. "Terima aja kali, gue aja gak nyangka dapat lima. Asli gue malas ama itu pelajaran. Tiga tahun belajar ngerti aja kaga." Lalu Danil mengeluarkan ponselnya dan menonton bola. "Lah dia malah nonton bola." Ucapan Ega tak dipedulikan oleh Danil. Ia terus menatap ponselnya yang menampilkan para pemain bola kelas dunia yang sukses. "Lo masih ngayal jadi pemain bola Nil?" Dipta iseng bertanya. "Ngayal mah bebas kali, kayak gue nih sekarang." Senyum menguar saat melihat sosok gadis dari dalam sekolah yang akan melewati tempat parkiran. Kini Danil dan Dipta menatap Ega. Tahu kemana mata Ega terarah dan berkilat, mereka berdua mengikuti arah pandang Ega, dan sontak menghela napas berdua. Selalu Hana. Sepertinya kekesalan Ega sirna secepat angin yang berhembus di sekitar mereka. "Bentar ya, gue akan menghampiri wanita masa depan gue dulu." Ega berjalan dengan penuh semangat empat lima. "Woy Ga, bangun jangan mimpi!" teriak Dipta, lalu terdengar kekehan dari Dipta dan Danil "b******k lo pada. Tar gue dapetin si Hana, gak bakal gue kasih contekan lo berdua. Ayang gue mah pinternya gak kaleng-kaleng." Hana yang tengah berjalan tak tahu jika akan dihampiri Ega. "Hay Hana," sapa Ega dengan ramah. "Hay juga Ega." Hana membalas senyuman Ega. Mendapat senyuman saja, hati Ega sudah berbunga-bunga. Hana beneran senyumnya manis. Kalah deh gula. "Hana, aku boleh nanya gak ya?" "Boleh, nanya apa ya?" Hanya mengusap peluh di keningnya. "Tapi aku malu sih, gimana ya." Hana terkekeh, membuat mata Ega melotot tak berkedip. Cantiknya. "Santai aja kok Ga sama aku mah. Mau nanya apaan sih emangnya?" Dengan ragu-ragu, Ega memperlihatkan kertas ulangannya. Hana menerima dan meneliti kertas di tangannya. "Hah, kamu dapat empat? Gak salah?" Mata Hana melotot tak percaya. "Inikan jurnal biasa, jurnal dasar, masa dapat empat?" Beuh lain yang pinter mah. Segini susah dibilang jurnal biasa. Emang ada jurnal luar biasa gitu? "Maklomlah Hana, aku gak suka akuntansi he he he." Kening Hana melipat. "Kalau gak suka akuntansi, kenapa kamu masuk akuntansi." "Tuntutan keadaan Hana. Ibarat hidup, sebagai manusia bukankah kita harus seimbang? Harus balance? Itulah yang membuat aku masuk akuntansi." Gak nyambung banget sih. "Kalau gak suka akuntansi, kamu sukanya apa dong?" "Boleh gak kalau aku jawab sukanya kamu?" "Hah?" Wajah Hana meringis. "Mak-maksudnya?" "Eh, maksud aku gak gitu kok, gak. Maaf, salah ucap he he he." Padahal emang niat, kasih kode. Sayang ayang Hana gak ngerti. Gak ngerti apa pura-pura ya? "Oh salah ucap." Hana menghela napas. Syukurlah. "Hmmm Hana, boleh aku minta bantuan?" "Bantuan apa ya?" Hana melirik ke belakang tubuh Ega, dimana Danil dan Dipta masih menatap ke arahnya. Tepatnya menatap interaksi dirinya dan Ega. "Ajarin aku dong tentang akuntansi," pinta Ega dengan memohon. Lelaki ini tahu jika Hana buka les-lesan. "Gimana ya, aku kan buka les untuk anak SD dan SMP, Ga" "Masa gak bisa aku ikutan sih Han?" "Memangnya kamu mau gabung sama mereka gitu?' Ya salam. Les bareng anak SD dan SMP. "Gak bisa diatur jadwalnya gitu?" pinta Ega lagi. "Maaf Ega, jadwal aku sudah penuh. Sekali lagi maaf ya. Aku permisi pulang. Ini kertas kamu, aku kembalikan." "Kamu gak kasihan sama aku Hana?" "Semangat belajarnya Ega." Hana kemudian melangkah pergi, meninggalkan Ega yang termangu di tengah lapang. "Astaga, masih gak patah semangat ya bro." Dipta menepuk bahu Ega. Membawa sahabatnya itu kembali ke parkiran. "Gila ya gue ditolak. Menyesakkan," lirih Ega pura-pura sedih. "Lo nembak dia?" tanya Danil tak percaya. "Kagak, siapa yang nembak dia?" "Lah tadi lo ngomong apa oneng?" Dipta ikutan bertanya. "Yee, lo pada negatif aja ya. Gue itu lagi usaha deketin Hana, buat jadi murid dia." "Murid?" Kening Danil melipat. "Iya, lo pasti gak tahukan? Si Hana itu buka les-lesan untuk anak SD dan SMP di rumahnya, makanya gue mendaftarkan diri jadi salah satu murid les dia." Dipta terbahak mendengar penuturan Ega. "Ya ampun, lo mau les bareng anak SD ama SMP?" Terbayang di benak Dipta, Ega duduk bersama anak SD dan SMP duduk dilantai, les bersama dan Hana menjadi gurunya. "Eh monyet, ya kagaklah. Gila kali ya. Yang ada tuh anak SD sawan lihat gue ha ha ha." "Terus maksud lo itu gimana?" selidik Danil. "Gue minta hari lain, selain hari dimana Hana mengajar anak SD dan SMP, tapi doi nya gak bisa." Ega mengangkat bahu. "Gak bisa apa gak mau?" tanya Dipta lagi. "Waduh dia jawab apa ya tadi, intinya gak, gitu aja he he he." "Ega-Ega, modus lo gak banget tahu!" "Daripada langsung balik, kita capcus yuk. Gue ada janji ketemu kakak gue di tempat kerjanya," ajak Dipta. "Sipp yuk." Lalu ketiga sahabat itu melajukan motornya ke sebuah Hotel yang ada di pusat Kota. Dipta memiliki kakak yang bekerja sebagai Public Relation sebuah hotel bintang lima. Dipta sudah biasa mengunjungi kakaknya, baru kali ini ia membawa Danil dan Ega. "Kalian tunggu sini ya," ucap Dipta, sambil menggenggam ponsel. Berusaha menghubungi kakaknya. Ketika Dipta masuk ke dalam hotel, Danil dan Ega memilih duduk di depan ruang lobby hotel. "Semoga nanti kalau gue bisa melamar Hana, gue bisa bawa dia honeymoon ke hotel ini." Ega memandang takjub suasana hotel. Mewah dan berkelas. Benar-benar interiornya menyegarkan mata dan pastinya menguras dompet siapapun tamu di sini. Harga menginap di tempat ini pasti gak murah. "Lo naksir ya sama Hana?" tanya Danil iseng sambil memainkan ponsel. Ditanya begitu wajah Ega sumringah dan bercahaya. "Bukan naksir lagi Nil, gue naksir banget." Danil menggeleng. "Nil, gue kebelet." "Kebelet nikah sama Hana?" "Si oneng, ya gak lah! Gue kebelet mau pipis." "Ooooo. Ya udah cari toilet sana. Gitu aja laporan ama gue." "Lo jangan kemana-mana dulu ya. Diem-diem aja di mari," pamit Ega sambil meringis. "Ya." "Gue ke toilet dulu." "Oke, jangan pake lama." Ega segera bangkit. "Titip tas gue ya, jangan ampe ilang," pesan Ega. Danil berdecak. Seolah di dalam tasnya ada banyak barang berharga. Padahal jika di letakkan di jalanpun, belum tahu ada yang mau ambil. Tas Ega ini jauh dari kata layak di sebut tas. Sudah sobek sana-sini, dekil dan kotor nya gak kira-kira. Sepertinya sejak memakai tas ini, dia tidak pernah mencucinya hingga saat ini. Atau mungkin takut, jika di cuci, tas itu akan semakin hancur. Danil baru akan kembali melirik ponselnya, saat melihat orang yang ia kenal memasuki lobby hotel. "Papa?" Dengan tergesa Danil bangkit dan sedikit menyembunyikan tubuhnya ke kursi yang lebih tertutup tanaman hias. Dari arah luar, posisi Danil tidak terlihat. Tapi dari arah Danil ia bisa melihat bagaimana Papanya tersenyum memasuki lobby hotel bersama seorang wanita yang terlihat sangat cantik. Sepertinya lebih muda dari Mamanya. Danil memeriksa ponselnya. Seketika ia mengumpat. "Ah sial, pake lowbat lagi." Ia ingin sekali memiliki bukti jika Papanya tercinta selingkuh, tapi semesta seolah tak mendukungnya. Ponselnya mati total. Jadi yang Danil lakukan hanya menatap Papanya bersama wanita itu memasuki area hotel. Apakah mereka akan menyewa kamar, seperti yang pernah Danil lihat di tivi-tivi? Apakah memang tidak cukup bakti Mamanya selama ini, hingga Papanya harus mencari wanita lain di luar sana? Danil tidak bisa membayangkan jika Mamanya tahu, ia pasti terluka. Mamanya sudah banyak berkorban untuk mengurus anak dan rumah setiap hari. Padahal bisa saja Mama berkarir seperti wanita lainnya di luar rumah. Danil yakin, Mamanya lebih cantik dari wanita tadi jika saja mau merias diri. "Woy Nil, lo ngapain ngumpet di situ?" Ternyata Ega sudah kembali dari toilet. "Oh gak, gue lagi cek ponsel, tapi low bat. Lo hubungi Dipta deh suruh buruan, kita balik cepetan gitu ya." Sementara di tempat lain, Dipta sedang berbincang dengan kakaknya. "Oke, bang. Aku balik dulu. Soalnya ajak teman di depan." "Ya sudah, Abang juga ada mau ketemuan sama klien Abang." Kakak laki-laki Dipta yang bernama Aryo menepuk bahu Dipta sebelum berpisah. Lalu Aryo meninggalkan Dipta sendirian. Dipta masih menghitung uang di tangan, kebiasaan kalau ketemu abangnya pasti akan dapat jatah lembaran uang berwarna merah. Lumayan buat beli kopi bareng Danil dan Ega. Pikirnya. Tiba-tiba telinganya mendengar suara di belakang tubuhnya. "Selamat datang Pak Yusuf, Bu Irna." Itu suara abangnya, Dipta kenal. Tapi yang membuatnya heran, saat ia mengangkat wajahnya dan melihat dari pantulan kaca, melihat sosok yang ia kenal. "Itukan Papanya Danil? Buset dah, ganti cewek lagi dia? Orang kaya mah bebas. Kemarin dedek-dedek gemes, sekarang wanita karir. Gila, tua-tua makin jadi. Gak inget anak bini di rumah. Set dah, si Danil liat gak ya Papanya itu? Wah berabe kalau dia lihat. Kasih tahu gak ya? Gak dikasih tahu kasihan, dikasih tahu lebih kasihan lagi. Waduh bingung gue." Tengah Dipta berperang dengan pikirannya, ponselnya berbunyi. Dari Ega. "Halo." "Masih lama gak woy!" Teriakan Ega terdengar di telinga. "Ya bentar gue kesana." Dipta melangkah ke arah lobby tempat Danil dan Ega menanti. "Lama amat sih," protes Ega. "Sorry, tapi habis ini kita makan ya." Dipta memperlihatkan lembaran uang di tangannya. "Gak sia-sia dong gue nunggu." Ega langsung bangkit menyusul langkah Dipta begitu juga Danil. ** Dipta melirik Danil yang terdiam. Mereka menunggu Ega yang tengah memesan makanan di kasir salah satu restoran siap saji. "Nil lo sejak tadi di lobby hotel terus?" Danil mengangkat wajahnya. "Gak sih, gue ke toilet kok. Emang kenapa?" Jelas Danil berbohong, ia meraba kemana arah pembicaraan sahabatnya. "Gak, gak apa-apa sih." Dipta tersenyum kaku. Sepanjang hari itu, Danil lebih banyak diam. Apalagi kalau bukan memikirkan tentang Papanya. Semakin dipikir, hatinya semakin panas. Memikirkan orang yang selama ini menjadi panutannya berselingkuh di belakang Mamanya, dengan wanita yang sama pula. Ia akan mencari tahu siapa wanita itu. Tidak akan ia biarkan Mamanya menangis. Senakal apapun ia selama ini, pantang ia melihat air mata Mamanya berlinang. Danil tidak akan biarkan itu terjadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD