PART 2 - MANTAN MAMA.

1652 Words
Danil yang semakin terhuyung, lalu jatuh di lantai. Kepalanya terasa berkunang-kunang. Rasa amis terasa di sudut bibir. Belum lagi wajahnya terasa sakit, juga perutnya. Ia terlalu menganggap enteng lawannya. Tubuhnya dipeluk seseorang dari belakang. “Jangan sentuh putraku!” Danil mengenali suara itu. Suara Mamanya. Dengan cepat ia menoleh ke arah belakang. “Mama?” lirihnya. Ulfa meringis melihat wajah tampan putranya yang sekarang. Demi Tuhan, ia saja menyesal ketika sudah melayangkan tamparan ke pipi anaknya, dan kini wajah anaknya jauh dari kata baik-baik saja. “Kamu gak apa-apa sayang?” Danil mendengar nada khawatir. Hatinya menghangat. Ketika wanita yang begitu penting dalam hidupnya berkata dengan suara lunak. Ia tahu jika sudah seperti ini, Mamanya selalu memandang dia layaknya anak usia lima tahun yang bahagia di panggil sayang. Walau terkadang ia malu dan jengah dipanggil dengan kata sayang di depan orang banyak, tapi kini senyum terbit di kedua bibirnya[U1] yang terasa sakit. Sekalipun ia menyesal ketika Mamanya harus melihat kejadian ini. Pasti wanita ini ikut merasakan kesakitan yang ia derita. “Aku gak apa-apa Ma.” Padahal semua sakit, ya badan juga wajah. Tapi ia tak ingin membuat orang yang telah membuatnya lahir ke dunia ini menjadi menangis. Sekarang saja mata bulat yang menghias wajah cantik Mamanya sudah berkaca. Ah, Danil menyesal ketika Mamanya harus melihat ia seperti ini. “Dia-dia putramu?” Kini telinga Danil menangkap sebuah suara yang tadi sempat berteriak di depan wajahnya. Beberapa satpam yang tadi datang, tak jadi memisahkan. Karena keributan sudah berakhir. Danil dipapah Ulfa duduk di kursi. “Ya Tuhan wajah kamu sayang.” Terdengar suara meringis dari mulut Danil, dan ia segera menjauhkan wajahnya, ketika tangan Mamanya berusaha mengusap bagian bibir yang pecah. “Sakit Ma,” lirihnya. “Aku gak tahu dia putramu.” Lelaki yang Danil tahu adalah Ayah dari Delia duduk di seberang mereka. Ketika matanya menatap wajah lelaki di depannya, kening Danil mengernyit melihat tatapan lelaki itu pada sang Mama. Lalu matanya melirik wajah Mamanya, dan terlihat aura emosi mendera wajah Mamanya. Ini kenapa terbalik gini situasinya? Kok Mama yang emosi? ** Kantin rumah sakit saat ini tidak bisa di bilang ramai. Mungkin karena sudah lewat dari jam besuk. Danil masih menunduk, menekuri gelas di depannya. Masih menunggu apapun suara yang keluar dari dua orang dewasa yang kini duduk saling berhadapan. Sesekali matanya melirik Ayah Delia yang tiada henti menatap Mamanya. Sementara sang Mama justru menatap ke arahnya. “Masih terasa sakit sayang?” “Mama.” Danil protes. Ia tak ingin lelaki di depannya ini menganggapnya anak kecil. “Sungguh aku tidak tahu jika ia putramu.” Terdengar suara pelan dari lelaki di depan Danil. “Kau bahkan memukulnya membabi buta, tanpa mendengar penjelasan dari putraku dulu.” Mau tak mau Danil melirik Mamanya. Hatinya tersenyum melihat Mamanya menatap lawan bicaranya dengan mata setajam silet. Biar, biar lelaki ini tahu seperti apa sosok wanita pemilik cinta pertamanya. “Aku tidak tahu jika ia putramu.” Kembali telinga Danil menangkap ucapan yang sama. Memangnya dia siapa harus tahu aku ini anak Mamaku atau bukan? Kenal aja tidak. “Bagaimana keadaan putrimu?” Pertanyaan dari Mamanya, membuat Danil mengernyit. Dia bahkan lupa untuk menanyakan keadaan Delia pada Ayahnya. Entah mengapa, lelaki ini yang merupakan Ayah Delia mengajak mereka ke kantin untuk bicara. Padahal kedatangan Danil dan Mamanya jelas untuk melihat keadaan Delia. Apalagi ketika Ayah Delia kembali berkata. “Kita ke kantin saja. Aku tidak mau kalian bertemu dengan keluargaku yang lain.” Aneh bukan? Seolah lelaki ini justru melindungi Danil. Hey, kemana sikap arogannya yang tadi. Main hajar saja, tanpa bertanya terlebih dahulu. Dan kini mereka duduk dalam satu meja, saling tatap. Tepatnya Ayah Delia yang selalu menatap Mamanya dengan tatapan yang sulit Danil artikan. Ia melirik sang Mama. Mama memang cantik, cantik sekali bahkan. Kak Aya dan Tia saja tetap kalah cantik sama Mama. Mungkin Danil beruntung mewarisi wajah sang Mama hingga ia menjadi anak lelaki yang tampan. Jika ia terlahir sebagai seorang wanita, bisa jadi ia secantik sang Mama. “Putriku baik-baik saja.” Danil membola menatap ke arah Ayah Delia. Kalau Delia baik-baik saja, kenapa tadi main hajar? “Baik-baik saja?” Kini pertanyaan yang diajukan Ulfa seiring dengan tatapan tak percaya. “Lalu untuk apa kau menghajar anakku.” Bagus Ma. Omelin aja terus orang ini. Biar dia tahu, Danil punya Mama yang super galak. Sembarangan main pukul muka orang, Semoga kadar ketampanan aku gak berkurang.Batin Danil. “Maaf.” Mulut Danil menganga. Lah kok dia yang minta maaf? Ini Mama pake dukun apa sih? Bukannya kita yang mau minta maaf sama dia? Kok terbalik ya. Ya memang sih, orang ini udah main pukul aja, tapi mungkin juga dia emosi karena putrinya. Tapi lihatlah sekarang, justru lelaki ini yang terkesan menyesal. Aneh banget sih. “Sebenarnya putrimu itu sungguhan mau bunuh diri atau tidak?” Kepala Danil tertoleh ke samping, menatap sang Mama. Ayah Delia menghembuskan napas. “Kamu menemukan pintu kamarnya terkunci sejak pagi. Dan aku menobraknya. Istriku khawatir terjadi sesuatu padanya. Karena ia tidak mau makan dan terus menangis.” “Lalu?” “Di samping bantalnya, ia sudah meletakkan sebuah cutter. Aku berusaha merampas cutter itu dan tak sengaja justru mengenai pergelangan tangannya.” “Jadi sebenarnya putrimu itu tidak bunuh diri?” Ayah Delia menatap Ulfa tajam. “Apa ini karma untukku Ulfa.” Kok dia kenal sama Mama? Perasaan mereka belum kenalan. “Aku tidak pernah menyimpan dendam.” Raut wajah Ulfa telihat tegas di mata Danil. “Tapi kau pasti masih membenciku.” Ayah Delia tertawa dengan miris sekali. Dia tidak mendadak gila kan? Tadi marah-marah, sekarang ketawa sendiri. “Siapa yang bisa mengira anak kita saling mengenal. Terlebih putriku begitu takut kehilangan putramu.” Sepertinya Danil bisa menarik benang merah diantara mereka. “Maaf Om, sebenarnya Delia itu baik-baik saja atau bagaimana?” Dan ia menyesali bertanya ketika mata Ayah Delia dan Mamanya kini sama menatapnya. Danil menelan salivanya. Aku salah bertanya ya? “A-aku boleh menengok Delia, Om?” Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Lama-lama dia bosan di sini. “Sebaiknya jangan. Kamu bisa bertemu istri Om, dan pasti istri Om akan marah sama kamu.” “Tidak, jika istrimu tahu kalau Danil adalah putraku.” “Jangan, sebaiknya kalian pulang saja. Delia baik-baik saja kok.” “Lalu untuk apa kau sampai melapor ke polisi segala! Belum lagi lihatlah wajah putraku menjadi babak belur begini.” “Maaf, aku terbawa emosi.” “Maaf Om, Mama.” Danil menengahi antara Mamanya dan Ayah Delia. Ini kenapa mereka berdua bertengkar. “Saya dan Delia memang pernah dekat, tapi saya sama sekali tidak bermaksud membuat putri Om celaka. Saya mau fokus sama sekolah, dan gak mau pacaran dulu.” Alasan yang masuk akal bukan? “Kamu dengar itu? Putraku dididik dengan baik. Jadi aku yakin putraku tidak akan berbuat hal yang tidak-tidak di luar sana. Apalagi sampai menyakiti hati seorang wanita. Dia terlahir dari rahimku. Aku yakin putraku seorang lelaki sejati.” Bagus Ma, Mama memang Mama aku yang jempolan. Baru kali ini Danil merasa melayang, ketika Mamanya mengatakan jika ia lelaki sejati. Ternyata dibelakang sifat galak dan cerewetnya, Mama manis sekali. Semoga aku bisa menemukan wanita seperti Mama untuk masa depan aku nantinya. “Aku tahu. Aku yakin putramu anak baik-baik. Maaf aku sempat membuatnya terluka. Aku janji akan cabut laporanku di kepolisian.” “Serius Om mau cabut laporan yang di kepolisian?” Danil langsung bersinar matanya. Mendengar kata polisi dan kantor polisi, entah mengapa membuat nyalinya ciut. Senakal-nakalnya ia, tetap takut sama yang berbau hukum. “Iya Om minta maaf ya sudah pukul kamu.” Senyum tulus Ayah Delia terlihat. “Mas Deri.” Mendengar suara Mamanya, Danil melirik ke samping. Melihat Mamanya saling memandang dengan Ayah Delia. “Aku anggap hari ini kita tidak pernah ketemu.” Kening Danil melipat, ketika melihat Mamanya bangkit. “Ayo Danil kita pulang.” Suara tegas Mamanya, membuat Danil mau tak mau bangkit. “Ma, ini ....” “Pulang Danil!” “Eh iya Ma.” Bergegas Danil bangkit. “Mari Om, sampaikan maaf saya buat Delia.” “Sampaikan maaf Om sama Mama mu ya.” Dengan nada heran, Danil mengangguk dan mengejar Ulfa. “Ma, tunggu!” Danil setengah berlari mengejar Ulfa yang berjalan dengan tergesa-gesa. Mama kayak mau ambil gaji saja. “Ma, jalannya perlahan kenapa sih.” Gerutuan terdengar dari mulutnya. Ulfa menghentikan langkahnya. “Ingat Danil, jauhi Delia. Mama gak mau kamu berurusan sama dia lagi. Dengar?” Mata Ulfa menusuk sekali. Membuat Danil mengangguk. Senyum terbit di sudut bibir Ulfa. “Itu baru gantengnya Mama.” Ulfa menepuk pelan pipi Danil. Lupa jika perbuatannya membuat Danil meringis sakit. “Upss sakit ya, maaf Mama lupa.” Danil mau tak mau ikutan tersenyum. “Cuma dikit kok Ma.” Mereka berjalan beriringan menuju parkiran. “Mama naik apa kemari?” “Naik taxi online.” “Mama aku bonceng ya.” Terlihat gelengan dari Ulfa. “Mama masih mau umur panjang.” “Mama, aku hati-hati deh bawa motornya.” Danil kesal jika Mamanya masih takut untuk ia boncengi. Padahal dulu hanya sekali Danil menabrak gerobak tukang bakso saat membonceng Mamanya. Karena masih belajar mengendarai motor. “Ongkos taxi online masih bisa Mama bayar. Kamu hati-hati di jalan, jangan ngebut. Langsung pulang ya.” Gak janji ya Ma. Batin Danil. Mereka berpisah di depan rumah sakit, karena Danil harus melangkah menuju parkiran. Sedang Ulfa langsung mengeluarkan ponsel memesan taxi online. “Ma, Ayahnya Delia itu mantan Mama ya.” Gerakan tangan Ulfa terhenti. Kini ia mengangkat wajah menatap putranya. “Kelihatan banget kok Ma. Itu orang masih suka sama Mama.” Senyum jahil muncul di sudut bibir Danil yang membiru. Ternyata Mama ketemu mantan di sini. Wah bisa repot, jika Papa tahu. Tatapan Ulfa menjadi sayu. “Danil, kamu janji sama Mama.” Mata Ulfa fokus langsung menatap bola mata Danil. “Jangan pernah menyakiti hati seorang perempuan. Dimanapun kamu berada.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD