PART 3 - MASALAH

1721 Words
Ulfa naik ke dalam taxi online yang ia pesan, sementara Danil melarikan motornya keluar area rumah sakit. Mereka pisah, karena Danil ada rencana ke tempat lain. Apalagi jika bukan bergabung bersama ke dua sahabat karibnya Ega dan Dipta. Sementara Ulfa akan kembali melanjutkan kegiatannya menata berbagai macam pot kembang di rumahnya. Itulah kegiatan Ulfa selain mengurus anak dan suami. Melanjutkan hobinya. Ia tak menyangka akan bertemu mantan kekasihnya di rumah sakit. Pun tak menyangka jika Danil mengenal putri dari sang mantan. Ulfa tersenyum. Dulu ia dibuat sedih oleh Ayahnya Delia. Dan kini Delia dibuat sedih oleh Danil. Apakah ini yang disebut hukum karma? Tidak, Ulfa tidak pernah berharap putranya menyakiti hati satu orang perempuan, siapapun itu. Ulfa dan Danil tidak menyadari sejak tadi, ada sepasang mata yang memindai apa yang mereka lakukan di rumah sakit. Sepasang mata menatap bagaimana Ulfa dan Danil bertemu seseorang di kantin rumah sakit, berbicara bertiga. Tanpa tahu apa alasan Ulfa dan Danil ada di sana. Yusuf Saputra menahan geram melihat sosok istrinya yang baru saja ia lihat bertemu dengan lelaki bernama Deri. Yusuf mengenal siapa Deri. Mantan kekasih istrinya, sebelum mereka menikah. Mantan kekasih istrinya yang telah membuat istrinya sedih dulu. Yusuf butuh waktu lama untuk meraih hati Ulfa karena Ulfa trauma akan perselingkuhan Deri dan sahabatnya. Tapi kini, tak salahkah matanya, melihat Ulfa bersama Deri, bahkan bisa-bisanya mengajak Danil juga. Seharusnya Ulfa membenci Deri, bukan justru berbincang seperti tadi. Sejak kapan mereka bertemu dan menjadi dekat? Apakah selama ini mereka sering bertemu di belakang aku? Dan kenapa Danilpun ada di sini? Apa Danil tahu siapa Deri itu? Atau Ulfa mengarang cerita pada putranya? "Mas Yusuf." Sapaan seseorang membuatnya menoleh. "Kami sudah selesai." Seorang wanita menghampiri dengan seorang anak gadis yang berwajah sedikit pucat. Aslinya gadis ini berwajah cantik, mungkin karena sedang sakit sehingga kecantikannya agak terlindung dengan raut pucat di wajah. "Terima kasih atas bantuannya. Mas Yusuf boleh kembali ke kantor. Biar aku dan Evelyn pulang ke rumah sendiri." Yusuf memandang Irna, mantan kekasihnya dulu yang kini berdiri bersama putrinya yang sedang sakit. Hari ini Yusuf menjenguk putri kandung Irna yang terkena demam berdarah, dan sudah beberapa hari dirawat di rumah sakit ini. Tapi siapa sangka Irna justru sedang mengurus kepulangan Evelyn yang sudah dinyatakan sembuh dan bisa rawat jalan. Ia pun berinisiatif mengantar Irna ke rumahnya, karena suami Irna sudah lama berpulang. Irna berstatus janda dengan satu putri. Dulu mereka sempat menjalin kasih, tapi akhirnya Yusuf menikahi Ulfa. Siapa sangka mereka kembali bertemu dengan status Irna yang telah menjanda. "Gak apa-apa. Tampaknya Evelyn masih terlihat lemas. Aku antar kalian sampai rumah. Ayo." Yusuf mendahului melangkah ke parkiran rumah sakit. Masih mencoba menguar rasa kesalnya mendapati istrinya ada di rumah sakit ini. Tidak, Yusuf percaya Ulfa istri yang setia. Mungkin ia akan bertanya tentang hal itu nanti di rumah. Yusuf membuka pintu mobil untuk Irna dan putrinya, sebelum ia masuk ke kursi pengemudi. Hari ini ia tidak memakai supir. Tepatnya saat ia hendak bertemu Irna. Perjalanan ketiganya di sertai keheningan. Yusuf masih dengan pikiran tentang Ulfa istrinya, dan Irna sesekali menatap lelaki di sampingnya. Yusuf Saputra, sosok lelaki sukses dengan penampilan tampan, masih seperti dulu. Ia segera mengenyahkan pikiran itu. Kisah mereka hanya tinggal kenangan. Yusuf sudah berbahagia dengan keluarganya, begitupun dirinya. Andai sang suami tidak terkena serangan jantung dan meninggal dunia dua tahun lalu. Mungkin ia dan Evelyn tidak akan kesulitan begini dan kembali minta tolong pada lelaki ini. Yusuf menghubunginya, saat Irna menggugah story tentang putrinya yang dirawat karena demam berdarah. Sebagai seorang teman, Yusuf cukup bersikap sopan dan baik kepadanya. Hubungan mereka dulu pisah karena jarak yang memisahkan, dan mereka sama-sama jatuh cinta pada pasangan masing-masing. Jadi tidak ada kebencian yang melanda keduanya saat mereka dipertemukan kembali oleh takdir. Setahun lalu Irna bertemu di acara reuni dengan Yusuf yang saat itu datang seorang diri. Irna yakin lelaki ini sangat mencintai sosok Ulfa, Terlihat dari bagaimana Yusuf menceritakan tentang istrinya malam itu di acara reuni. Mobil Yusuf sudah berhenti di depan rumah Irna. Irna memapah putrinya untuk dibawa ke dalam kamar. "Kamu istirahat ya, Mama temani Om Yusuf dulu." Lengan Irna ditahan Evelyn. "Ma, jujur sama aku. Mama gak menjalin hubungan dengan Om Yusuf kan?" Evelyn hanya takut Mamanya terlibat CLBK dengan sang mantan. Irna tersenyum sambil mengelus kepala sang putri. "Sayang, mama hanya cinta sama mendiang papa kamu." "Tapi gak ada hubungan tanpa rasa antara seorang lelaki dan wanita. Apalagi kalian pernah memiliki kisah." Evelyn menunduk. Ia tak pernah membayangkan ibunya menjadi pelakor. "Om Yusuf sangat mencintai istri dan keluarganya sayang. Mungkin nanti kita bisa mengunjungi rumahnya untuk menjalin silaturahmi dengan istri dan anak-anaknya." "Memang Om Yusuf punya anak berapa Ma?" Tiba-tiba rasa ingin tahu menggelitik hati Evelyn. "Tiga. Dua wanita, satu laki-laki." Lalu mata Irna menerawang. "Siapa tahu kami bisa besanan," godanya. "Maksud Mama?" "Kamu dengan putra Om Yusuf, mungkin?" Evelyn memandang horor. "Ish Mama apa-apaan sih. Awas ya jangan main jodoh-jodohin aku kaya di tivi itu. Aku gak suka." Wajah cantik Evelyn merengut. Membuat Irna terbahak. Ia suka sekali menggoda putrinya ini. "Oke, sekarang kamu istirahat ya. Mama ke depan dulu. Gak enak masa tamu di tinggal sendiri." Setelah menyelimuti tubuh putrinya, Irna melangkah ke depan. Mendapati sosok sang tamu tengah menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa dengan mata terpejam. "Mas Yusuf." Panggilan Irna membuat Yusuf membuka mata. "Hmm, sorry aku hampir ketiduran." Yusuf membenarkan posisi duduknya. "Terima kasih atas kebaikan Mas Yusuf mau jenguk putri aku dan mengantarkan sampai rumah." "Evelyn gimana? Sudah istirahat dia?" Yusuf memandang mantan kekasihnya yang masih terlihat cantik ini. Tidak, Ulfa lebih cantik dari Irna. "Sudah." Hening sejenak melanda keduanya. Irna melihat ada kerut di kening Yusuf. "Mas Yusuf ada masalah?" Mata Yusuf berlari menyusuri sudut rumah Irna. "Gak, memang kenapa?" "Aku lihat sejak dari rumah sakit Mas Yusuf banyak melamun. Ada yang bisa aku bantu?" Terdengar helaan napas dari mulut Yusuf. "Gak ada. Mungkin aku cuma lelah. Oh iya bagaimana rencanamu mau joint sama hotel yang di Jakarta pusat itu? Kapan mulai?" Sejak ditinggal suaminya, Irna mendalami kembali bakatnya hingga ia bisa membuka usaha rumah makan. Dan ia mau melebarkan sayapnya bekerja sama dengan hotel berbintang lima dengan dibantu Yusuf yang memiliki banyak relasi bisnis. "Sudah tinggal menunggu acc dari pimpinan mereka. Kebetulan sample menu sudah aku kirim kesana. Semoga ya Mas. Semoga usaha aku yang ini berhasil. Akhirnya aku bisa kembali memulai usahaku yang sejak lama aku impikan." Dulu Irna hanya ibu rumah tangga biasa. Sejak suaminya meninggal, ia terpaksa membanting setir menjadi wanita karir. Berhubung ia hanya hobby memasak, jadilah ia sedikit demi sedikit membuka stand di beberapa Mall Ibukota. Dan berhasil. Kini ia mencoba merambah ke beberapa hotel dan bekerja sama membuka restoran di sana. "Kabari kalau sudah oke. Biar aku menjadi pelangganmu yang pertama." "Tentu Mas. Aku pasti kabari." Yusuf melirik jam di tangannya. "Aku kembali ke kantor dulu." "Iya Mas. Hati-hati di jalan. Salam buat Mbak Ulfa. Nanti kapan-kapan aku main ke rumah Mas Yusuf." Yusup menjalankan mobilnya ke arah kantor. Pikirannya kembali mengingat kejadian di rumah sakit tadi. Selama ini ia sudah menjadi sosok suami yang bertanggung jawab terhadap istri dan keluarganya. Hingga tak percaya jika istrinya memiliki waktu bertemu dengan mantan kekasihnya dan mengajak Danil juga. Apa coba maksudnya? ** Danil menghentikan motornya tepat di sebuah warung. Dimana sudah menanti sahabatnya Ega dan Dipta. "Kan gue bilang apa tadi. Lo ikut kita kemari, bandel sih. Sok-sokan pake pulang ke rumah." Ega menggeleng melihat Danil masih memakai baju seragam sekolah. Ia memang mengajak Danil dan Dipta untuk kumpul di sini, sambil menonton aksi balapan liar. Apakah mereka ikut balapan? Tentu tidak. Ega dan Dipta hanya ikut nongkrong di tempat itu. Sementara Danil yang sering didorong untuk ikut balapan liar pun memilih ikutan nongkrong. Bukan apa, Danil terlalu menyayangi Mamanya. Melihat air mata sang Bunda adalah satu hal yang Danil jauhi. Jadi ia tak akan membiarkan Mamanya menangis hanya karena melihatnya terluka karena tabrakan. Mungkin lebay, tapi itulah. Rasa cinta Danil pada sang Mama melebihi kedua saudarinya. Jadi ia sering kali di cap anak Mama oleh kedua saudarinya. Dan ia tak peduli. Danil meneguk kopi milik Ega. "Weh, main serobot aja. Pesan sana." Ega berteriak tidak suka. "Bu, kopi satu. Biasa kopi s**u ya." Danil berteriak pada pemilik warung. "Siap Mas, sebentar ya." "Lah kopi s**u, punya gue kopi item lo embat juga." "Kalau gratisan apa juga gue suka." "Lo darimana sih Nil. Katanya pulang ke rumah, ini masih keluyuran." Dipta sejak tadi menatap Danil heran. Biasanya Danil kalau bilang pulang ya pulang, jarang mau keluar lagi dengan seragam sekolah. Ini saat Dipta mengatakan ia bersama Ega di markas, Danil tak lama datang masih dengan pakaian yang sama. "Gue dari rumah sakit." Danil menerima kopi dari kang warung. "Siapa yang sakit?" Dipta menyeruput kopinya juga. "Delia mau bunuh diri." "Ah, sial!!!" Kopi yang di mulut Dipta tersembur keluar dan mengenai wajah Ega. "Sorry-sorry." Dipta segera meraih tisu dan mengelap wajah Ega. "Nil, lo becanda kira-kira dong," protes Dipta tak suka. Menganggap Danil hanya mengerjainya saja. "Gue gak bercanda, Delia memang berniat bunuh diri tadi." Gerakan Dipta terhenti. "Ke-kenapa?" "Kemarin gue putusin dia." Kini bukan hanya Dipta yang tersentak, tapi Ega juga. "Lo dapat cewek lagi?" tanya Ega yang heran dengan sikap Danil. Pasalnya baik Ega ataupun Dipta tahu bagaimana Delia memuja Danil. Bukan hanya Delia, sosok Danil yang memiliki wajah rupawan mampu membuat mata kaum hawa tak keberatan menjadi kekasihnya. "Kagak, gue males punya cewek. Banyak aturan. Cukup nyokap aja yang atur-atur gue." Danil menyeruput kopinya. Ega terikikik. "Sini oper gue ketampanan lo. Gak usah banyak-banyak, cukup sembilan puluh persen." "Terus si Danil mau lo sisain apa sepuluh persen doang? Gigi?" Mereka tergelak bersamaan. Tengah mereka minum dan berbincang, terdengar suara sirine polisi. "Sialll!" Serentak mereka bertiga bangkit. Daerah ini adalah kawasan balap liar. Tapi baru kali ini mendapat kunjungan pihak yang berwajib. Entah siapa yang membocorkan tempat ini. Dipta dan Egi langsung beranjak ke motor masing-masing. "Danil! Cepetan!" teriak Ega saat melihat temannya masih celingukan di meja. Ah, dapat. Danil meraih kunci motornya yang terjatuh di lantai. Bergegas ia ke arah motornya. Ega dan Dipta yang melihat Danil mulai menstarter motor, segera beranjak pergi. Keringat di kening Danil semakin bercucuran, kala motor miliknya tak juga mau menyala. "Ayolah!" gerutunya kesal. Ia bahkan sudah tertinggal jauh oleh kedua sahabatnya. "Jangan bergerak!" Lutut Danil seakan lemas, ketika satu orang petugas abdi negara menodongkan pistol di depan tubuh nya. Ah, Siallllll!!!!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD