One

2108 Words
Pria berpakaian jubah putih itu berjalan tegap menuju ruangan yang diberi nama ruang pemeriksaan. Wajahnya tak luput dari senyum yang sudah terbukti memikat setiap orang yang melihatnya. Dari papan nama yang terpasang di baju pria itu dapat diketahui namanya : dr. Satria Saputra. Ia mengangguk sopan pada deretan antrian pasien yang sudah menunggunya berjam-jam. Dan dari sekian antrian pasien, ada satu pasien yang sedikit menarik perhatiannya. Yah, hanya sedikit tentu saja. Gadis berpakaian kaos oblong bergambar Doraemon dan celana training dengan rambut dicepol asal. Sedang telinganya terpasang earphone sambil mengangguk-ngangguk. Di samping gadis itu duduk wanita 50 tahunan yang tak bisa menyembunyikan raut khawatirnya. Sebenarnya yang sakit yang mana? Satria kembali larut dalam kesibukannya memeriksa puluhan pasien yang sudah mengantri. Sampai pada antrian ke 50, seorang wanita yang sempat menarik perhatiannya masuk ruang pemeriksaan. Kalau Satria tidak salah lihat, wanita ini tadi datang berdua dengan gadis berkaos Doraemon, kan? Terlepas dari semua itu, Satria tetap tersenyum ramah dan menyambut pasiennya. "Sakit apa, Bu?" Wanita itu sedikit gelisah. "Mohon maaf sekali sebelumnya dok, sebetulnya yang sakit bukan saya." Kening Satria berkerut sesaat, setelah itu tetap memasang wajah ramah. "O ya? Lalu siapa yang sakit, bu?" Wanita itu menghela nafas. "Itu dia, dok. Sebenarnya yang sakit putri saya. Tadi sempat mau kemari, tapi karena lama, dia bilang mau cari makan dulu, eh tahunya malah gak kembali. Maaf sekali, dok." "Oh begitu rupanya. Terus ibu mau bagaimana?" "Gimana kalo saya ceritakan keluhan anak saya aja, dok. Nanti biar anak saya dapat resepnya aja. Bisa kan, dok?" Satria awalnya diam. Tapi melihat raut khawatir wanita itu, akhirnya ia mengangguk setuju. Well, kekhawatiran seorang ibu pada putrinya memang tak bisa ia tolak. "Dok, kalau sekali-kali saya butuh, bisa tidak kalau datang ke rumah saya? Putri semata wayang saya itu susah sekali diajak ke dokter kalau lagi sakit." "Ah, begitu ya? Insya Allah kalau saya ada waktu bu, nanti saya sempatkan." "Aduh, makasih banyak lho, dok. Ini alamat rumah saya kalau sekali-kali saya mau berobat." Wanita itu menyodorkan kartu nama pada Satria. Dan tentu saja meski Satria belum tentu memenuhi keinginan wanita ini, sebagai rasa hormat ia tak mungkin menolak bukan? Satria menyimpan kartu nama itu dalam laci meja kerjanya. *** "Vi, lo yakin ikut sama kita?" Vivian dan ketiga temannya sedang berkumpul di kafe sekitar kampus. Yah, mereka anak tingkat satu yang baru masuk. Dan sialnya, hari pertama masuk Vivian diwarnai dengan hebohnya Mami nyuruh ke dokter, hanya gara-gara dia bersin-bersin. Padahal bukan hal baru jika ia alergi cuaca dingin. Tapi, ya begitulah Mami. Alhasil ia kabur sebelum masuk ke ruang pemeriksaan. "Yes, gue yakin banget, emang kenapa sih? Lo pada kayak gak seneng kalo gue ikut?" Andre, Topan dan Bora meringis. Yang benar saja, anak Mami penurut ini mau ikut mereka? Kalo Tante Yuli tahu, bisa dicincang habis mereka bertiga. Membawa putri semata wayangnya kelayaban ke dunia malam. Bora mendekati Vivian, ia menggigit bibir bawahnya. "Gini lho, Vi. Bukannya kita gak seneng lo ikut. Cuma tempat ini tuh bukan taman hiburan di pasar malam yang biasa lo kunjungi sama nyokap lo." Vivian mengangguk mantap. "Gue tahu. Ini yang namanya dunia dewasa kan? Gue udah yakin, Ra. Lagian gue udah bosen tiap hari diledekin anak Mami sama orang-orang. Gue mau tahu, kayak gimana dunia dewasa yang mereka maksud biar gue buktikan sama mereka kalo gue bukan anak kecil." Andre menggaruk kepalanya yang tak gatal. Duh, nih bocah ngeyel banget ya? "Oke, lo boleh ikut. Tapi minta ijin sama Mami lo dulu, gue gak mau lo kenapa-napa." "Ah lo, Dre. Kayak gak tahu Mami aja, lo pasti udah tahu jawabannya, kan?" "So, jangan ngelawan orang tua, Vi. Lo masih... um... apa ya?" Topan tidak melanjutkan kata-katanya. Ia berhenti saat melihat mata Bora yang melotot ke arahnya. Bora memang sangat dekat dengan Vivian. Bahkan gadis itu sangat menyayangi Vivian bagai adiknya sendiri. Dan hal gila yang terjadi sekarang adalah, Vivian ingin ikut ke club malam dengan mereka! Membayangkan Vivian menyaksikan adegan dewasa dan orang mabuk membuatnya khawatir. Ia takut Vivian terbawa arus dan terpengaruh. Bora akui kalo dirinya tak sebening Vivian. Bahkan kegadisannya saja sudah ia berikan saat pacaran SMA dulu. Beda dengan Vivian. Meski anaknya gampang bergaul dengan siapa pun, tapi gadis itu masih disegel. Belum lagi penjagaan ketat dari Tante Yuli. Kalo Vivian pacaran, maka ngedate gaya Vivian adalah jalan-jalan atau nonton bioskop bertiga. Yap, Tante Yuli pasti ikut kemana pun pacar Vivian mengajak putrinya. Bora menarik nafas panjang. "Vi, gue tahu lo kesel sama orang-orang yang ledekin lo. Tapi percaya deh sama gue, orang yang ledekin lo itu sebenarnya iri sama lo." "Maksud lo?" Sebelum Bora melanjutkan ucapannya, ia melirik Topan dan Andre memberi isyarat agar kedua pria itu diam dan tak ikut bicara. "Ya, mereka sebenarnya iri sama lo yang masih bisa menjaga diri sampai sekarang. Mereka nyesel, Vi." "Nyesel?" "Yes, mereka nyesel udah terlanjur jadi anak nakal atas nama keren." Vivian makin tak mengerti. Sungguh, ia tak tahu kemana arah pembicaraan Bora. Yang ia tahu, ia hanya penasaran tentang dunia malam yang kata orang-orang sangat menyenangkan dan disebut sebagai surga dunia. "Ra, gue cuma ingin ikut, ya? Please! Sekali aja, kok. Urusan Mami biar gue yang nanganin, lo semua gak akan terlibat. Ya?" "Gak boleh, Vivian." "Lo kok jahat sih sama gue?!" "Gue cuma khawatir sama lo." "Pokoknya gue mau pergi ke club. Dengan atau tanpa lo bertiga." Bora menghembuskan nafasnya. Ia melirik Topan, lalu Andre. Kedua sahabatnya itu hanya mengangkat bahu. "Oke, baiklah. Lo boleh ikut bareng kita. Tapi ingat, lo ijin Mami dulu. Terus jangan berjalan sendirian saat di club nanti, Ok?" Vivian mengangkat dua jempolnya. "Siap, bos!" *** Vivian melihat jam dinding di kamarnya. 08.00 p.m. berkali-kali ia melihat handphonenya. Bora kemana sih? Katanya janji mau jemput. "Vi, udah tidur belum sayang?" Mami! "Belum, Mi." Hati Vivian dagdigdug tidak keruan. Oke, tenang. Ini kedua kalinya ia berbohong sama Mami. Vivian mengikuti gerakan Mami yang berjalan masuk dan ikut duduk bersamanya di atas ranjang. Mami melihat penampilan Vivian yang rapi. Kening Mami berkerut, gak biasanya. Padahal saat jam segini Vivian pasti sudah memakai baju tidur Doraemon kesayangannya. "Lho, anak Mami mau kemana?" Vivian menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. "Mi, gimana ya, Vivian bingung mau ngomong apa dulu." "Kenapa? Dan mau kemana? Gak biasanya kamu rapi jam segini?" Vivian menggigit bibirnya. "Gini Mi, Vivian diundang buat dateng ke acara temen Vivian yang ulang tahun. Boleh ya?" Mami diam. Sumpah, ini lebih mendebarkan dari sekedar gak ngerjain tugas Pak Broto guru matematika SMA-nya yang super killer itu. "Apa harus malem-malem kayak gini? Bisa gak kamu dateng besok aja ke rumahnya sama Mami?" "Gak bisa, Mi. Ntar aku dibilang anak TK lagi! Apa-apa dianterin Mami, kan malu." "Sayang, ini demi kebaikan kamu. Kamu adalah harta satu-satunya yang Mami miliki. Kamu sayang Mami kan?" "Tentu, Mi. Aku sayang banget sama Mami. Tapi aku kan udah gede, Mi. Aku udah kuliah sekarang. Dan aku pengen bergabung sama temen-temen aku. Boleh ya, Mi? Aku janji akan jaga diri dengan baik." Mami memejamkan mata lalu menghela nafas. "Apa perginya lama?" Mata Vivian langsung bersemangat. Lampu hijau nih! Ia menggeleng cepat. "Gak, Mi. Cuman bentar, kok." "Oke, jam 9." "Apa? Kecepetan, Mi. Masa jam 9 sih?" "Jam 9 kamu pulang." "Jam 11 ya, Mi?" "Jam 9 pokoknya harus udah di rumah." "Mami sayang, kalo jam 9 berarti baru nyampe kesana, aku udah harus balik lagi, kan gak enak sama temen aku." "Oke, jam 10 atau jangan pergi." Vivian akhirnya mengalah. Lumayanlah, daripada gak dikasih ijin. Vivian memeluk Maminya erat. Maaf ya, Mi. Aku ngibul dikit. "Aku sayang Mami." "Love you too." Handphone Vivian berbunyi. "Temen aku udah jemput, Mi." Vivian bergegas dan sedikit merapikan bajunya. "Lho, gak diantar sama Mang Sukri?" "Aku dijemput, Mi." Sahut Vivian sambil memakai jam tangannya dan mengambil tas selendang miliknya. "Pria atau wanita?" "Wanita, Mi." "Tapi dia normal kan?" "Ya ampun, Mi. Temen aku masih doyan cowok lah, Mi." Dari luar terdengar teriakan Bi Onah. "Ada tamu, Nya!" Mami bangkit dan memeluk Vivian dengan erat seakan malam ini adalah malam perpisahan mereka. "Udah, Mi. Itu pasti Bora, aku berangkat dulu ya?" "Eh bentar deh, ada yang mau Mami omongin sama temen kamu itu." Duh, Mami lebaynya kumat deh! Vivian hanya mengangguk pasrah. Ia sudah tahu apa yang akan dilakukan Maminya. Mereka berjalan beriringan menuju depan rumah. Nampak gadis berjaket kulit hitam tengah duduk menunggunya. "Jadi perginya sama Bora, ya?" "Iya Tante. Kita pamit dulu." "Eh, sebentar, Bora Tante titip Vivian ya? Kalo bisa jangan biarin dia sendiri." "Pasti Tante. Saya akan jagain Vivian semampu saya." Mami memeluk Vivian sekali lagi. Vivian sebenarnya sangat merasa bersalah, tapi mau gimana lagi, dirinya sangat penasaran dengan dunia dewasa yang sering dilontarkan Susi-temannya yang sering ngejek- itu. Benarkah bahwa yang dikatakan Susi bahwa klub malam merupakan surga dunianya para remaja? Well, mari kita lihat! *** Manusia-manusia penghuni ruangan itu makin menggila kala sang DJ mengganti musik yang makin menggelegar. Beberapa malah sudah nampak terhuyung sambil tertawa cekikikan. Di sudut ruangan, Vivian menatap gelas kosong di depannya. Ia menatap sekeliling. Hm, jadi ini dunia malam itu? Surga dunia para remaja? Kepala Vivian menggeleng berkali-kali. Kenapa wajah orang-orang jadi lucu? "Hahaha... kalian sungguh lucu, yeah, lu-cu! Hahaha.. owh, ya Tuhan, apa kaki gue melayang? Ah ya, gue tahu, ini surga dunia! Melayang! Gue melayang!" Vivian berjalan sempoyongan. Ia mencari jalan keluar sambil meracau gak jelas. Kepalanya benar-benar terasa berat. Pikirannya sekarang hanya rumah. Yah, janji pulang cepat kan? Antara sadar dan tidak, Vivian melihat mantan pacarnya dulu saat SMA. Vino. Pria itu menghampiri Vivian yang sudah mabuk itu. "Hai, Vi! Gue gak nyangka lo punya nyali juga buat dateng ke tempat ini. Mana Mami lo? Udah gak dikawal lagi nih?" Vivian menggeleng-gelengkan kepalanya yang terasa berat. "Hai, Vin! Lo... lihat gue sekarang hah?! Gue... bukan anak Mami seperti yang lo bilang! Gue udah dewasa, well, gue udah main kesini, kan? Hah, napa wajah lo jadi membesar? Wow, bukan! Agak gepeng dikit, hahaha.. Mami... aku pulang!" Vivian terus meracau. Vino hanya geleng-geleng kepala. Gadis itu benar-benar mabuk! Vino menyeringai. Ide gila muncul di otaknya. Sebenarnya Vivian sangat menggemaskan. Hanya saja, dulu saat ia pacaran dengan gadis ini, sang mami sungguh terlalu protektif. Bayangkan saja, selama 2 tahun pacaran, belum pernah ia berhasil menyentuh Vivian! Jangankan bisa ena-ena, hanya ciuman saja gak pernah! Bah, pacaran macam apa itu! Dan lahan empuk berada di depan matanya sekarang. Gadis itu mabuk kan? Vino menyentuh bahu Vivian yang mulai oleng. "Vi, lo bilang lo udah gak cupu lagi?" Vivian tertawa sambil menunjuk hidung Vino. "Yeah, gue udah keren sekarang! Hahaha... keren, ya keren!" "Oke, buktikan Vivian sayang! Ayo bangun, dan kiss me!" Vivian mengerjap lalu tertawa. "Just kiss? Why not? Sini kalau mau, gue gak takut!" Vino tersenyum penuh kemenangan. Pipi Vivian memerah. Membuat gadis itu semakin menarik. Vivian mulai mendekat dan berjinjit. "Bagus sayang, ayo cium gue!" Bugh!!! Sebelum bibir mereka bertemu, seseorang berhasil melayangkan bogem mentahnya ke wajah Vino. "b*****t! Ngapain lo ganggu gadis ini?!" Vino terhuyung. Ia mengelap bibirnya yang terasa asin akibat darah yang keluar. "Oh, jadi lo cowoknya sekarang Topan?" "Apapun itu, yang jelas gue gak suka lo deket-deket sama Vivian! Faham lo?!" Vino menatap sinis ke arah Topan. "b******n! Apa hak lo larang gue?! Gadis itu yang menginginkan gue sialan!" Keributan tak dapat dihindari lagi. Terdengar bak-buk dan teriakan, sampai keamanan datang dan melerai mereka. Saat ribut itulah, tak ada yang menyadari kalau Vivian yang mabuk berat itu berhasil keluar ruangan. Ia berjalan sempoyongan sendirian. "Toilet! Perut gue mual! Mana toilet?!" Vivian berjalan dan hendak masuk ke salah satu toilet sebuah mesjid di pinggir jalan. "Huekk!!!" Vivian memuntahkan semua isi perutnya sebelum ia benar-benar sampai. Ia tak sadar bahwa muntahannya mengenai seseorang yang juga menuju toilet itu. "Hei, kau! Ish, menjijikkan sekali!" Satria segera mengambil tisu dan membersihkan kotoran muntah yang mengenai kemejanya. "Ma-maaf, gue pusing, huekk!!" "Hei, kau kenapa?" Vivian ambruk di depan Satria. Tergeletak mengenaskan di atas lantai depan toilet pria. "Siapa gadis ini? Sepertinya aku pernah melihatnya." Satria sebenarnya bukan tidak mau menolong. Hanya saja, ini sudah malam. Mana mungkin ia membawa gadis ke rumahnya, kan? Jangan bercanda! Apa kata orang nanti? Satria baru saja melangkahkan kaki untuk pergi meninggalkan gadis mabuk itu, namun seseorang menegurnya. Pria tua yang mungkin penjaga mesjid ini. "Maaf, Bung! Sebaiknya Anda tanggung jawab! Jangan membuang pacar Anda di sini! Tidak tahu malu! Pulang pacaran malah meninggalkan gadisnya di toilet masjid!" "Apa?! Bu-bukan saya, Pak. Saya tidak..." Ucapan Satria terpotong saat Bapak tua itu melihat bajunya yang terkena muntahan Vivian. Jelas, seberapa banyak pun ia menjelaskan, bapak tua itu pasti tidak akan percaya. Merepotkan sekali! Akhirnya Satria mengalah dan membopong Vivian yang tak sadarkan diri, lalu merebahkan Vivian ke dalam mobilnya. "Apa yang harus kulakukan padamu?" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD