Two

1174 Words
Satria menatap bingung ke arah gadis yang tertidur pulas di mobilnya. Apa dia bawa pulang saja? Tapi, malam ini ia janji akan pulang ke rumah Maminya. Apa yang akan dikatakan Mami kalau tahu dirinya membawa gadis asing dalam keadaan bau alkohol seperti ini? Aish, menyusahkan saja. Satria lalu menghubungi temannya mungkin bisa sedikit membantu. Tapi ia lalu urungkan. Ia tidak bisa menjamin kalau Yoga sahabatnya itu bisa mengembalikan gadis ini dengan utuh. Yah, Yoga memang sebadung itu. Baiklah, akhirnya ia berubah pikiran. "Hallo, Mi?" "Hallo, kamu masih di mana, Satria? Mami sama Papi nungguin kamu lho dari tadi." "Ah, itu, Mi. Ada sesuatu yang harus Satria selesaikan. Jadi, maaf banget, Mi. Satria gak jadi pulang ke rumah hari ini." "Oh gitu toh? Kenapa gak ngasih tahu dari awal? Kasihan lho Papi kamu bela-belain pulang awal dari rumah sakit biar bisa makan bareng sama putranya yang udah jadi Bang Toyib." Duh, jadi gak enak hati begini. Tapi mau bagaimana lagi, Satria tidak bisa membayangkan kagetnya Mami sama Papi kalau dia yang terkenal hidupnya lurus sesuai aturan, tak pernah main club apalagi perempuan, lalu tiba- tiba saja membawa seorang gadis belia dalam keadaan pingsan begini. Mana bau alkohol lagi. Satria melajukan mobilnya menuju rumahnya sendiri. Yah, Satria memang belum menikah. Tapi dia sudah hidup reprisal dari orang tuanya sejak kuliah. Dan tentu saja dengan professing sekarang yang berhasil menjadi seorang dokter dan berhasil mendirikan beberapa apotek miliknya, Satria mampu membeli rumah mewah di kawasan ibukota ini. Saat ia membunyikan klakson, Mang Jaja dengan sigap membukakan pintu gerbang untuk majikannya. "Bisa bantu saya, Mang?" "Tolong angkat gadis ini ke kamar tamu." Mang Jaja melongo melihat majikannya membawa pulang seorang gadis. Mana masih muda lagi! Apa gadis ini pacarnya Tuan ya? "Maaf, Tuan. Tapi kamar tamu ada yang ngisi." "Lho, siapa yang datang?" "Tuan Kevin tadi siang datang kemari." "Oh, ya udah. Bawa ke kamar saya saja." "Baik, Tuan." Meski dengan sejuta pertanyaan di hatinya, Mang Jaja membopong tubuh Vivian ke kamar Satria. "Makasih, Mang." Mang Jaja hendak berbalik. Satria menatap punggung Mang Jaja. "Tunggu, Mang!" "Iya, Tuan?" "Mengenai gadis ini, aku harap Mang Jaja jangan beritahu Mami sama Papi." "Oh, siap Tuan! Kalau Tuan Kevin tahu bagaimana?" "Kevin biar nanti aku yang beritahu." "Baik, Tuan." Mang Jaja menghilang dibalik pintu kamarnya. Satria menatap Vivian yang masih terlelap. "Memangnya seberapa banyak gadis ini minum? Sampai tak sadarkan diri seperti ini?" Satria menggelengkan kepalanya dan and bergegas pergi ke kamar mandi. Sampai ia berpakaian rapi, gadis itu belum juga bangun. Satria mengecek suhu badan Vivian. Normal, denyut nadi pun normal. Gadis ini hanya tertidur. Satria dengan terpaksa tidur di sofa kamarnya. Apa boleh buat, ranjangnya sudah diisi oleh tamu tak diundang itu. *** Vivian Pov : Kepalaku berat sekali. Aku menggeliat pelan lalu membuka kedua mataku. Dan berteriak kaget. "AAA....!!!" Sumpah, aku kaget! Bagaimana bisa aku ada di kamar asing ini? Dan seseorang nampak menghampiriku. Pria dengan tubuh tegap, berkulit putih cerah, berhidung mancung, bibir kemerahan dengan bagian bibir bawahnya sedikit lebih tebal dari bibir atas, lalu alis yang tebal pula dengan mata yang tajam, satu kata untuk pria ini, tampan. Tapi siapa dia? Jangan-jangan aku diculik buat usaha prostitusi yang mengerikan itu?! Oh tidak! "Sudah bangun rupanya. Kenapa berteriak? Kamu membuat telinga saya sakit." "Si-siapa kau? Ke-kenapa aku ada di sini? Apa kau penculik?" Aku menarik selimut menutupi setengah wajahku. Mami, tolong aku! Aku takut! Apa aku akan berakhir sekarang?! "Saya bukan penculik. Justru saya yang bertanya, siapa kamu? Kalau sudah sadar, kamu pasti tahu jalan pulang kan?" "La-lalu, bagaimana aku bisa ada di sini?" "Kamu pingsan di depan masjid saat sedang mabuk berat. Kebetulan saya lewat, dan parahnya lagi pengurus masjid di sana mengira saya pasangan kamu yang gak mau bertanggungjawab. Jadi, terpaksa saya bawa kamu. Daripada nama baik saya rusak." Benarkah seperti itu? "Aku tidak ingat apapun. Apa kau mencoba berbohong padaku?" Aku harus waspada tentu saja. Bisa saja kan, pria tampan ini berbohong padaku? Ia menghela nafas. "Baiklah, terserah kalau kamu gak percaya. Ada nomor yang bisa dihubungi?" "Handphone-ku sepertinya hilang. Jangan-jangan kau juga mencuri Handphone-ku, iya kan?" "Konyol sekali. Saya menolong seorang gadis pemabuk, tapi malah dituduh penculik dan pencuri." Pria itu bangkit dan hendak keluar. Apa dia akan mengurungku di kamar seperti di film-film? Gawat! Aku harus mencegahnya! "Tunggu, kau mau kemana? Aku ikut!" Pria itu hanya menggelengkan kepalanya. Lalu berjalan di depanku. "Lho, Vivian? Ngapain lo di sini pagi buta begini?!" Suara lain mengagetkanku. Tentu saja, karena aku sangat tahu suara siapa itu. "Kevin? Lo ngapain di sini?" Pria yang katanya menolongku itu menatap kami bergantian. Keningnya berkerut berlipat-lipat. Tapi sayangnya, tidak mengurangi ketampanan pria itu sedikitpun. "Kalian saling kenal?" "Yang benar saja! Bukan hanya saling kenal, kami teman dekat, Vivian ini sahabatku sejak SMP, Kak." Aku melongo. Ha? Kakak? "Jadi, kamu sama kevin itu... saudara?!" "Yes, benar banget, Vi. Kak Satria ini adalah kakak gue satu-satunya. Tapi bentar deh, kok lo ada di sini?" Telunjukku mengarah ke wajah tampan yang namanya Satria, lalu berpindah ke wajah Kevin. "Kok gak mirip, ya?" Kevin mengangkat bahu cuek. "Emang, gue lebih keren kan? Kalo lo mau tahu, kakak gue ini cupu banget, masalah pacar aja dijodohkan sama Mami." Aku melihat Satria mendengus sebal. Ih kok malah makin ganteng sih? "Kevin! Harus ya kamu bahas masalah gituan sama orang asing?" Well, aku memang orang asing di sini kan? Tepatnya buat Satria. "Emang iya, kok. Kakak gak pernah punya keinginan atau melawan gitu, nurut aja sama Mami meski gak suka sekalipun." "Stop, Kevin!" Wah, bisa marah juga ya dia? Seganteng apapun kalo orang marah tetep aja serem! Lebih serem dari pelototan Mami kayaknya! "Oke, sorry, aku kebanyakan ngomong. Vi berhubung lo udah di sini, terlepas dari penasaran gue yang segede gunung, kita makan aja dulu yuk, Bi Surti udah nyiapin sarapan buat kita deh kayaknya." Aku mengangguk antusias. Tentu saja, karena jujur dari bangun tidur perutku udah keroncongan teriak minta isi. Kami makan bertiga. Sebenarnya aku masih gelisah. Sejak semalam, aku belum bisa menghubungi Mami. Mana HP-ku hilang lagi! Malah terdampar di rumah orang kayak begini. Sedangkan Kevin yang mulutnya gak bisa diem itu terus menginterogasi Satria perihal keberadaanku di sini. Dan alhasil, setelah ia tahu, ia menatapku tak percaya. "Lo mabuk, Vi?!" Aku hanya meringis. "Ya, gue kira efeknya gak separah itu. Eh, tahunya mabuk itu cukup mengerikan juga ya?" "Ada angin darimana sih lo, pake pengen nyoba kayak gituan segala! Bisa bahaya buat lo tahu gak? Untung aja yang nemuin lo itu Kakak gue, coba kalo orang jahat?" "Iya sih, makasih ya, emm... Kak Satria?" Suaraku hampir tenggelam kayaknya. Malu setengah mati! "Udah sadar rupanya, saya bukan pencuri apalagi penculik." "Iya, maaf..." Satria menyudahi sarapannya. Dan tanpa menoleh sedikitpun ke arahku, dia lalu pamit pada Kevin. "Karena kamu kenal gadis ini, Kakak percayakan dia sama kamu. Antarkan ke orang tuanya, bilang sama orang tuanya lain kali jangan kasih ijin anak gadisnya untuk mabuk lagi. Merepotkan saja." "Siap, Kak! Vi, lo pulang bareng gue ya?" Aku hanya mengangguk. Duh, mati aku! Gimana jelasin semuanya ke Mami ya? Bisa habis diceramahin berhari-hari nih, kalo gini ceritanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD