7

1380 Words
Teori cinta yang sesungguhnya itu bagaimana? “Kamu ngerasa nggak, sih, kalo lagi nikahin orang gila?” Itu Barella yang bertanya. Maka Sagi menjawab, “lingkupnya gimana? Menurut kamu aku cukup gila nggak dengan menikahi perempuan yang bikin aku gila?” Sejak dulu, tanya bagi Sagitarius Yudantha akan berakhir dengan pertanyaan lainnya. Keduanya sedang berkutat dengan dapur. Sagi yang memasak omelet, sosis goreng dan roti panggang—tercium dari baunya lezat—yang entah seperti apa hasil akhirnya. Eksistensi keduanya jelas menggeser Ratu dapur yang sudah di percayakan untuk mengurusi t***k bengek rumah tangga keduanya, adalah Bi Inah. Terpaksa Bi Inah mangkir. Wanita paruh baya itu meminta pekerja yang lain beralih fungsi ke tempat yang lain. Ruang tamu, ruang tengah, kolam renang serta yang berjauhan dengan dapur. Pasalnya, Bi Inah hapal tabiat Bagindanya yang tidak suka diganggu jika bersama Permaisuri. “Bahasa Indonesia kamu nilai berapa?” Barella bertanya tapi hasilnya terdengar layaknya celotehan. Lantas Sagi membusungkan dadanya dengan sebelah mata berkedip. Merinding disko coi, itu yang Barella desirkan. “Jangan ditanya soal itu. Kanjeng sangat tau berapa angkanya.” Alah wes lah. Nyingkir saja. Barella hengkang dari sana menuju kamar. Duduk termenung di pinggir ranjang bertopang dagu. Beberapa hari ini pikirannya berkecamuk. Berbagai hal menghampiri memaksanya menjadi seorang pemikir berat. Yang pertama, ingin mengabaikan dampak kehadiran Sagi di hidupnya. Setelah lama berpisah, menorehkan luka dan bersyukur saja karena kelegaan membuatnya terlepas dari kungkungan keluarganya. Tapi, tidakkah itu terkesan jahat? Seakan-akan Barella memanfaatkan Sagi untuk kondisinya yang tidak baik-baik saja. Kedua, di masa lalu Barella belum berdamai. Sehingga memunculkan kenangan buruk yang hingga saat ini belum ingin dirinya kuak. Lalu terngiang penuturan seseorang bahwa; ‘Aku siap menjadi apapun itu. Yang kamu ingini atau sekedar kamu singgahi sementara’. Barella mengerang. Memegang kepalanya yang mendadak berkunang-kunang. Nyatanya, pengaruh Sagi amatlah dahsyat. Mengombang-ambingkan seluruh egois yang telah dibangunnya sejauh ini. Meluluhlantakan tembok pertahanan yang susah payah dirinya bangun pun dengan lancangnya Sagi menguak luka lama yang mendominan kisahnya. Jadi, apa yang bisa Barella lakukan? Sempat terpikir untuk melawan. Berdamai dengan kesakitannya. Tapi, apakah bisa? Sedang semuanya menjadi boomerang bagi dirinya? Tidak baik-baik menjadi garis bawah keras untuk Barella. Ia tidak setenang kelihatannya. Tidak setegar aslinya. Tidak seberani penampilannya. Barella Yudhistira seorang perempuan, benar? Putri kedua—yang selama dua lima tahun ini teryakini sebagai anak sulung—yang mencoba menerima keadaan. Keadaan di mana posisinya tergeser. Posisi di mana kehadirannya tidak lebih penting ketika di butuhkan. Tidak baik-baik saja karena menyimpan racun untuk hidupnya sendiri dan siap menebarnya jika waktunya telah tiba. Sayangnya, tidak semua perasaan yang sedang Barella pikul terbilang aman. Ada Sagitarius Yudantha—lelaki slengekan yang hadir mengocar-acirkan tatanan hidupnya. Lelaki periang yang siap menjadi apapun untuk perempuan tercintanya dan berjuang mati-matian. Tidak ternotice oleh Barella sekali maka Sagi berusaha lebih keras untuk mendapat kepercayaan itu. Sagi tahu, yang Barella butuhkan bukan psikiater. Yang Barella butuhkan bukan pertanyaan ‘baik-baik saja’ sedang kondisinya mengatakan tidak demikian. Perempuan itu sangat lemah dan rapuh. Perempuan itu sangat ringkih sehingga Sagi memperlakukannya dengan penuh kehatian. Yang Barella butuhkan hanyalah kehadiran seseorang yang siap menjadi topangan hidupnya. Bahu seseorang untuknya bersandar. d**a bidang untuk mendekap luka serta menyimpan air matanya. Dan Sagitarius lebih dari siap untuk itu semua. Delapan tahun menghilang. Delapan tahun memperhatikan. Apa Sagitarius baik-baik saja selama kurun tersebut? Tidak! Sagitarius sama cacatnya dengan Barella. Sayapnya patah. Cintanya terpenggal oleh restu dan kekayaan. Sayapnya patah. Membuatnya susah terbang dengan kebebasan. Udaranya terenggut. Menahan gejolak sakit di dadanya. Delapan tahun sia-sia. Dan semuanya kembali seperti semula dengan kecacatan yang telah cidera. “Aku nggak tanya apa kamu baik-baik aja. Tapi aku siap kamu gantungkan harapan di masa depan.” Sagi mendekap Barella. Tubuh perempuan itu bergetar hebat. Keringat dingin mengucur. Selalu begini jika ingatan masa lalu mengoyak otaknya. Perempuan itu akan tremor—sebentar lagi—jika Sagi tidak cepat-cepat datang. “Kita hadapi sama-sama.” Tangannya menepuk punggung Barella pelan. “Aku nggak mau jadi pecundang lagi. Yang ninggalin kamu demi kesuksesan.” *** “Selera humor gue mau pecah lihat akun gosip yang bilang maungnya Pak Sagi itu anak ingusan aka kuliahan. Gila nggak tuh mainnya sama yang muda.” Perihal pawang Sagi terus berlanjut. Kantor kian memanas lantaran berkurangnya satu populasi orang ganteng yang jomblo. “Alah, t***k kecil body bukan mama muda juga di pilih. Pak Sagi rabun ayam gue rasa.” Nyinyiran si penanggap normal saja. Terkesan lucu tapi sadis. Mulutnya mesti disaring. Belum aja di colok. Bakal nangis meraung-raung. “Lu ngapa bawa-bawa t***k, btw.” Si biang pertama mendadak sadar. Setelah fokusnya terbagi dengan selancar di sosmed yang mengulik berita. “Yeah. Punya gue lebih sedap buat di kenyot.” Percaya dirinya sungguh patut diacungi jempol. Segerombolan para penggosip yang melingkar di salah satu meja bergumam setuju. Enggan menanggapi lebih tepatnya. “Woah, keren. Dia asli kece.” Semakin rapat saja barisannya. Kepala menunduk dengan warna berbeda itu mengoceh sepanjang jari berselancar. “Eh, kenapa cuma dari samping lu hebohin?! Bangsul!” teriak satu diantara kerumunan. Wajahnya menunjukan ekspresi misuh-misuh yang tercetak jelas. “Biasa saja dong jangan ngegas.” Seterusnya seperti itu sampai bahan gosipan mereka hadir ditengah-tengah. Adu mulut tetap berlanjut. “Mereka—karyawan kamu maksudnya—asli heboh kayak gini?” Suara Barella teredam teriakan. Sesekali tubuhnya berjengit ke samping sehingga sadar tidak sadar akan memeluk lengan Sagi. “Terlalu bersemangat.” Sagi makin mepet dan merengkuh pinggang Barella tanpa si empunya sadar. “Percuma banget kamu pekerjakan cuma buat ngegosip doang. Papi serius?” Agaknya lengkingan Barella di pengucapan papi sangatlah kencang. Kerumunan yang awalnya macam pasar loakan mendadak senyap. Mata-mata yang melotot, melebar, memperhatikan dengan mulut terbuka, menganga lebar terkesiap. Decakan kagum terdengar setelahnya. “Asli cantik parah.” Si biang kerok mencetus tanpa tedeng aling-aling. “Gue shipper mereka.” Begitu saja dan kehebohan kembali terjadi. “Yuk, masuk Mami.” *** Kalau sudah cinta mau bagaimana? “Aku mau mereka di pecat. Di ganti sama yang lebih kompeten.” “Oke.” Permintaan Barella disanggupi Sagi. Curiganya, tidak ada bantahan di sana sehingga Barella memicing penuh keawasan. “Iya sayang aku pecat mereka ganti yang lebih baik lagi.” Sagi meniru. Surat-surat pemecatan cepat-cepat dirinya buat dan mengirimnya ke email Dante. “Selesai,” teriaknya girang. Maka tidak ada alasan bagi Sagitarius Yudantha menolak permintaan istrinya. Karena hatinya telah di perbudak oleh cinta—bedakan konteksnya sekali lagi—menuruti bukanlah suatu kesalahan. Toh baginya, memberi peluang ke lulusan terbaru patut dirinya coba. “Tumben nurut.” “Seperti julukan mereka buat hubungan kita; kamu maung, pawang aku. So, aku ini harus membahagiakan kemauan istri.” Jadi Barella pikir, ketika pembagian otak di masa terdahulu, Sagi memang belum-belum siap untuk menerimanya. Otaknya kecil—lebih kecil dari plankton dan sebodoh Patrick yang selalu melebih-lebihkan sesuatu. Barella mendengus jengah. Sebentar lagi, harinya akan disibukkan dengan kegoblokan hakiki milik Sagi. Maka Tuhan, kuatkan hatinya. *** Barella memang manusia tergabut sepanjang sejarah. Masa pandemi Covid-19 sedang marak, kuliahnya mendadak ikut meliburkan diri. Dengan dalih mengikuti kebijakan pemerintah dan Jakarta yang masuk dalam zona merah. Benar-benar membuat dirinya mengeluh sepanjang hari. Masih di dalam suasana kantor Sagi—yang berisi manusia semangat, katanya—sungguh membuat moodnya terjun bebas. Usai belajar A sampai Z tentang bagaimana cara mengeloni—ehh nggak ding—menjadi asisten yang baik dan benar, kakinya melangkah keluar. Niat hati ingin membuat es kopi yang terlihat menyegarkan, langkahnya justru terhenti mendadak. Kupingnya memerah. Sepertinya memang benar perkataan Sagi menyoal karyawannya yang terlalu bersemangat, kini Bare sematkan julukan baru; nyeleneh. “Tapi dia emang cantik baddas pokoknya. Gue aja langsung suka.” Gosipan mereka masih sama. Tentang dirinya dan Sagi. Lebih kepada pro dan kontra tentang hubungan dirinya dan Sagi. Entah mereka yang aneh atau Bare yang terlalu tidak suka bergosip apalagi di gosipkan. “Rambutnya gue suka dong. Hitam, Panjang, plus kulitnya itu putih tapi pucat gimana gitu. Emang kontras banget kayak udah ciptaan dari sononya.” Bare tersenyum tipis. Kedua tangannya bersedekap d**a. “Pak Sagi pintar nyari bini. Kalau udah gini, gue nggak ada alasan khawatir.” “Ya?” Yang didalam ruangan serempak membeo. Berisi empat perempuan biang semangat di kantor. “Lagian kenapa mesti lu yang khawatir. Heran gue.” “Iya nih. Ngadi-ngadi saja isi otaknya.” “Bebas!” jawabnya cengengesan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD