6

1186 Words
“Sag!” “Yes wife?” Yang dipanggil guling-guling badan di kasur tanpa protes namanya tidak sesuai. Barella mendengus. Sejak kejadian di dini hari lucknut itu, mulut Sagi butuh saringan ekstra. Manis total coy macam ngisep gula dari tumpukan jerami. “Mau pakai yang mana?” Dari tadi Barella sibuk memilihkan kemeja untuk suaminya ke kantor. Dan lihatlah kadal titisan rajungan itu hanya rebahan layaknya belajar jadi orang mati. “Aku tuh suka kamu pakai kemeja item atau navy, lebih manly gitu. Ya tapi, masa kamu pakai itu-itu aja?! Di kira aku nggak becus jadi istri nanti.” See? Sagitarius beranjak bangun ogah-ogahan dan duduk di tepian ranjang. Kedua tangannya terjulur ke depan—macam vampire hendak mencekik korbannya—meminta di peluk. Barella mendengus. “Pilihan kamu apapun itu aku suka. Love, please. Jangan hiraukan omongan orang. Di sini yang jalanin aku, kamu dan kita. Jadi biarin lah mereka mau nyinyir apaan.” Sagi suka dengan perubahan Barella sejak hari itu. Keras kepalanya mengendur meski masih batu dan dirinya beton. Tapi lihat hasilnya? Nggak sia-sia perjuangan Sagi untuk perempuan itu menjadi sedikit percaya diri. Ibaratnya, cintanya sudah kembali. “Aku maunya ngasih yang terbaik. Itu aja.” Barella merengut lantas mengacak-acak isi lemari lagi. “Bar, sini deh.” Seperti di hipnotis Barella mendekat. Mengabaikan kegiatannya yang runyam dan duduk di atas pangkuan Sagi. “Kamu ada janji sama dokter. Enaknya aku ikutan dong terus kamu jadi pawang aku ke kantor.” Barella mendelik. “Ogah banget ke dokter. Ngapain coba? Buang-buang duwit sama waktu aja.” Sagi tahu, pembahasan ini sangat sensitif. Barella bahkan sudah akan beranjak jika pinggang rampingnya tidak ia peluk erat-erat. “Aku mau kamu sembuh.” “Lu kira gue sakit?!” “Enggak sayang. Sama sekali enggak. Aku—” “Lu harusnya nerima kondisi gue apapun itu keadaannya. Dengan lu yang kayak gini, gue mulai ragu kalo lu cinta ke gue.” Paginya kacau. Apa salahnya? *** Alasan mengapa Barella sangat tidak menyukai keluarganya yaitu karena dirinya hanya dianggap pundi-pundi uang saja oleh mereka. Apa, sih arti keluarga yang sesungguhnya? Apakah seperti yang dilakukan oleh orang tuanya? Apakah selalu berujung nilai keuangan fantastis, jujur Barella trauma. Masa lalunya sudah meregangkan sebagian nyawa di mana Sagi tertolak hanya miskin mendadak. Padahal Barella pikir, it’s okay. Ia bisa menjalani bersama Sagi apapun segi perjuangannya. Jikalau harus membuat dirinya bekerja sangat keras, Bare setuju dan ia sangat yakin Sagi tidak akan membiarkan dirinya kelelahan apalagi menanggung beban. Sebudak itukah Sagi padanya? Orang luar belum tahu saja seperti apa turunan Yudantha tersebut. Lelaki gentle nan tangguh yang sangat Barella sukai, diam-diam. “Wife?” Barella mengerang. Senjata ampuh Sagi keluarkan. “Masih ngambek?” Pertanyaannya tidak sinkron dengan tangan Sagi yang mulai gerayangan. Setan alas memang. Ia pikir Barella lemah iman? Jelas, lah! “Maaf,” ucapnya menghentikan laju mobilnya tepat di lampu merah. “Oke intinya aku udah tenang karena bawa kamu keluar dari neraka itu.” Boleh nggak, sih Barella mewek? “Kita hadapi sama-sama. Aku cinta kamu.” Barella tidak punya kenangan menyenangkan bersama Ibunya sejak remaja atau dengan keluarga lainnya. Ia cenderung tertutup dan sering kali memberontak—meski kalah telak jika tidak sesuai dengan keinginannya. Seolah-olah hidupnya sudah tertata rapi dengan rentetan peristiwa tersusun. Sesekali menciptakan obrolan dan itu tidak jauh dari tekanan-tekanan yang merusak mentalnya. Ini—katakanlah sadis—tapi Barella tidak punya pilihan selain diam dan mengikuti. Dan Sagitarius Yudantha pencetak rekor di mana kenangan manis bisa Barella ingat. Hanya jika dan Barella mau. *** Semenjak di pawangin, perempuan-perempuan genit yang berada di kantor Sagi mundur teratur. Siapa yang paling cengengesan? Tentu Sagi. Lelaki berperawakan tinggi gagah itu kesengsem sepanjang hari setiap membawa istrinya ke kantor. Pengaruhnya nggak main-main. Dante berkata, “Sumpah, ya. Cacing kremi itu kenapa pada pasang muka horor kayak abis ketemu Mbak Kunti, sih? Ini kantor aman bin makmur btw.” Tanpa peduli eksistensi Barella yang acuh di pojok ruangan. “Biasanya mereka demen godain lu!” Barella mendongak. Menatap sengit suaminya seolah tersirat awas ya! Sagi meringis dengan ekor mata bergerak gelisah. Membuat Dante kesal lantas berbalik dan, “Astaga naga kucing beranak ayam.” Nggak nyambung sekali. Barella melotot kesal. “Kok lu ada di sini?” Ditujukan pada Barella yang di jawab seringai. “Kanjeng siapa?” Keras lur! Dante kicep. “Baginda yang ngajak saya ke sini.” “Y-ya maksudnya kenapa mendadak?” Barella mengedikan bahu acuh. Melanjutkan aktivitasnya yang tertunda. “Gue mau boba dong. Lu kan budaknya Sagi. Pesenin gih.” Dan rasanya yang Dante umpatkan tidak hanya kekesalannya saja namun juga mengabsen jajaran kebun binatang seraya mengimbuhi, “demi rajungan bunting lobster! Nggak laki, nggak bini sama aja.” Lain halnya dengan Sagi yang ngakak heboh. Baru kali ini ada yang mengalahkan Dante. Siapa sangka jika itu istrinya sendiri. Kalau begitu, “Kamu ajalah Yang.” Bare mengangkat kepalanya lagi—tidak paham dengan ucapan Sagi. “Jadi asisten aku. Si Dante nggak kompeten nih.” “Ogah.” Balasan Bare kelewat cepat sekilat sambaran ciuman di bibirnya oleh Sagi. “Aku kan istri kamu yang mesti kamu nafkahi aja.” “Yeuuu. Kan kamu pawang aku Yang.” “Ya maksud? Harus gitu ngintilin kamu!” “O ya jelas.” Nggak ada waras-warasnya tiap mengobrol dengan Sagi. Berfaedah kagak, stroke iya. “Aku nggak suka di godain, sih, sejujurnya.” “Sebahagianya Kakanda saja.” “Makanya aku minta kamu buat selalu di sini Yang. Lagian kerja ada kamu itu enak, aku makin semangat.” “Iya lembur bagai qudaaa di ranjang selepas ini.” “Serius?” Memang sinting! *** Konteksnya cinta, di zaman sekarang selalu di sejajarkan dengan—bahasa bekennya—bucin. Padahal tidak seluruhnya mengarah ke arti tersebut. Namanya cinta, secara natural, pengorbanan contohnya apapun kondisinya, bagaimana pun keadaannya, pasti akan di perjuangkan. Tapi bukan berarti di perbudak oleh cinta. Makanya sering kita dengan dikit-dikit dikatain bucin. Ini dikit bucin. Begini sikapnya di kata bucin. Tidak seperti itu maknanya. Singkatnya, pernah di tuliskan dalam sebuah buku bahwa cinta itu mudah—bagi yang bisa mengendalikannya bukan malah yang dikendalikan oleh cinta. Sampai sini paham? Lalu berkoarnya adalah; jangan mau diperbudak cinta. Jangan salah! Karena semua yang terjadi dalam sebuah hubungan bukan artinya b***k cinta. Ribet, kan? Lengserkan sejenak tentang cinta. Kita fokuskan pada … “Pak Sagi bawa maung?” “Jeongmalyo? Wah daebak!” “Nggak asik bet dah! Masih muda, sukses eh udah kawin. Adek patah hati sebelum bercocok tanam sama miliknya Bang Sagi.” Bare menghentikan langkahnya. Sangat terpaksa harus berhenti begitu gossip hangat menelusup pendengarannya. Suaminya dijadikan topik gibah tapi hatinya kenapa panas, ya? Padahal suaminya yang dibicarakan. “Sadar nggak, sih, kalo muka Pak Sagi itu cute-cute gemesin bisa dibilang bucin? Nggak kebayang banget dia bucinnya si bini.” “Setuju. Andai jadi pelakor itu nggak dosa dan karma cuma omongan belaka—huft.” Begitu saja sudah membuat Barella berkedut menahan tawa. Antara rela dan tidak rela tapi rasanya menyenangkan. Mungkin Barella gila. Di saat semua perempuan akan mencak-mencak karena pasangannya dijadikan objek pujaan, sedang dirinya … tentu cemburu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD