Aku sadar, berdekatan denganmu adalah awal dari bencana. Eh, ternyata Sagi bisa ya bikin hatinya sendiri melambung. Buktinya mengingat penyemangatnya, Sagi enerjik sekali.
Meskipun sampai hari ini hati Sagi masih saja terpengaruh. Pada apa yang Barella ucapkan. Pada apa yang Barella lakukan. Pada apa yang menjadi tindak tanduk perempuan yang berstatus sebagai istrinya satu bulan ini. Awalnya Sagi masih mengelak jika perasaannya tidak terpaut semakin jauh karena ia sadar itu masalah. Namun setelah berlarut-larut dalam kebersamaan, Sagi mulai menyadari jika dirinya sudah jatuh jauh ke dalam.
Tak ingin memungkiri, pada akhirnya Sagi mengakui seberapa besar pengaruh Barella untuk hatinya atau segala perlakuan yang Barella tunjukan memang mempengaruhi hidupnya.
Duhhh! Ribet banget punya hati.
Sagi terus saja merutuki hatinya yang lemah—sangat-sangat lemah—jika sudah menyangkut Barella.
“Bekal makan siang?”
“Udah.”
“Berkas-berkas meetingnya?”
“Udah.”
“Baju ganti buat makan malam sama klien?”
Aduh sialan sekali! Istrinya itu kenapa, sih, belagak menanyai dari A sampai Z kalau ujung-ujungnya sudah disiapkan begitu matang sejak semalam?!
“Apa? Kenapa?”
Kalah telak.
Sagi hanya bisa menampilkan cengirannya dengan wajah merah padam. Sulit sekali memiliki hati lemah, lembek dan baperan sepertinya.
“Iya, aku tau kamu memastikan.” Sagi mengalah lantas mengancingkan kemeja dongkernya perlahan. “Kamu jadi nyusul?”
“Jadi dong.” Riang sekali. “Kan mana tau kamu main-main mata di belakang aku sama sekretaris super seksi itu.”
“Astaga!” Sagi menjerit saja. Rasanya frustasi, tertekan tapi untuk mengungapkan lebih jauh, jawabannya sudah pasti jika lelaki selalu salah. Ingin mengelak sebanyak apapun, Sagi paham posisinya.
“Kenapa teriak?” ALLAHHUAKBAR. Sagi ingin lari saja kalau sudah lirikan maut Bare yang bermain. Sumpah, ya, Tante Suzana aja kalah saing sama ini perempuan satu. “Aku nggak ngawasin aja kamu berani tuh ke ruangannya minta di bikinin kopi lah, foto copy berkas ini lah, minta temenin rapat lah, ini lah itu lah.”
“Itu wajar sayang. Serius, suer.” Sagi mengangkat kedua tangannya. Melupakan kancing-kancing kemejanya yang belum terpasang sepenuhnya. “Itu kan tugas dia sebagai sekretaris. Ya sekarang pikir deh. Dia aku pekerjakan sebagai sekretaris, masa iya cuma ongkang-ongkang kaki, dandan menor, make baju ke—”
“Oh, jadi kamu ngasih perhatian sedetail itu ke perempuan nel-nelan modelan si Sumini itu?!”
Apa Sagi bilang dengan dirinya selalu salah. Salah ucap kata, salah semua ke belakang.
“Ya Allah.” Kehidupan pernikahan tidak semulus aslinya.
“Pulang aja sana ke perempuan itu.”
***
Pukul dua dini hari, mata Sagi mengerjap berat. Ditambah beban yang menumpu tubuhnya—yang awalnya ingin membuatnya misuh-misuh tertahan seketika. Sehelai rambut panjang agak menutupi wajahnya justru menyuarakan kekehan kecil yang melantun begitu saja. Tangannya segera bergerak menepuki punggung si empu yang di balas lenguhan.
Antengnya pas merem doang. Coba itu mata melek, ngelebihin leak Bali.
Seharian penuh—kemarin—baik Barella maupun Sagi sama-sama keras kepala. Keduanya sama-sama enggan mengalah. Dan nilai penting dalam hubungan ini adalah kekeraskepalaan masing-masing. Bare yang tangguh dan terlampau mandiri sedang Sagi sangat ingin menyeimbangi perempuan itu. Memikul rasa lelah pada perjuangannya juga berbagi bersama yang selama ini selalu Sagi bayangkan.
Hanya membayangkan dan setelah semua tercapai, Barella masih sangat jauh dari gapaiannya. Sudah di depan mata namun ada kabut yang menutupi semacam dinding lain yang Barella bangun agar orang lain tidak menyentuhnya. Tapi Sagi bukan orang lain. Sagi orang terdekatnya. Mereka tumbuh bersama sejak kecil. Bermain bersama, tidur bersama, melakukan semua hal yang berujung pada kebersamaan.
Lalu kini, mendapati perubahan pada diri Barella merupakan pukulan telak baginya. Hukuman sebenarnya yang sedang Tuhan berikan untuk dirinya jalani. Dan itu terasa sulit jika segala sesuatunya menyangkut Barella maka yang bisa Sagi lakukan hanyalah menghela napas, mengelus d**a.
Tidak banyak yang bisa Sagi lakukan. Untuk saat ini, setidaknya cukup dengan mengikat Barella. Sagi ingin egois, tentu saja karena perempuan ini miliknya. Artinya, Barella harus lebih terbuka padanya untuk sedetail apa perasaannya. Sakit, kacau, berantakan dan berbagai perasaan yang Barella rasakan, Sagi ingin andil di dalamnya.
Bukankah di masa lalu Sagi turut andil menebar luka dan trauma?
Bukankah Sagi juga membuat perempuan itu kian menjauh dari dekapannya?
Bukankah Barella sendiri yang memberi jarak?
Sagi berdehem sejenak. Kilatan panas menyambar bola matanya. Rasa-rasanya sangat bodoh melakukan itu semua padahal demi kebaikan. Hasilnya, lihatlah Sagi berdiri sukses meski dengan nama keluarganya.
“Kamu nangis?”
Macan betinanya bersuara. Sagi terkekeh sebagai balasan. Lagi, tangannya mengusap punggung Barella.
“Aku ngebangunin atau kamu pengen sesuatu?”
“Aku belum di colok jadi nggak lagi ngidam hamil.”
Selalu begitu. Mereka sejatinya terlalu suka dengan otot untuk berbicara ketimbang mulut. Puji kerrang ajaib memang istrinya itu. Tapi Sagi cinta. Gimana, sih?
“Mau aku colok?” Realisasikan saja lah. Siapa yang tidak mau sawadikapan sama bini sah sendiri. ”Kamu, sih—”
“Sembarangan banget. Mulut belum ketemu pawangnya lancar jaya.”
“Ya, kan kamu Bar pawang aku. Dijamin deh! Dipawangin kamu adem ayem aku mah.”
Ya ukhti, akhi. Dapat suami dari mana modelan Sagitarius Yudantha ini.
“Lagi Yang, aku tuh butuh anak sebenernya,” ungkapan Sagitarius tidak sepenuhnya bohong. Kenapa demikian? Pikir Sagi, dengan adanya anak atau setidaknya Barella hamil maka kesibukan perempuan itu akan bertambah. Sedikit berubah agar tidak keluyuran di kampus. Bagus karena Sagi mulai mendoktrin perkuliahan Barella sebagai hal buruk. “Kita butuh keturunan juga, 'kan?”
“Kita nikah aja di atas materai. Paham maksudnya?” Barella sinis sekali ketika menjawab. Tidak dirinya hiraukan betapa Sagi merana dengan jawabannya. “Jadi ada perjanjian pra nikah semisal kamu udah nggak cocok lagi. Kita mana ada jodoh-jodohnya, sih?!”
Hilih, takabur banget. Kalimat tanpa filter Bare pun Sagi paham jika sesungguhnya dia berharap untuk selawase bareng Sagi. Ampun! Cewek banyak gengsinya.
“Pertama.” Setelah hening berkepanjangan. Dan tanpa keduanya sadari, Barella nyaman nemplok di atas tubuh Sagi. Sesekali hidungnya bergesekan dengan d**a Sagi yang telanjang. Jangan ditanya, ada yang berontak nggak? O ya jelas dong! “Aku ngajak kamu nikah serius. Bar, namanya surat, selembar kertas itu cuma—mainan mungkin buat aku.” Barella mendengus terang-terangan. “Kita pada dasarnya sudah terikat dan aku mencoba dengan nyata kalau aku dan kamu harus bersama. Remember my promise?” Sagi terlalu sadis sampai Barella kehilangan fungsi memorinya. “Kita—seharusnya—terutama kamu saling berbagi. Kamu pikir aku diem aja soal beberapa tahun ini? Kamu lupa siapa aku? Kedua …” Sagi meregup pipi Barella dengan pandangan sayang. “Gilanya perempuan yang dari dulu aku cinta cuma kamu. Perempuan yang aku mau cuma kamu.” Sagi mendekat. Dalam batas sadarnya, kecupannya tersemat di pipi Barella sangat lama. “Tolong, kita mulai sekali lagi.”