4

1500 Words
'Kalian menganggapku keras kepala tanpa mau berpikir panjang dari mana sifat ini muncul.' Itu adalah sebagian dumelan dalam hati Barella yang terlanjur sakit hati. Menginjakan kakinya kembali ke dalam rumah yang sangat tidak Barella harapkan, napasnya terembus sesak. Selalu seperti ini jika melihat rumahnya. Perasaan benci, hampa dan kosong selalu mendominan. Jika bukan karena benda penting, Barella enggan menapaki rumahnya. Ia sudah sangat nyaman di rumah Sagi meski lelaki itu belum membuatnya nyaman. “Masih ingat punya rumah?” Pertanyaan sarkas itu Bare abaikan. Ia hanya perlu berjalan lurus, berbelok ke kanan dan memasuki kamarnya. Mengambil barang yang di butuhkan lantas pergi. Namun Barella juga tahu jika bayangan itu tidak semudah faktanya. Ibunya sudah berdiri tegap di sampingnya. Menatapnya penuh minat seakan menguliti tubuhnya. “Kenapa ingat pulang? Sudah baik keluar dari rumah ini. Keras kepala!” Ego Bare tersentil. Keras kepala. Keras kepala, ya? Bibirnya tersenyum miring. “Pernah Mama memikirkan dari mana sifat ini tumbuh?” balas Bare terang-terangan. Memancarkan raut ketidaksukaannya. “Kamu ngelawan Mama?!” “Ya!” Karena aku punya Sagi. Bukan lagi Keluarga Yudhistira. “Ya. Aku tanya ke Mama: pernah Mama mikir dari mana kekeraskepalaanku berasal?” Jayanti terdiam. Wanita paruh baya itu terpaku kaget pada jawaban putri sulungnya. Tidak biasanya Bare menjawab. Tidak biasanya ia meninggikan suaranya. Tidak biasanya ia menimpali semua perkataannya. Selama ini, Bare selalu menjadi anak perempuannya yang paling manis dan penurut. Namun hari ini … alih-alih untuk kecewa, Jayanti kian memberi tekanan pada Barella. “Persetan dengan dari mana asal usulnya. Kamu—sebelum menikah—adalah mainan Mama. Kamu obsesi Mama buat wujudin semua impian Mama. Kamu harus bisa Bare. Kamu harus sama seperti adik kamu yang sepenuhnya menjunjung tinggi martabat keluarga.” Detik itu mata Bare memanas. Namun tidak ada air yang menetes. Remasan kuat pada jantungnya meledak setelah bertahun-tahun memendam. Dirinya masih manusia bukan boneka. Dirinya masih sangat lengkap memiliki rasa. Ingin dilindungi bukan di bunuh seperti ini. “Terima kasih penjelasannya, Ma. Aku paham.” Bare berlalu. Melangkah memasuki kamarnya dan keluar tak lama setelahnya. Menyeret satu koper dan berpamitan. “Selamat tinggal Mama.” **** “Oh, jadi …” pertanyaan Sagi sengaja di beri tekanan. “Ya, Tuan.” Orang kepercayaannya yang menjawab. “Sesuai perintah Tuan. Semuanya dalam situasi terkendali.” “Terkendali, ya?” Sagi terkekeh. “Oke.” Oke saja? Suruhannya mengerutkan alisnya. Perintah selanjutnya terasa ganjil, ah bukan, tidak jelas malah. Jadi harus bagaimana dirinya ke depannya. Melanjutkan atau berhenti saja. Tapi meski melanjutkan tanpa aba-aba yang pasti, itu sedikit menyulitkan. Karena menguntit istri atasan juga bukan tindakan yang sopan. “Ada lagi? Kenapa masih di sini?” “Eh? Anu Tuan …” “Tunggu kabar setelah ini. Saya perlu memastikan untuk keluarga Yudhistira yang yah sombong mungkin.” Memahami saja tanpa di tanyai lagi, suruhannya pergi. Melenggang keluar dengan kebingungan yang belum terjawab: sebenarnya orang-orang berduwit punya masalah apa, sih? Ribet banget! *** Jadi begini cerita awalnya. Dulu, Sagitarius Yudantha dan Barella Yudhistira itu sahabatan. Hubungan mereka sudah terjalin sejak masih kanak-kanak dan berlanjut hingga masa SMA. Bahkan ke dunia perkuliahan, mereka masih sama-sama—sepasang—meski tidak banyak yang menganggap mereka berpacaran. Tapi itu dulu sebelum penolakan keluarga Yudhistira—terutama Ande—yang sangat mengagungkan kekayaan dan segala t***k bengeknya. Sejatinya, keluarga Yudantha amatkan kaya terbukti lewat beberapa daftar teratas yang masuk ke dalam catatan sepanjang sejarah dunia bisnis. Dalam kurun waktu yang sangat dekat, kekayaan Yudantha bisa di sama ratakan dengan artis-artis holllywood. Seperti contohnya Kylie Jenner yang tercatat sebagai artis muda terkaya. Hanya berbeda ranah saja. Jika Kylie Jenner sukses di bisnis make up-nya, maka Yudantha mensejajari bisnis property perumahan, apartemen mewah, hotel berbintang, resort dan pulai pribadi dengan harga sewa melejit dan sebagainya yang isinya pundi-pundi uang tak terkeruk. Namun sayangnya, nasib baik tidak selamanya berpihak pada keberuntungan yang berturut-turut keluarga Yudantha raih. Ada kalanya teguran Tuhan begitu mujarab untuk manusianya agar tidak lupa: semua yang dimilikinya adalah milik Tuhan dan kembali pada Tuhan juga hak dari setiap rencana yang Kuasa lakukan. Lantas apa yang membuat Sagitarius tertolak? Miskin? Benar! Jayanti Yudhistira menancapkan duri—belati—terlalu dalam pada harapan sepasang insan. Dan dari keseluruhan, Sagitarius bangkit. Meninggalkan, sengaja menghancurkan hatinya—bahkan jati diri perempuannya—dalam satu kata; BERPISAH. *** “Dasar tua bangka!” Sagi mengumpat. Pulang-pulang dari kantornya disuguhi pemandangan istri tercintanya yang murung, Sagi tahu apa penyebabnya. “Kamu juga! Kenapa pecicilan banget balik ke sana. Rumah kamu itu di sini, Bare. DI-SI-NI. PAHAM!” Barella mendengus saja. Jengah dengan sikap atraktif Sagi yang terang-terangan di tunjukan. Padahal dirinya sangat baik-baik saja tapi respon lelaki itu masih sama dari beberapa tahun silam. “Lebay deh, lo!” “Hish!” Sagi menjambak rambutnya frustasi. Kenapa, sih, Barella versi sekarang sulit sekali dirinya kendalikan. Semisal Sagi protes, maka ultimatum Barella begini: salah sendiri dulu ninggalin gue. Jadi, beri Sagi jawaban untuk membungkam mulut perempuan—sialnya—yang dirinya cintai itu. “Apa?!” Barella balas melotot melihat tatapan Sagi yang belum teralih. “Nggak usah lihat-lihat. Tahu, gue emang cakep.” “Najis, Bar, najis!” “Tapi lo cinta ke gue, 'kan?” Double kills. Sagi nyerah. Angkat tangan ke kamera sambil teriak gila. *** “Lagian lo tau amat gue balik ke rumah?” pertanyaan Barella di malam yang kian larut tiba-tiba terangkat. Membuat Sagi mengalihkan pandang was-was. Bisa gawat kalau ini perempuan ular tahu dirinya menyuruh orang membuntuti. “Jangan bilang lo buntutin gue? Heh?!” bentakan Barella disertai pitingan di telinga Sagi membuatnya berteriak heboh. “Sakit, babi!” “Astaga mulutnya kotor banget. Lihatlah calon Papimu yang sesuatu sekali itu, Nak!” Barella berpura-pura kecewa. Sekaligus usapan pada perut datarnya membuat Sagi bergidik ngeri. Demi Allah belum kalau pembaca berharap ada adegan nananina karena author belum mengizinkan hal itu terjadi, eh?! “Jadi jawab, oi. Malah bengong.” “Berisik, Bar, berisik! Pergi sono!” “Mulut lo astaga! Minta amat gue tabok. Ini kamar gue. Rumah gue. Lo yang harusnya pergi. Jangan lupa.” Ah sudahlah. Sagi mengalah saja. Mendebat perempuan tidak ada betulnya. Sementang-mentang berpasal secara berlapis yang mana bunyinya adalah: Pasal satu, perempuan selalu benar. Pasal dua, jika perempuan bersalah maka kembali ke Pasal satu. Kan apes! “Mau ke mana?” Sagi hendak bersiap memunguti laptop dan beberapa berkas kerjanya. Namun lontaran kata tanya yang Barella ajukan urung menghentikan langkahnya. “Pindah kamar.” Barella tertawa kecil. Sagitarius Yudantha tidak pernah berubah meski delapan tahun berselang. “Sini deh. Ada yang mau aku omongin.” Tanpa diperintah dua kali, Sagi segera berbalik arah. Menuju ranjangnya—tempatnya tidur berdua bersama Barella—dan duduk bersebelahan tepat di depan istrinya. Hm, istri, ya? Kok rasanya anget-anget asem manis pahit? Heran. “Apa?” Sagi memasukan kedua kakinya ke dalam selimut. Melakukan yang sama persis seperti yang Barella lakukan. Lalu mengapit kaki Barella. Tidak peduli apakah empunya protes. Tapi melihat keterdiamannya, Sagi anggap sebagai hal yang disetujui tanpa keberatan. Yang Maha Kuasa, kan Sagi. Bebaslah! “Loh tumben pakai ‘Aku’?” Sisi menyenbalkan seorang Sagitarius Yudantha yang langsung di balas dengusan oleh Barella. “Kita nikah udah hampir satu minggu,” kata Barella setelah hening beberapa menit. Sagi ingin menjawab namun helaan napas Barella menjadikannya bungkam. “Kita mau begini aja?” Pertanyaan Barella ambigu. “Maksudnya, kita nikah bahkan gak ada saksi dari salah satu keluarga. Kamu nyari wali begitu juga aku. Dan aku masih ngerasa kalo ini mimpi. Kamu tau?” Sagi tersenyum kala tangan hangat Bare mengusap rahangnya yang sempat mengeras. “Aku cuma mikir kalau kamu bakal balas dendam sama semua sikap Mama waktu itu.” Diingatkan dengan napak tilas masa lalu, netra redup Sagi menggelap. Dirinya sangat tidak suka jika sudah disinggung masa kegagalannya dulu. Sagi tidak pernah terima gagasan di mana dirinya sendiri dengan bodoh menghancurkan Barella membuat perempuan itu lemah dan di sudutkan pada berbagai konflik. Sejak kecil, Sagi sangat tahu bahwa Barella mendapat tekanan yang menuntut perempuan itu dewasa—sebelum umurnya. Berkembang dalam setiap titah. Tidak bebas memilih apa yang disukainya. Dibatasi pergaulannya hingga Sagi berusaha membawanya kabur. “Kalo tujuan kamu kembali buat balas semua sakit hati kamu …” Tangan Barella berpindah ke dadanya. Tepat di sana hujaman sakit itu menghilang tergantikan desiran hangat. “Kita berhenti saja. Aku bi—” “Enggak!” Suara Sagi naik satu oktaf. Mendengar kalimat ‘berhenti’ yang Barella ucapkan, ulu hatinya sakit. Apalagi kalimat lanjutannya? Tidak! Sagi tidak akan sanggup melihat perempuannya menderita lebih dalam dari ini. “Aku balik buat kamu. Lupa janji aku?” Bare menggeleng pelan. Sudut kedua matanya sudah berkaca-kaca. Dan air mata sebentar lagi akan jatuh. Sebelum terhempas sia-sia, Sagi meregupkan kedua tangannya pada tubuh Barella. Dagunya bertumpu pada puncak kepala Barella yang menguarkan aroma khas kelembutan. “Kita nggak akan berhenti. Nggak pernah sampai kapan pun itu. Dan kamu nggak perlu balik ke sana. Apa, sih, yang kamu cari di sana? Aku, apa nggak cukup jadi alasan kamu bahagia?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD