JKJI 2

1325 Words
*** Seminggu setelah pernikahan dan Niki memutuskan perawatan ekstra, akhirnya Niki sedikit bernafas lega. Hari ini Ia bisa menghirup udara segar Luar. Dokter ijin untuk pulang dan rawat jalan. Dan harus rutin disetujui kemoterapi sesuai anjuran Dokter. Badan Niki memang rapuh tetapi Ia tidak mendukung kelemahannya pada Sisi. Tentunya dan ingin membuat sisi terus larut dalam kesedihan. Niki tersenyum saat melihat Sisi tampak sibuk dengan beberapa baju pelanggannya. Sudah hampir 2 tahun ini Sisi menekuni dunia olshop. Dan untuk pelanggan setia, Sisi sudah mengantongi perbandingan orang dari berbagai kota. Sisi di bantu oleh Lani dan 3 orang pegawainya. 1 laki-laki dan 2 wanita. Untuk laki-laki mengganti barang ke ekspedisi. Sementara 2 wanita lainnya sedang menunggu pesanan dan melalukan stok opname . "Perlu bantuan sayang?" suara Niki membuat Sisi kepala menoleh cepat. Ia lantas tersenyum dan beranjak dari tempat duduknya, menghampiri Niki. "Kamu kok di sini. Istirahat di kamar aja ya. Kamu kan lagi sakit." Niki tersenyum dan menggeleng. Bibirnya mengerucut membuat Sisi gemas. "Aku bosan di kamar terus. Aku ingin mencari udara segar." "Kamu mau jalan-jalan?" tawar Sisi. "Emangnya kamu nggak sibuk?" tanya Niki balik. Sisi menggeleng lalu meraih lengan Niki dan berhasil keluar dari toko. "Aku ganti baju dulu ya. Kamu tunggu bentar." Sisi masuk ke dalam rumah sementara Niki duduk di kursi teraa depan. Tak lama Sisi kembali dengan penampilan barunya tak lupa Ia membawakan sweater untuk Niki. "Pake dulu ya." Dengan sangat telaten Sisi memakaikan sweater biru itu ke tubuh Niki. "Makasih ya sayang." ungkap Niki saat sweater itu sudah melekat di tubuhnya. "Kita mau kemana?" Sisi tampak berpikir sebentar. Niki saat ini membutuhkan tempat yang nyaman. Seminggu di Rumah Sakit tentunya membuat Ia bosan. "Ke taman Pelangi yuk. Biasanya kalo sore gini sana rame. Adem juga hawanya." Niki hanya menganggukkan kepalanya, mengikuti kemanapun Sisi membawanya. Setelah menghentikan sebuah taxi, Sisi dengan penuh kesabaran membantu Niki untuk duduk di jok penumpang baru setelah itu Ia mengambil duduk di sebelah Niki. *** Benar apa yang dikatakan Sisi. Taman Pelangi jika sore seperti ini udaranya segar. Matahari juga tak terlalu terik. Dan suara gemericik air menambah kesan asri taman ini. Mereka duduk bersebelahan di sebuah bangku beton taman. Sesekali Sisi memejamkan matanya menikmati hembusan angin yang menerpa wajahnya. "Kamu cantik." puji Niki lirih. Kepala Sisi menoleh. Kedua pipinya bersemu merah. Sangat jelas Sisi bisa mendengar pujian yang Niki lontarkan. "Makasih." sahut Sisi sambil memamerkan senyum manisnya. Kedua mata mereka masih beradu. Manik mata coklat dan hazel itu seolah berbicara, saling mengungkapkan isi hati masing-masing. "Si," panggil Niki pelan. "Ya?" Sisi menyahut dengan cepat. "Aku ingin berkunjung ke makam Mama dan Papa. Kangen sekali rasanya." Sisi langsung mengusap punggung tangan Niki. "Sabar ya. Nanti setelah kesehatan kamu membaik, aku bakalan temenin kamu ke sana." Niki tersenyum lebar. Sungguh bahagia Ia bisa memiliki Istri setulus Sisi. Menerima segala kekurangannya. *** Seperti hari-hari lainnya, hari ini Sisi sibuk lagi dengan aktifitasnya. Mengurusi olshopnya yang semakin berkembang pesat. Sementara Niki bersiap-siap untuk ke Rumah Sakit. Hari ini ada jadwal kemotherapy. Niki memakai sweater lengan panjang di padu dengan celana jeans senada. "Loh Niki, berangkat sekarang?" tanya Lani yang baru saja keluar dari dapur. "Iya Ma. Janji sama Dokter jam 9." "Tunggu ya. Mama panggilin Sisi---" "Jangan Ma." cegah Niki cepat sambil menahan lengan Lani. "Aku berangkat sendiri aja. Aku masih kuat kok. Lagian Sisi juga kayaknya sibuk banget sama kerjaannya." "Beneran kamu bisa berangkat sendiri? Atau Mama aja yang nemenin?" Niki menggeleng pelan. "Makasih Ma. Tapi beneran aku sanggup kok Ma. Lagian nanti aku mau ketemuan sama temen lama aku." Lani tersenyum lalu mengelus lengan atas Niki. "Ya udah kamu ati-ati ya. Nanti kabarin kalo kamu butuh sesuatu." "Iya Ma. Aku berangkat dulu ya Ma." Niki melangkah keluar rumah. Sebuah taxi berwarna biru sudah menunggunya. Tanpa pamitan terlebih dulu ke Sisi, Niki langsung meminta sopir taxi menjalankan mobilnya. Niki tidak bohong. Setelah ke Rumah Sakit Ia memang ada rencana untuk bertemu dengan seseorang. *** Efek dari kemotherapy yang Niki jalani membuatnya sedikit mual dan lemas. Niki menghentikan langkahnya dan bersandar di tembok sebuah toko. Pandangannya berkunang-kunang dan kakinya serasa tak bertulang. Sebelum tubuh Niki benar-benar lunglai, dua pasang tangan tampak menangkap tubuh lemas Niki dan langsung membawanya masuk ke dalam sebuah mobil mewah. Mobil itu melaju dengan kecepatan penuh. *** Sisi kembali berdecak saat panggilan telponnya tidak di angkat juga oleh Niki. Lani sudah memberitahukan bahwa Niki akan bertemu dengan teman lamanya tapi Sisi tetap khawatir. Apalagi hari sudah hampir malam tapi Niki belum memberi kabar juga. "Sabar Si. Paling Niki masih ngobrol sama temennya. Nanti juga bakalan ngabarin kamu." Lani mencoba menenangkan Sisi yang tampak frustasi. "Tapi Niki lagi sakit Ma. Kalo ada apa-apa gimana?" Lani menghela nafas panjang. Ia membiarkan Sisi terus mencoba menelpon Niki. *** Niki baru saja tersadar dari pingsannya. Matanya terbuka lebar dan mengamati ruangan asing ini. Tak lama kemudian 2 bodyguard masuk ke dalam kamar dan berdiri di sisi kanan dan kiri pintu kamar. Niki bangun dari tidurnya dan duduk di tepi tempat tidur saat seseorang yang sangat Ia kenal masuk ke dalam kamar. Dengan pakaian formal dan sebuah kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya. "Dito?" panggil Niki lirih. Laki-laki tampan yang bernama Dito itu hanya menyunggingkan senyum sinisnya. Kakinya melangkah mendekati tempat tidur Niki dan berdiri tepat di depan Niki. Membuat kepala Niki mendongak menatapnya. "Ada keperluan apa kau ingin menemuiku?" tanya Dito dengan suara dinginnya. Niki sama sekali tidak takut karena Ia sudah lama mengenal Dito. Dito teman semasa SMAnya dulu. Tapi Dito yang ada di depannya ini bukanlah Dito yang Ia kenal dulu. Entah kenapa Dito bisa berubah sedrastis itu. "Maaf kalau aku selalu merepotkanmu----" "Aku tau maksud kata-katamu." potong Dito. "Berapa yang kau butuhkan?" Niki meneguk salivanya pelan sebelum menjawab pertanyaan Dito. "Se-seratus lima puluh juta." Dito spontan mengangkat kedua alisnya. "Kau yakin?" Niki hanya mengangguk. "Baiklah. Karena kau sudah tau berapa bunga yang harus kau tanggung, aku tidak akan menjelaskannya lagi. Kalau aku tidak mengenalmu, aku tidak mungkin akan mengeluarkan uangku dengan semudah itu. Apalagi hutangmu sebelumnya saja belum kau bayar." Niki memilih diam. Karena semua perkataan Dito memang benar. Semua uang yang Ia pinjam dari Dito Ia pakai untuk biaya berobat dan Niki tak tau harus dengan cara apa mengembalikannya. "Aku akan bekerja keras untuk melunasi semua hutang-hutangku." Dito terkekeh pelan. Ia lalu melepas kacamatanya. Seorang bodyguard maju dan mengambil kacamata Dito dari tangannya. "Kau mau bekerja?" tanya Dito yang tak mendapat jawaban dari Niki. "Berdiri saja susah, apalagi bekerja." Dito tertawa mengejek. Niki menundukkan kepalanya, menahan amarahnya. Sekuat tenaga Niki tidak mengeluarkan sumpah serapahnya karena bisa di bilang hidupnya bergantung pada uang Dito. "Bagaimanapun caranya aku pasti akan mengembalikan semua hutangku." ucap Niki dengan tegas membuat tawa Dito terhenti seketika. "Baiklah. Baiklah. Aku percaya padamu. Kuberi waktu kau 3 bulan untuk melunasi semuanya. Apa kau sanggup?" Niki berpikir sebentar kemudian Ia mengangguk pelan. "Sanggup." "Apa jaminannya?" tantang Dito. "Jaminan?" cicit Niki. Dito mengangguk dan menunggu jawaban dari Niki. "Kau tau aku tak punya apa-apa. Bahkan rumahpun sudah aku jual. Tapi jangan khawatir, aku akan tetap berusaha mengembalikan uangmu." "Jadi kau tidak punya jaminan?" Niki tak menjawab, Ia malah menundukkan kepalanya. Bingung. Apa yang akan Ia pakai sebagai jaminan jika dalam waktu 3 bulan Ia tak bisa mengembalikan uang itu. Niki sadar, uang itu jumlahnya sangatlah besar. Tidak mungkin semua orang akan mengeluarkannya secara cuma-cuma. "Aku akan mengabdi padamu. Aku rela menjadi budakmu." Dito kembali terkekeh. Merasa lucu dengan jawaban dari mulut Niki. "Kau sadar dengan apa yang kau katakan? Kau lihat?" Dito merentangkan kedua tangannya. "Aku memiliki segalanya. Rumah, Perusahaan, Hotel, Restoran dan tentunya bodyguard yang sehat. Lalu buat apa aku memakai orang yang mengurus dirinya saja tidak bisa?" Rahang Niki mengatup rapat. Dengan hati lapang Ia menerima semua cemoohan Dito. "Aku tidak tau lagi harus memberimu jaminan apa." akhirnya Niki hanya bisa pasrah. Benar-benar tak ada jalan. Dito menatap lurus ke wajah Niki lalu maju selangkah. Ia lalu duduk jongkok di depan Niki. "Kenapa tidak istrimu saja kau jadikan sebagai jaminan?" *** Sby 21-12-2017
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD