JKJI 3

984 Words
*** Kenapa tidak istrimu saja kau jadikan sebagai Jaminan? Niki benar-benar tak habis pikir dengan perkataan Dito. Bagaimana Dito tau jika Ia sudah menikah? Ah. Ingat satu hal. Jaringan Dito sangat luas sehingga wajar saja jika Ia mengetahui masalah pribadinya. Tapi kenapa dito sampai punya pikiran seperti itu? Apa yang jangan-jangan Dito simpan rasa pada Sisi? Atau jangan-jangan Dito akan melakukan kejahatan terhadap Sisi? Demi apapun Niki tidak akan diizinkan Dito melakukan hal itu dan membuat Sisi terluka. Apapun akan Ia lakukan untuk sisi. "Apa yang sebenarnya kau inginkan?" desis Niki sambil balas menatap mata Dito. Dito tersenyum lalu bangkit. Ia kembali ke tempat semula. "Aku hanya ingin kamu kembali dengan waktu yang tepat. Jika kamu bisa, maka aku akan membiarkanmu hidup bahagia dengan istrimu. Tapi jika satu hari saja kamu meleset." Dito tak diselesaikan kalimatnya. Ia sengaja menghabiskannya. Senyum Dito kembali merekah. Satu pengawal masuk ke dalam kamar dan berdiri di sebelah Dito. Dito hanya mengangkat sedikit dagunya dan pengawal itupun mengerti. Pengawal itu maju dan memberikan selembar cek berisikan uang lima puluh juta untuk Niki. "Gunakan uangku sebaik mungkin dan tepati janjimu." pesan Dito sebelum pergi dan di ikuti oleh seluruh anak buahnya. Niki memegang selembar cek di tangannya. Uang itu cukup untuk kemotherapy selama satu bulan. Dan untuk bulan berikutnya Niki tak tau lagi akan mendapatkan uang dari mana. *** Jam sudah menunjukkan angka 10 malam dan Niki baru saja turun dari taxi yang membawanya. Langkahnya terhenti saat Ia mendapati Sisi yang tengah meringkuk di kursi kayu teras rumah. Rasa bersalah timbul dalam hatinya. Seharian ini Ia tak memberi kabar ke Sisi kemana Ia pergi dan mengabaikan semua telponnya. Kalau saja Niki tidak pingsan mungkin sore tadi Ia sudah kembali ke rumah. Niki tak berniat membangunkan Sisi, Ia lalu duduk jongkok di depan Sisi, mengamati wajah istri yang sangat di cintainya. "Maafin aku Si." ucapnya lirih. Dengan perlahan Niki mengangkat tubuh mungil Sisi dan membawanya ke dalam kamar. Agak kesusahan membawa Sisi karena kondisi tubuhnya sendiri yang kurang baik. Tapi Niki tetap melakukannya. Setelah Sisi terbaring di tempat tidur, Niki lalu menarik selimut dan membungkus tubuh Sisi. Ia tidak langsung ikut tidur di sebelahnya. Niki merenung, memikirkan perkataan Dito. Kalau saja Ia tidak bisa melunasi semua hutangnya maka Ia harus menyerahkan Sisi. Kepala Niki menoleh dan kembali menatap wajah Sisi. Tak seharusnya Sisi menjadi korban atas semua tindakannya. Niki mengeluarkan selembar cek dari saku celananya. Menatap deretan angka yang tertulis disana. "Kalau saja aku sehat, aku tidak akan melakukan ini. Kenapa Tuhan, kenapa Engkau memberiku cobaan seberat ini?" lirih Niki. Airmata menetes begitu saja dan mendarat di atas kertas kecil persegi panjang itu. Niki buru-buru mengusap kedua matanya saat Ia mendengar gumaman dari mulut Sisi. "Niki, kamu kemana? Kenapa nggak angkat telponku?" Niki hanya terdiam menatap mata Sisi yang terpejam sementara mulutnya terus meracau tidak jelas. Niki meletakkan kertas itu di atas nakas dan merangkak naik ke tempat tidur. Merebahkan dirinya tepat di sebelah Sisi lalu menarik tubuh mungil Sisi ke dalam pelukannya. "Aku di sini. Maafin aku." ungkap Niki sambil mengeratkan pelukannya. Sisi membuka matanya perlahan dan mendapati tangan kekar Niki sudah melingkar di pinggangnya. Kepalanya mendongak menatap Niki. "Kamu udah pulang? Kamu dari mana aja?" "Maaf. Tadi aku ketemu temen lama. Aku sampe lupa ngabarin kamu." "Tapi kamu nggak apa-apa kan?" tanya Sisi lagi. Niki tersenyum lalu menggeleng. Sisi ikut tersenyum lega. Di usapnya lembut lengan Niki yang bertengger di atas pinggangnya. "Aku kuatir banget. Takut kamu kenapa-napa." Niki langsung mencium pucuk kepala Sisi dan mengusapnya lembut. "Sekarang kamu tidur ya." titah Niki. Pergerakan tangan Sisi tak berhenti, ia terus mengusap punggung tangan Niki. "Nik," panggil Sisi pelan. Niki hanya menyahutnya dengan gumaman. Sisi ragu mengatakannya. Akhirnya Ia memilih diam saja. "Ada apa?" tanya Niki saat Sisi tak juga mengeluarkan suaranya. Perlahan Sisi memutar tubuhnya, menghadap Niki. Saat Niki akan menarik tangannya, Sisi menahannya. Tangan kanan Niki masih memeluk pinggang Sisi. Sisi mendongak menatap Niki. "Aku---aku---" Sisi benar-benar bingung harus memulai dari mana. Sudah seminggu lebih mereka menikah tapi Niki belum menyentuhnya. Sentuhan Niki hanya sebatas pelukan dan ciuman. Padahal ada hal lebih yang Sisi inginkan. "Kenapa Si?" Rupanya Niki benar-benar tak paham dengan maksud Sisi. Sisi menurunkan pandangan matanya. Menatap d**a bidang Niki yang terbungkus sweater. Apa mungkin aku yang harus memulainya? Pikir Sisi. Sisi kembali mendongak menatap wajah Niki yang tampak kebingungan. Jemari Sisi perlahan terulur, menyentuh pipi Niki. Lalu merembet ke bibir tebal Niki. Niki sempat menelan ludahnya saat kulit bibirnya bersentuhan dengan jemari lentik Sisi. Dan Niki mulai sadar. Ia tau apa yang di inginkan Sisi saat ini. "Aku ingin----" perkataan Sisi terpotong karena tiba-tiba Niki menggenggam jemari Sisi yang sedari tadi menyusuri wajahnya, menariknya dan menciumnya. Pandangan mata mereka beradu. Dengan gerakan cepat Niki memindah posisi tidurnya. Sedetik saja tubuh Niki sudah berada di atas Sisi. Niki menekuk kedua sikunya untuk tumpuannya agar tak menindih tubuh Sisi. Kedua tangan Sisi sudah melingkar di leher Niki. Niki perlahan mendekatkan wajahnya, menyatukan kening mereka. Pucuk hidung mereka saling beradu dan dengan sangat pelan Niki mencium bibir tipis Sisi. Satu tangannya sudah berpindah menangkup pipi kiri Sisi. Selama ini Niki memang belum meminta haknya. Bukan karena tak ingin, tapi Niki sendiri dalam keadaan lemah. Apalagi dengan penyakit yang bersarang di dalam tubuhnya. Niki melepaskan pagutan bibirnya dengan tiba-tiba saat Ia teringat akan keadaan dirinya. Penyakit. Satu kata yang membuat Niki ragu mengawali semuanya. Sisi tampak bingung dengan perubahan sikap Niki. "Kenapa?" pertanyaan itu sangat lirih dan terlontar dari bibir tipis Sisi. Niki tak bisa menjawab. Ia kembali merebahkan tubuhnya di sebelah Sisi dan kembali menarik Sisi ke dalam dekapannya. "Maaf. Aku sangat lelah. Mungkin efek dari kemotherapy tadi pagi. Tidurlah, sudah malam." Sekali lagi Niki mencium pucuk kepala Sisi tapi semua itu tidak membuat Sisi tenang. Ia semakin gelisah dan bertanya-tanya. Apa Niki tidak menginginkan dirinya? Airmata Sisi perlahan merembes keluar. Ia terus berpikir, apa yang salah pada dirinya hingga Niki tidak mau menyentuhnya? *** Sby 22-12-2017
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD