JKJI 4

1593 Words
*** Sejauh ini hubungan Niki dan Sisi baik-baik saja Tidak ada hubungan badan di antara mereka. Baik Niki atau Sisi lebih memilih bungkam dan tak membicarakan soal peristiwa waktu lalu. Tapi hati wanita mana yang tidak sakit saat suami tidak mau menyentuhnya? Sisi tidak tau apa salahnya hingga Niki tidak mau melakukan hal itu. Apa Niki tidak mencintainya? Sisi hanya bisa menebak-nebak saja tanpa mempertanyakan langsung ke Niki. Meskipun begitu, Sisi tetap tetap sebagai seorang istri. Mempersiapkan semua kebutuhan Niki. "Kalian berantem?" tanya Lani tiba-tiba. Sisi kanan menoleh sesaat dan hanya bungkam. "Pernikahan kalian masih lama jagung, Si. Banyak rintangannya. Yang udah nikah puluhan tahun aja bisa cerai lebih yang masih dalam hitungan bulan? Inget. Komunikasi itu penting. Selesaikan masalah kalian dengan kepala dingin." Sisi tersenyum tipis mendengar nasehat Lani. Ingin sekali Ia mengingatnya tetapi Sisi Takut. Takut jika Lani marah dan malah berubah saat dilihat dengan Niki. Sisi memilih diam. Suatu saat nanti Ia akan memintanya pada Niki. *** Kondisi Niki semakin hari semakin meningkat. Ia memang rutin memikirkan kemo sesuai anjuran Dokter tetapi di sisi lain Ingin Niki mencari kerja tetapi fisiknya tidak mendukung untuk melakukan hal itu. Hari ini adalah hari dimana Niki harus menepati janjinya. Jika tidak, Niki bisa kehilangan Sisi. Di sisi lain, Sisi juga tengah bingung. Biaya perawatan. Apa yang Ia miliki sekarang takkan cukup untuk menutup semua biaya Rumah Sakit. "Si, ada yang pengen aku omongin sama kamu," ucap Niki lirih dengan tubuh terbaring lemah di atas ranjang Rumah Sakit. Sisi Duduk dan Duduk di kursi sebelah tempat tidur. Tangannya menggenggam erat jemari Niki yang terasa dingin. "Mau ngomongin soal apa, Nik?" "Lebih dulu aku minta maaf sama kamu. Selama ini kamu pasti mikir yang enggak-enggak soal hubungan kita. Apalagi saat malam itu," lanjut Niki. "Aku nggak bisa karena ada alasannya, Si. Aku nggak mau apa yang aku alami ini dampak sama anak kita kelak." Sisi menggelengkan kepalanya pelan. "Kenapa kamu mikir kayak gitu? Penyakit itu datangnya dari Allah." "Ya aku tau. Tapi apa kamu nggak ingat? Kedua orang tuaku meninggal karena penyakit ini dan aku nggak mau penyakit ini akan merenggut anak kita juga." Sisi menundukkan wajahnya dengan airmata yang menggantung di kedua bola matanya. "Hal kedua yang perlu kamu tau, aku mempunyai hutang besar sama teman lamaku." Sisi seketika mengangkat kepalanya dan menatap Niki bingung. "Maksudnya hutang apa, Nik?" "Selama ini aku meminjam uang untuk biaya pengobatanku---" "Kenapa kamu nggak ngomong sama aku soal ini?" potong Sisi. Niki menggeleng pelan. "Aku nggak mau ngerepotin orang lain." "Oke," ucap Sisi tiba-tiba. Ia lalu melepaskan tangannya dari genggaman tangan Niki dan berdiri dari kursinya. "Jadi selama ini kamu nganggep aku orang lain? Aku istri kamu, Nik." "Maafin aku, Si---" Sisi mengangkat kedua tangannya ke atas membuat Niki langsung terdiam. "Aku butuh waktu sendiri, Nik." ucapnya pelan dan langsung pergi meninggalkan Niki. Niki menghela nafas panjang dan membuangnya cepat. Niki tak akan menyesal jika Sisi akan membencinya. Ini semua karena kesalahannya. *** Sisi duduk termenung di kursi ruang tunggu Rumah Sakit. Setelah pergi meninggalkan Niki, Seorang Dokter memangggilnya dan menjelaskan tentang keadaan Niki yang semakin menurun. Pikiran yang negatif juga bisa mempengaruhi kondisi Niki. Kondisi Niki yang memburuk harus segera dilakukan tindakan cepat. Besok adalah jadwal kemo Niki dan Dokter memberikan resep copy obat Niki yang harus segera di tebus. Sisi menatap kertas kecil itu di tangannya. Harga obat Niki tidaklah murah. Untuk obat, Sisi masih bisa mengatasinya. Tapi bagaimana dengan biaya kemo? Sisi menangkup wajahnya. Kepalanya tiba-tiba pusing. Bagaimana caranya Ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu? "Nona Prisi Revalina?" Sisi mendongak saat mendengar namanya di panggil. Sisi mengira seorang Dokter tapi keningnya mengernyit saat Ia mendapati seorang laki-laki asing berdiri di hadapannya. Sisi bangkit dari tempat duduknya dengan gerakan pelan. "Siapa ya?" "Apa Anda Nona Prisi Revalina?" orang itu mengulangi pertanyaannya membuat kepala Sisi mengangguk pelan. "Bisa ikut saya?" "Tunggu. Siapa Anda?" "Nanti akan saya jelaskan. Mari ikut saya---" "Saya tidak mau sebelum Anda memberitahu siapa Anda." kekeh Sisi. Laki-laki di depannya tak menampilkan ekspresi apapun. Hanya berwajah datar dengan pandangan mata lurus menatap wajah Sisi. "Baiklah. Saya tidak akan memaksa Anda untuk ikut dengan saya. Tapi saya tidak bisa menjamin, apakah suami Anda bisa bertahan esok hari." Laki-laki itu langsung pergi meninggalkan Sisi. Sesaat Sisi mencerna perkataan orang itu dan sedetik kemudian Sisi tersadar. "Tunggu!" teriaknya sambil mengejar langkah laki-laki itu. "Mari ikut saya." Laki-laki asing itu menggiring Sisi menuju lobby Rumah Sakit. Sebuah mobil mewah sudah menanti mereka. Laki-laki itu membukakan pintu untuk Sisi. "Silahkan Nona!" Sisi sempat terdiam sesaat. "Apa kalian akan menculikku?" Laki-laki di depan Sisi terkekeh pelan. "Nona Sisi tidak usah takut. Kalaupun saya berniat menculik Anda, besok saya pasti akan sudah tidur di dalam penjara. Mereka pasti akan mengenali wajah saya lewat CCTV Rumah Sakit ini." Sisi mengangguk pelan dan akhirnya masuk ke dalam mobil. Laki-laki asing itu ikut masuk ke dalam mobil dan duduk di jok depan, bersebelahan dengan si pengemudi yang memakai baju sama dengannya. "Kalian akan membawa saya kemana?" tanya Sisi saat setengah jam berlalu meninggalkan Rumah Sakit tapi mobil itu belum berhenti juga. "Sebentar lagi kita sampai, Nona. Pertanyaan Anda akan terjawab semuanya, nanti." "Bagaimana kalian tau soal Niki?" Tak ada jawaban dari mulut mereka. Sisi mendengus pelan karena merasa terabaikan. Akhirnya ia memilih diam. Mobil mewah itu memasuki sebuah rumah yang cukup mewah. Sisi sampai melongo melihatnya. Belum selesai Sisi mengagumi bangunan di depannya tapi pintu mobil sudah terbuka lebar. "Silahkan turun, Nona!" Sisi menutup mulutnya yang sedari tadi terbuka lebar. Pemandangan di depan matanya sangat diluar batas normal. Sungguh mewah dan tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sisi turun dari mobil dengan kepala mendongak, matanya masih menatap sekitarnya. Salah satu dari mereka menggiring langkah Sisi memasuki sebuah rumah dengan pintu yang menjulang tinggi. Sisi benar-benar kagum dengan apa yang dilihatnya. Sisi lalu di bawa ke sebuah ruangan. Ruangan yang sangat luas dan sedikit temaram. Sisi menyipitkan matanya saat menatap sosok yang kini tengah berkutat dengan laptopnya. Ceklek! Bunyi itu membuat kepala Sisi menoleh cepat. Daun pintu yang tertutup rapat dan sudah terkunci. Baru saja Ia akan protes tapi sebuah suara membuatnya terdiam di tempat. "Sudah datang rupanya." ucap Digo pelan. Sisi kembali menatap sosok asing di depannya. Laki-laki itu terlihat melepas kacamatanya lalu menyandarkan punggungnya. Matanya menatap lurus ke arah Sisi. Walau dalam keadaan minim cahaya tapi Sisi bisa melihat dengan jelas wajah laki-laki yang tengah duduk angkuh di kursinya. Alis tebal dan hampir menyatu, hidung bangir dan bibir merah. Sisi sama sekali tak mengeluarkan suaranya. Ia hanya bertanya dalam hati kenapa Ia sampai dibawa ke tempat ini. "Siapa kamu?" tanya Sisi pada akhirnya karena hampir beberapa menit mereka berdua terdiam. Digo tersenyum miring sebelum menjawab pertanyaan Sisi. "Jadi suamimu itu belum menceritakan semuanya?" Kening Sisi mengkerut mendengarnya. Cerita? Soal apa?. "Maksud kamu apa?" "Suamimu itu mempunyai hutang yang jumlahnya sangat besar. Aku tidak percaya jika dia tidak menceritakan hal ini padamu." Sisi semakin bingung. Ia tampak berpikir dan akhirnya Sisi mengingat sesuatu. Tadi di Rumah Sakit, Niki sempat membahas soal hutang. Apa mungkin ini orangnya? "Jadi Anda yang sudah membantu suami saya?" tanya Sisi hati-hati. "Saya ucapkan terima kasih atas bantuan Anda. Saya dan Niki akan segera mengembalikannya." Mendengar ucapan itu membuat tawa Digo pecah. Digo menggelengkan kepalanya beberapa kali. Setelah tawanya mereda, Digo berdehem kecil. "Bagaimana mungkin kalian bisa mengembalikan uang itu?" "Maksud Anda apa ya?" sahut Sisi cepat. "Apa perlu aku tulis semua hutang suami kamu? Tapi aku takut kamu akan pingsan saat melihatnya." "Me-memangnya berapa hutang Niki?" Digo kembali tersenyum miring. Ia lalu bangkit dari tempat duduknya dan melangkah pelan menghampiri Sisi. Berdiri tepat di depan Sisi dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celananya. Dengan jarak sedekat ini, Sisi bisa melihat dengan jelas wajah orang yang telah membantu Niki. "150juta di kali tiga. Itu belum bunganya." Seketika Sisi menutup mulutnya. "Tidak mungkin." serunya pelan sambil menggelengkan kepalanya. "Kamu pikir aku berbohong? Lalu darimana Ia mendapatkan uang sebanyak itu? Kamu tau kan, penyakit yang di deritanya sangat parah dan butuh biaya besar?" Sisi terdiam. Dalam hati Ia membenarkan ucapan laki-laki yang berdiri di depannya. "Kalau saja aku tidak meminjamkan uangku, apa dia bisa bertahan sampai saat ini?" Sisi menelan salivanya dengan sangat pelan. "Te-terima kasih atas kebaikan Anda. Maaf kalau saya sempat meragukan Anda." ucap Sisi lirih dengan pandangan menunduk. "Tak masalah. Aku akan berbuat baik kepada siapapun asalkan orang itu tidak mengecewakanku," Digo melangkah pelan memutari tubuh Sisi. Sisi jadi sedikit mengkerut. "For your information, hari ini harusnya Niki membayar cicilan pertamanya." Sisi semakin menunduk saat langkah Digo berhenti tepat di depan tubuhnya. "Maaf saya tidak tau sampai sejauh itu." ucap Sisi pelan. Digo terkekeh pelan. "Tak masalah. Hari ini Niki tidak menghubungiku, mungkin dia akan membayarnya dengan cara lain." Sisi masih saja menunduk. Sementara tatapan mata Digo sudah menjalar kemana-mana. Dari ujung kepala sampai ujung kaki Sisi. Senyum miring Digo kembali tercetak. "Jaminan yang menggiurkan." Perlahan Sisi mengangkat kepalanya dan menatap wajah Digo yang tampak tersenyum miring. "Jaminan? Maksud Anda jaminan apa?" Seketika senyum Digo menghilang. Pandangan matanya menatap lurus ke arah bola mata hazel Sisi. Digo maju selangkah dan membuat Sisi refleks memundurkan langkahnya. Digo masih saja terus melangkah hingga langkah Sisi terhenti karena punggungnya menabrak daun pintu coklat itu. Kedua tangan Digo langsung mengunci tubuh Sisi dari sisi kanan dan kirinya. Sisi terlihat panik tapi tak ada yang bisa ia lakukan. "Mana mungkin aku akan mengeluarkan uang sebanyak itu dengan cuma-cuma?" Sisi meneguk pelan salivanya. Benae apa yang di katakan makhluk di depannya ini. Tidak mungkin jika uang sebesar itu keluar tanpa syarat. "Apa jaminannya?" tanya Sisi lirih. "Kau akan menikah denganku." *** Sby, 01 Januari 2018
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD