Lopita terhempas ke atas dinginnya lantai, sentuhan ubin yang membekukan seolah mempertegas kehampaan yang kini menggerogoti setiap sudut relung jiwanya. Bukan semata-mata dingin malam yang merayap masuk melalui celah jendela usang yang membuatnya menggigil, melainkan kengerian pekat yang mencengkeram jantungnya dengan cengkeraman yang tak terlepas. Air mata mengalir deras, bagai sungai kepedihan yang membasahi jemarinya yang terkepal erat, sebuah usaha sia-sia untuk membangun perisai dari kenyataan pahit yang menghantamnya tanpa ampun. Keputusasaan menyelimutinya bagai kabut kelabu yang menyesakkan napas, merenggut setiap secercah harapan untuk kembali ke dunianya yang dulu dipenuhi kehangatan mentari dan bisikan kedamaian.
Di sudut benaknya yang kalut, bisikan getir Leon kembali terngiang, sebuah ramalan kelam yang kini menjelma menjadi kenyataan yang merobek-robek hatinya. Udara yang kini ia hirup terasa asing dan tercemar, bukan lagi oksigen kehidupan yang menyegarkan paru-paru, melainkan asap hitam dari malam terkutuk yang telah merenggut kemurniannya, meninggalkan luka menganga yang tak kasatmata namun terasa begitu perih dan menganga.
Di atas sofa beludru yang tampak mewah namun kini terasa mengancam, Elson duduk bagai siluet kegelapan yang mengintai mangsanya. Gurat ketidaksukaan terpampang jelas di raut wajahnya yang keras dan tanpa ekspresi, menyaksikan ketidakpatuhan Lopita dengan sorot mata sedingin es yang menusuk hingga ke sumsum tulang. Dengan gerakan cepat dan mengintimidasi, ia memiringkan tubuhnya yang tegap, langkahnya yang berat memecah keheningan yang tegang bagai guntur yang menggelegar di malam sunyi. Tangannya yang kasar dan kuat mencengkeram rahang Lopita dengan brutal, memaksa wanita itu mendongak, menatap mata elang yang dingin dan tanpa ampun. Sorot mata itu, sedingin baja dan setajam belati, mengingatkan pada malaikat maut yang datang menjemput jiwa-jiwa yang tersesat, mampu membekukan aliran darah dalam pembuluh vena dan meruntuhkan keberanian sekecil apapun yang tersisa dalam diri Lopita.
“Apa kamu tidak mendengar perkataanku?” Tamparan keras kembali menghantam pipi halus Lopita, meninggalkan jejak merah yang membara bagai cap penghinaan yang membekas perih di kulit dan jiwanya, sebuah pengingat brutal akan ketidakberdayaannya. Kekecewaan mendalam atas hilangnya keperawanan wanita yang ia anggap sebagai hak miliknya membakar hatinya hingga menjadi bara yang tak terkendali, menjelma menjadi tindakan keji yang tak mengenal batas. Suara gesper ikat pinggang yang terlepas dari pinggangnya memecah keheningan yang mencekam bagai petir di siang bolong, mengirimkan gelombang ketakutan yang lebih besar ke dalam diri Lopita, meruntuhkan sisa-sisa pertahanannya. Dalam sekejap mata, benda itu melayang di udara, menebas ruang dan waktu dengan kecepatan yang menakutkan, sebelum akhirnya mendarat dengan kejam di punggung ringkih Lopita. Setiap cambukan terasa seperti sayatan belati yang merobek bukan hanya kulitnya yang halus, tetapi juga lapisan-lapisan jiwanya yang rapuh, meninggalkan luka menganga yang akan terus berdenyut dalam ingatannya. Teriakan kesakitan yang selama ini tertahan di kerongkongannya akhirnya pecah, lolongan pilu yang menggema memilukan di setiap sudut ruangan yang menjadi saksi bisu kebiadaban ini, merobek sunyi malam yang kelam bagai jeritan jiwa yang tersiksa.
Tangisan pilu Lopita bercampur dengan rintihan lirih yang menyayat hati, menciptakan sebuah simfoni kepedihan yang menusuk kalbu siapapun yang mendengarnya, sebuah melodi duka yang tak berkesudahan. Mengapa ia harus mengalami siksaan seberat ini? Dosa tak terampuni apa yang telah diperbuatnya hingga takdir sekejam ini menimpanya, merenggut kebahagiaan dan masa depannya yang cerah? Setiap cambukan yang mendarat di tubuhnya terasa seperti palu godam yang menghancurkan sisa-sisa harga dirinya yang rapuh, semakin membuatnya terpuruk dalam jurang keputusasaan yang tak berujung, sebuah kegelapan tanpa cahaya.
"Ampun ..., ampun ..., sakit ...," Lirihnya tercekat di antara isakan yang tak terkendali, suara yang hampir tak terdengar bagai bisikan angin malam yang putus asa. Air mata terus mengalir, membasahi lantai di bawah wajahnya yang pucat pasi bagai kanvas tanpa warna. Tangannya yang gemetar berusaha sekuat tenaga melindungi tubuhnya yang terasa semakin remuk dan perih, namun setiap tangkisan hanya menambah rasa sakit, membuat air matanya semakin deras mengalir bagai hujan badai yang tak kunjung reda, membasahi bumi yang kering kerontang.
Hingga akhirnya, kekuatan Lopita benar-benar terkuras habis. Tubuhnya terkulai lemas tak berdaya, menyerah pada kebrutalan yang tak berkesudahan, bagai layu sebelum berkembang. Di saat itulah, Elson dengan napas terengah-engah dan tatapan mata yang kosong tanpa secuil pun belas kasihan menindih tubuhnya yang ringkih, sebuah penindihan yang terasa begitu berat dan menghancurkan. Tanpa perasaan dan tanpa sedikit pun keraguan, ia merenggut paksa kehormatan wanita yang sudah tak berdaya ini, melumatkan sisa-sisa harga dirinya yang telah hancur berkeping-keping bagai kaca yang terpecah belah.
Elson berbisik dengan nada penuh nafsu dan keangkuhan yang menjijikkan, tubuhnya masih bergerak maju mundur dalam ritme yang menyakitkan, mencari kepuasan yang sama seperti yang pernah Lopita rasakan dalam pelukan Leon, sebuah perbandingan yang merendahkan. "Kamu menyukainya?" tanyanya, seolah mengharapkan jawaban penuh gairah dari wanita yang pandangannya sudah kosong dan jiwanya telah terbang menjauh ke tempat yang lebih aman. "Bagaimana rasanya? Pasti aku jauh lebih baik dari Leon, bukan?" Kebanggaannya yang buta dan egois membuatnya tak menyadari bahwa Lopita telah kehilangan kesadarannya, jiwanya telah terbang menjauh dari tubuh yang kini hanya menjadi cangkang kosong, seorang mayat hidup yang tak lagi merasakan sakit, kenikmatan, atau bahkan harapan sekecil apapun.
Di tengah pusaran gairah yang membakar, ketika sentuhan demi sentuhan menjelajahi setiap lekuk tubuh yang merespons pasrah dalam keputusasaan, tiba-tiba suara ketukan pintu yang kasar memecah keheningan kamar yang penuh dosa. Irama napas yang memburu dan desahan tertahan seketika terhenti, digantikan oleh kejengkelan yang membayangi wajah Elson bagai awan gelap yang menutupi matahari. Awalnya, pria itu mencoba mengabaikan interupsi yang mengganggu kenikmatannya yang sadis, melanjutkan pelampiasan nafsunya yang membara seolah tak ada dunia lain di luar tembok kamar ini. Namun, suara berat Jackson yang terdengar jelas dari balik pintu memaksa egonya yang besar untuk menyerah pada realitas.
"Maaf, Mr. Elson," suara Jackson terdengar sedikit tergesa, namun tetap penuh hormat dan penuh kehati-hatian, "ada tamu penting dari Prancis yang ingin bertemu Anda sekarang juga."
Sebuah geraman tertahan lolos dari bibir Elson yang mengeras. Dengan berat hati dan rahang mengatup rapat, ia harus menahan gejolak nafsunya yang belum mencapai klimaks yang ia inginkan, sebuah pengorbanan yang terasa pahit di lidah dan merusak kesenangannya. Namun, naluri bisnisnya yang tajam dan selalu waspada segera mengambil alih kendali. Ia sadar betul, kesepakatan dengan tamu dari Prancis ini jauh lebih krusial dan berpotensi menghasilkan keuntungan yang jauh lebih besar daripada memuaskan egonya saat ini. Toh, pikirnya sinis sambil melirik tubuh tak berdaya di bawahnya, ia bisa melanjutkan "permainannya" nanti, setelah urusan yang lebih menguntungkan ini selesai dan ia kembali memiliki waktu luang.
Kemudian, sorot matanya yang penuh nafsu dan kepemilikan kembali tertuju pada wajah pucat Lopita yang terbaring lemah di bawahnya bagai boneka yang rusak. Sebuah senyum sinis dan merendahkan terukir di bibirnya saat ia membungkuk, menjilat pipi Lopita dengan gerakan posesif yang menjijikkan, seolah menandai bahwa wanita ini adalah miliknya, sebuah properti yang bisa ia gunakan dan tinggalkan sesuka hatinya. "Kamu tidak perlu kecewa," bisiknya dengan nada rendah dan penuh janji palsu yang terdengar seperti ancaman terselubung, "aku akan segera kembali dan memuaskanmu lagi." Kata-kata itu bagai belati beracun yang menusuk jantung Lopita yang sudah terluka parah, mengingatkannya akan nasibnya yang malang dan ketidakberdayaannya.
Setelah suara pintu tertutup rapat dan kesunyian yang mencekam kembali merenggut kamar itu, pertahanan terakhir Lopita akhirnya runtuh. Tangisnya pecah sejadi-jadinya, luapan emosi yang selama ini tertahan di dalam dadanya kini membanjir tak terkendali bagai air bah yang merobohkan bendungan. Ia mengusap kasar sekujur tubuhnya yang terasa kotor dan ternoda, hingga kulitnya memerah dan perih akibat gesekan kasar itu, sebuah usaha sia-sia untuk menghapus jejak kebiadaban yang baru saja terjadi. Setiap sentuhan mengingatkannya pada invasi brutal yang baru saja ia alami, merobek-robek harga dirinya hingga berkeping-keping yang mustahil untuk disatukan kembali. Jiwanya benar-benar terguncang hebat, terombang-ambing dalam lautan trauma dan keputusasaan yang tak berujung. Ia merasa begitu kecil dan tak berdaya untuk melawan arus kehidupan kejam yang menyeretnya semakin dalam ke dalam jurang penderitaan yang gelap gulita. Kehidupan macam apa ini? Ratapnya dalam hati yang hancur, sebuah pertanyaan tanpa jawaban yang menggema di tengah kesunyian kamar yang mencekam bagai gaung kesedihan yang abadi. Ia merindukan kebebasan, kedamaian, dan dirinya yang dulu, sebelum malam terkutuk itu merenggut segalanya dengan kejam. Namun, harapan itu terasa begitu jauh dan mustahil untuk digapai, bagai bintang yang redup di tengah malam yang gelap gulita, hampir tak terlihat dan terasa begitu dingin.