Elson menepuk tangannya sekali, sebuah titah tanpa suara yang langsung membungkam sisa-sisa erangan dan napas terengah-engah di dalam kamar itu. Permainan panas yang baru saja usai, sebuah tontonan memuakkan yang melibatkan tubuh Lopita yang terikat, harus segera diakhiri. Kepala Elson bergerak sedikit, sebuah isyarat dingin yang memerintahkan anak buahnya untuk angkat kaki dan meninggalkan sang 'tuan' bersama 'mainan' yang sudah ternoda. Dengan kepatuhan yang terpatri dalam setiap gerakan, para pria itu meraih pakaian mereka yang berserakan di lantai, mengenakannya dengan tergesa sebelum akhirnya menghilang di balik pintu kayu yang tertutup rapat, meninggalkan keheningan yang sarat akan ketegangan dan ancaman.
Sebenarnya, bara hasrat Elson pada Lopita masih membakar urat nadinya, namun pikirannya kini diliputi oleh kekacauan yang hebat. Fakta bahwa 'miliknya' itu telah disentuh, dinodai oleh Leon, menorehkan luka yang menganga pada harga diri dan egonya yang terlampau besar. Sebuah kejengkelan yang luar biasa mencengkeramnya, membuatnya kehilangan pijakan dan tak tahu bagaimana cara melampiaskan kemarahan yang membuncah di dadanya. Rasanya jijik membayangkan menyentuh wanita yang telah disentuh oleh rivalnya, namun di sisi lain, hasratnya yang gelap dan posesif tak mampu ia tahan sepenuhnya. Sebuah pertentangan sengit berkecamuk di dalam dirinya, antara keinginan untuk memiliki secara utuh dan rasa jijik yang menggerogoti, menciptakan sebuah koktail emosi yang berbahaya.
Setelah pintu tertutup rapat, menyisakan hanya mereka berdua di ruangan yang terasa pengap dan penuh dosa itu, Elson menatap mata Lopita yang basah oleh air mata ketakutan dan kehinaan. Dengan gerakan kasar dan tanpa sedikit pun belas kasihan, ia menarik lakban hitam yang membungkam mulut wanita itu. Sebuah jejak merah yang jelas langsung tercetak di bekas lakban tersebut, sebuah saksi bisu betapa kencangnya bungkaman itu telah menyiksa kulit halusnya, meninggalkan perih fisik di atas luka batin yang menganga.
“Aku mohon ... lepaskan ....” suara Lopita akhirnya pecah, menggema lirih untuk pertama kalinya di ruangan itu, sebuah bisikan yang sarat akan permohonan dan keputusasaan yang mendalam. Suaranya bergetar hebat, mencerminkan ketakutan yang mencengkeram setiap sel tubuhnya, harapan yang hampir padam.
“Pulang?” Elson tiba-tiba mengubah nada suaranya, dari dingin dan mengancam menjadi lembut, sebuah perubahan tak terduga yang justru terasa lebih mengintimidasi. Lopita, yang masih diliputi trauma dan ketakutan, mengangguk lemah seperti anak kucing yang kehilangan induknya, matanya yang basah memancarkan kerinduan yang mendalam akan kebebasan, keamanan, dan pelukan hangat seorang keluarga.
“Ini rumah mu sekarang,” ujar pria itu dengan nada posesif sambil mengusap pipi basah Lopita dengan gerakan yang ambigu, antara sentuhan lembut dan klaim kepemilikan yang dingin. Kemudian, jemarinya yang nakal dan penuh nafsu yang tertahan menjalar turun ke bibir wanita tersebut, menyentuhnya dengan gerakan sensual yang mengancam, seolah ingin memiliki sepenuhnya jiwa dan raga wanita yang terperangkap di hadapannya.
Lopita mencoba sekuat tenaga menjauhkan wajahnya, menghindar dari sentuhan jemari Elson yang terasa menjijikkan dan mengancam. Ia menggeleng-gelengkan kepala lemah, air mata kembali menetes membasahi pipinya yang pucat, menolak kenyataan pahit yang kini mengurungnya dalam mimpi buruk yang tak berujung.
“Johson, keponakan kamu itu akan baik-baik saja tanpa mu,” ucap Elson tiba-tiba, sebuah kalimat kejam yang bagai cambuk menghantam hati Lopita yang rapuh. Mata wanita itu langsung menatapnya dengan penuh rasa ketakutan yang tak terperi, membayangkan keselamatan satu-satunya keluarganya kini berada di ujung tanduk kekejaman pria di hadapannya.
“Apa perlu aku bawa kesini juga? Bocah itu cukup menguntungkan juga jika aku perdagangkan,” lanjut Elson dengan seringai dingin yang mengerikan. Otak jahat pria itu bekerja dengan kejam, melihat keponakan Lopita sebagai alat untuk semakin mengikat wanita itu padanya, atau bahkan sebagai komoditas yang bisa ia perjualbelikan demi keuntungan pribadi dan kepuasan sadisnya.
“Jangan lakukan itu, aku mohon ... jangan sakiti dia ....” Lopita memohon dengan suara tercekat, air mata mengalir deras membasahi wajahnya yang pucat pasi. Keputusasaan mencengkeram hatinya lebih kuat dari tali yang mengikat tubuhnya, merenggut sisa-sisa harapan yang masih tersisa. Seharusnya ia mendengarkan ucapan Leon, pria yang sempat menawarkan jalan keluar namun ia tolak karena ketakutannya yang irasional. Andai waktu bisa berputar kembali, ia pasti akan mengambil kesempatan itu dan kehidupannya pasti akan kembali normal, bebas dari mimpi buruk yang diciptakan oleh Elson. Tetapi semua sudah terlambat, tak ada jalan untuk kembali pulang, tak ada harapan untuk melarikan diri dari cengkeraman Elson yang kejam. Ia kini terperangkap dalam neraka yang diciptakan oleh keputusannya sendiri dan kejahatan pria di hadapannya.
"Semua tergantung padamu,” ujar Elson dengan nada dingin sambil menakup rahang Lopita dengan tangannya yang kuat, memaksa wanita itu menatap matanya yang penuh ancaman. “Sebaiknya kamu jangan bertindak bodoh lagi. Jika tidak, aku bisa membawa mayatnya di hadapanmu,” ancamnya dengan kejam, kata-kata itu bagai pisau yang menusuk jantung Lopita.
Elson tersenyum jahat, sebuah seringai kemenangan yang dingin dan menusuk, lalu dengan gerakan meremehkan ia mulai melepaskan ikatan yang membelenggu tubuh Lopita. “Kamu cukup mematuhi semua perintahku. Melakukan apa yang aku mau, maka kamu akan baik-baik saja,” bisiknya penuh ancaman sambil satu per satu ikatan di kaki Lopita terlepas, membebaskan fisiknya namun tidak jiwanya yang sudah terperangkap dalam ketakutan.
“Pekerjaan mu cukup mudah dan menyenangkan,” Elson membuka ikatan salah satu tangan Lopita dengan gerakan lambat, matanya menatap wanita itu penuh ancaman sebelum akhirnya melepaskan tangan lainnya. “Kamu cukup menikmatinya,” kini akhirnya Lopita terbebas dari ikatan yang menyiksa secara fisik, namun mentalnya sudah hancur dan terpenjara dalam trauma yang mendalam. Kebebasan fisiknya terasa hampa di tengah penjara psikologis yang mengurungnya.
“Buka pakaianmu,” titah pria itu dengan suara yang sangat mengintimidasi, penuh dengan mata lapar yang tak sabar menikmati pemandangan 'indah' di depannya, menganggap tubuh Lopita hanyalah objek pemuas nafsunya, tanpa sedikit pun menghargai martabatnya sebagai seorang manusia. Perintah itu bagai pukulan telak bagi Lopita, meruntuhkan sisa-sisa harga dirinya yang sudah rapuh.
Lopita menggeleng pelan, sebuah penolakan tanpa daya yang terperangkap di kerongkongannya. Ia bagai buah simalakama, harga dirinya remuk redam di bawah tirani pria yang tak kenal ampun ini.
"Lepas!" desis Elson, nada suaranya mulai mengeras, mengoyak kesabaran yang nyaris habis.
Dengan berat hati yang tak tertahankan, jemari Lopita bergerak membuka satu per satu helai pakaiannya. Setiap sentuhan terasa seperti torehan luka baru, mengukir penghinaan yang mendalam di relung hatinya.
Sebuah seringai penuh hasrat terlukis di wajah pria itu, matanya menelusuri setiap lekuk tubuh di hadapannya dengan tatapan lapar. Ia seolah buta, tak menyadari bahwa "mainan" ini telah kehilangan kesempurnaannya. Tangan kanannya terangkat tanpa sadar, hendak menjamah bagian depan yang menonjol itu namun, Lopita dengan sigap menarik diri. Ia takkan lagi membiarkan siapapun menyentuhnya dengan nista.
Reaksi dingin Lopita bagai tamparan keras bagi Elson. Tatapan matanya berubah setajam belati, mengisyaratkan amarah yang mendidih akibat penolakan itu.
"Kau pikir, sentuhan Leon lebih suci dari sentuhanku?" lontarnya, setiap kata bagai anak panah yang merobek harga diri Lopita. Dengan angkuh, Elson menjatuhkan diri di kursi tempat Lopita terikat beberapa saat lalu. "Naik," perintahnya bagai seorang raja yang menitahkan. "Hadap aku, biar ku lihat jelas wajahmu," lanjutnya, sukses membuat cairan pahit tertelan paksa di tenggorokan Lopita. Ia membeku, enggan menuruti titah itu. Sementara Elson justru menyandarkan tubuhnya dengan santai, seolah menyambut kedatangan Lopita di singgasana pangkuannya.