Napas Lopita tercekat, tubuhnya membeku oleh dinginnya pengkhianatan yang membungkus amarah. Agensi, dan dalangnya tak lain adalah Jackson, telah menjebaknya dalam mimpi buruk yang nyata.
Mata Lopita berkilat, menahan tsunami air mata yang menggenang. "Mr. Jackson?" bisiknya tercekat, nada suaranya sarat akan kekecewaan dan pertanyaan tak terjawab. Bagaimana mungkin agensi yang selama ini ia percayai tega menjerumuskannya ke dalam situasi mengerikan ini?
"What're you doing here, darling?" sapa Jackson, nada suaranya ringan seolah tak ada badai yang baru saja menghantam Lopita.
Lopita nyaris meledak, siap meluapkan amarahnya yang membuncah mendengar pertanyaan setenang itu. Namun, sebelum kata-kata tajamnya terucap, Leon muncul bagai siluet misterius, auranya dingin dan mengintimidasi.
"Apa kau tidak bisa menjaganya dengan baik? Sangat merepotkan," sentil Leon, kalimatnya menusuk Jackson hingga membuatnya terperangah menyadari kamar mewah itu milik Leon.
"Mr. Leon?" Jackson tercekat, bukan rahasia lagi bara permusuhan antara Elson dan Leon tak pernah padam.
"Who else?" jawab Leon dingin, tatapannya menusuk.
"Maafkan saya sudah mengganggu ketenangan Anda, saya pastikan ini tidak akan terulang lagi," ujar Jackson, suaranya kaku meski berusaha mempertahankan profesionalitas. Kemudian matanya beralih pada Lopita, "come on darling," ajaknya.
Refleks, Lopita mundur selangkah, tubuhnya menabrak tubuh Leon, sebuah penolakan bisu namun tegas. Matanya mencari jawaban di balik bahu pria di belakangnya, menelisik tatapan datar Leon, mencoba mencari celah kebenaran atas ucapan Leon sebelumnya. Tidak, ini semua pasti salah. Keberadaannya di sini terasa begitu mengerikan. "Aku harus pulang!" serunya pada Jackson, sebuah keputusan final untuk mengakhiri mimpi buruk ini, meninggalkan luka menganga yang akan membekas selamanya di relung hatinya.
Leon hanya membisu, memperhatikan punggung rapuh yang semalam mengisi kehangatan malamnya. Jackson, setelah mengangguk hormat pada Leon, memberi isyarat kepada para pria berbadan besar di belakangnya untuk menyeret wanita itu kembali ke hadapan Elson.
Dengan gerakan cepat dan brutal, seorang pria membekap Lopita, membungkam hidung dan mulutnya dengan kain kecil yang menyeruak bau obat bius. Serangan mendadak itu membuat Lopita meronta panik, namun kegelapan mulai menggerogoti kesadarannya, tenaganya terkuras hingga akhirnya semuanya lenyap dalam kegelapan tak berujung. Pria lainnya kemudian memanggul tubuh tak berdaya Lopita, membawanya seperti karung beras menuju atasannya, Elson.
Setelah para pengawal itu berhasil melumpuhkan mangsanya, Jackson kembali berpamitan dengan sopan kepada Leon. "Maaf atas ketidaknyamanan Anda, Mr. Leon."
Leon tetap membisu, ekspresinya tak terbaca, membiarkan Jackson pergi membawa wanita malang itu. Sejenak ia terdiam, sebelum akhirnya mengabaikan segalanya dan menutup pintu kamar hotelnya, memutus rantai kejadian mengerikan yang baru saja terjadi.
Sementara itu, perlahan, kelopak mata Lopita bergetar, terbuka dalam remang sisa kesadaran yang belum sepenuhnya pulih. Kepalanya berdenyut, pandangannya berkunang-kunang. Namun, di tengah kaburnya penglihatan, sebuah pemandangan vulgar menampar retinanya: seorang wanita dikelilingi tiga pria, mempertontonkan hasrat dan gairah yang seharusnya tersembunyi dari mata publik. Terduduk dengan tangan dan kaki terikat erat, Lopita yang mulai sadar berupaya menjerit meminta pertolongan, namun mulutnya terbungkam lakban, seolah semua inderanya dilumpuhkan kecuali mata yang dipaksa menyaksikan adegan tak pantas itu secara terang-terangan.
Kesadaran penuh akhirnya menyeruak, dan bersamaan dengannya, rasa takut yang mencengkeram, terlalu hebat untuk diucapkan. Hanya isak tangis histeris yang tertahan di balik bibir yang terbungkam rapat. Ia meronta, berusaha melepaskan diri dari jeratan tali yang mengikatnya, namun sia-sia.
Desahan-desahan penuh nafsu itu bagai siksaan tanpa akhir yang menusuk gendang telinganya. Dunia macam apa ini? Betapa mengerikannya kenyataan ini? Tidak, awalnya dunianya baik-baik saja, sebelum ia menerima pekerjaan dari Jackson, pria yang mengaku sebagai pemilik agensi besar dan terpercaya, namun nyatanya tak lebih dari seorang mucikari.
Di tengah kekalutan yang menyesakkan, tiba-tiba sentuhan kasar dan posesif menjalar di lehernya dari belakang. Meski terikat, Lopita tersentak, berusaha melihat pemilik tangan yang berani menyentuhnya dengan begitu kurang ajar. Elson. Tangis Lopita pecah semakin histeris, memohon ampun dan kebebasan. Kepalanya menggeleng kuat dalam permohonan, namun pria itu justru mendengus, menghirup aroma rambut hingga ke leher dan bahunya tanpa permisi.
Erangan tangis tak jelas itu berusaha menghentikan invasi Elson, dan pria itu akhirnya berhenti. Ia merangkul Lopita dari belakang, membisikkan pertanyaan yang dingin dan mengancam, "Apa seperti itu Leon menikmati tubuhmu?" Desisnya bagai suara iblis yang menahan amarah.
Lopita hanya bisa menangis tersedu-sedu, perasaannya tercabik-cabik oleh berbagai emosi yang tak tertahankan.
Tiba-tiba, dengan gerakan kasar, Elson mencengkeram rahang Lopita, memaksanya menoleh ke samping. "Seharusnya kamu milikku seutuhnya!" bentaknya penuh kejengkelan.
"Berani sekali kamu menyerahkan tubuhmu begitu saja kepada orang itu," mata Elson membara seperti bara api yang siap melahap.
"Dasar w************n!" tukas Elson sebelum menghempaskan wajah cantik Lopita yang sudah basah oleh air mata dengan kasar.
Bukan hanya kata-kata tajam yang menghantam, tetapi juga tamparan bagai petir menyambar pipi Lopita, meninggalkan jejak merah membara. Adegan intim yang semula panas membeku seketika, para pelakonnya terkesiap sebelum Elson, sang penguasa keji, memberi isyarat untuk berhenti lalu mereka melanjutkan adegannya lagi.
Derasnya hantaman itu mengayunkan kepala Lopita dengan brutal, dan sengatan nyeri menjalari setiap inci kulit wajahnya yang memanas. Rambutnya yang tergerai tak beraturan kini menjadi tirai kelam yang menyembunyikan jejak air mata dan lebam. Kakak ... Hanya nama itu yang mampu dirapalkan batin Lopita, memanggil sosok pelindung yang selalu hadir dalam suka dan duka. Namun kini, ia terperangkap dalam sangkar kengerian, sebuah neraka yang nyata.
Elson berlutut, merendahkan diri hingga sejajar dengan tatapan pilu Lopita. Jemarinya yang dingin menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah yang dulunya berseri. "Lalu, apa yang tersisa darimu sekarang?" pertanyaan itu bagai belati yang menusuk.
"Kau datang padaku dalam keadaan sudah tak sempurna lagi," bisiknya seraya mengusap bekas tamparan yang kian memerah dengan gerakan mengejek.
"Kau bukan lagi berlian yang berkilau, melainkan kerikil sungai yang bahkan tak layak dipandang, apalagi dicicipi," setiap kata Elson adalah anak panah yang menghujam jantung Lopita.
"Ah, sebuah ide brilian!" serunya tiba-tiba, menoleh ke arah para pemeran yang masih menikmati setiap adegannya, "... kau bisa menggantikan posisinya." Senyumnya mengembang, penuh dengan kebusukan, sementara Lopita menggigil histeris, menggelengkan kepala dalam teror yang tak terperi, memohon dalam diam agar jangan dipaksa melakukan perbuatan nista itu.
"Tidak?" Elson pura-pura mengerti, namun tatapannya tetap dingin dan menusuk. Lopita terus menggeleng, penolakan yang jelas namun tak digubris.
"Lantas, apa yang kau inginkan?" Elson terus memainkan permainan keji ini, menguliti mental Lopita yang sudah di ambang kehancuran.
"Ah, aku menginginkan seluruh tubuhmu. Ginjalmu, jantungmu yang berdebar ketakutan, bahkan retina matamu yang indah itu," tawa kejamnya menggema, "mungkin tangan dan kakimu tidak terlalu berguna, bisa kuberikan sebagai santapan untuk anjing-anjing kelaparan." Ucapan mengerikan itu bagai cambuk yang mencambuk bulu kuduk siapapun yang mendengarnya.
Mendengar rangkaian kata-kata keji itu, air mata Lopita tak terbendung lagi, membasahi wajahnya dengan keputusasaan yang mendalam. Inikah akhir tragis dari kisahnya?