TERJEBAK ATAU JEBAKAN

1028 Words
Tempat tidur king size itu kini bukan lagi sekadar tempat beristirahat, melainkan altar bisu bagi sebuah pertempuran keji. Seprai putihnya yang semula suci kini kusut masai, selimut tebal teronggok tak beraturan seperti bangkai harapan, setia merekam jejak pergulatan paksa yang baru saja merenggut ketenangan. Di balik kekacauan tekstil itu, membeku sosok Lopita. Dinginnya bukan sekadar suhu ruangan, melainkan trauma yang merayap dan membekukan hingga sumsum tulangnya. Tatapannya kosong, sebuah jendela jiwa yang tertutup rapat, menyembunyikan kengerian yang baru saja mengoyak kehormatannya untuk kali kedua. Raungan kesakitan dan keputusasaan menggema di benaknya, sebuah orkestra penderitaan yang melumpuhkan setiap inci tubuhnya. Ia ingin menjerit, memberontak, menyalurkan gelombang sakit yang menyesakkan d**a, namun tubuhnya terasa seperti terpatri ke kasur. Otaknya lumpuh, tak mampu mengirimkan perintah untuk sekadar menggerakkan jemari. Sementara itu, Leon muncul dari kamar mandi, segar dan tanpa beban, seolah jejak "pertempuran" yang ia nikmati telah sirna bersama bilasan air. Uap tipis masih berputar liar di sekitar tubuh atletisnya yang hanya dibalut handuk putih di pinggang. Matanya melirik sekilas pada gundukan di balik selimut—Lopita, yang masih terperangkap dalam dunianya yang membeku—tanpa setitik pun empati. Raut wajah Leon yang keras dan dingin tak mengkhianati sedikit pun penyesalan, apalagi rasa bersalah. Dengan gerakan acuh tak acuh, ia mulai mengenakan pakaiannya, jas mahalnya tersampir di bahu lebar, bersiap melanjutkan hari seolah tak ada kehancuran yang baru saja menodai kemewahan kamar itu. Kemudian, kata-kata Leon menghunus bagai belati, mencoba menarik Lopita kembali ke permukaan realitas yang menyakitkan. "Jika kau tak beranjak dari ranjangku, akan kuanggap kau masih merindukan sentuhanku," ucapnya dengan nada dingin yang mengancam, suaranya bagai bisikan mimpi buruk yang menggerogoti sisa-sisa kewarasan Lopita. Keheningan membentang sebagai jawabannya. Leon mendengus rendah, lalu melemparkan sebuah layar tablet ke atas tempat tidur. Layarnya menyala, menampilkan rekaman CCTV di kamar ini. Sambil memasang jam tangan mewahnya, Leon berkata dengan nada datar namun menusuk, "Seharusnya aku yang merasa harga diriku terampas." Kata-kata itu menghantam Lopita yang terduduk terbungkus selimut, matanya terpaku pada layar, mencerna setiap detail video yang terpampang nyata. Rasa tak percaya bercampur malu menggerogoti hatinya bagai asam. Bagaimana mungkin? Bagaimana ia akan menghadapi tatapan kecewa keluarganya jika rekaman ini sampai ke tangan mereka? Di tengah pusaran ketakutan dan kehancuran, tiba-tiba Leon berdiri di tepi tempat tidur, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, memancarkan aura d******i yang dingin dan tak terbantahkan. "Kau punya satu kabar baik dan satu kabar buruk," ucapnya tanpa emosi. Dengan mata basah dan tatapan bercampur aduk antara harapan dan ketakutan, Lopita menoleh ke arah pria itu. "Kabar baiknya, kau selamat dari pria yang memberimu obat perangsang itu. Kabar buruknya ...," Leon menjeda, tatapannya dingin menusuk, "... kau tidak akan selamat dari mereka setelah ini." Sebuah ambiguitas yang justru menebarkan kengerian yang lebih dalam. "Sudah kuperingatkan semalam, tapi kau mengabaikan 'niat baikku'," lanjutnya, seolah menegur anak kecil yang bandel. "Mereka pasti sebentar lagi akan datang mencarimu," tebak Leon, seolah membaca alur tragedi yang akan datang. "Bersiap-siaplah." "Aku ingin pulang," lirih Lopita, suara pertamanya pecah oleh ketakutan dan getaran hebat. Leon menatapnya datar, tanpa setitik pun belas kasihan. "Kesempatanmu hanya semalam, dan sekarang percuma kau menyesalinya. Kau sendiri yang memilih." Ucapan itu menghantam Lopita bagai petir di siang bolong, menghentikan waktu dan merenggut pijakannya. Dunianya runtuh di jurang keputusasaan yang tak terduga, menjadikannya tumbal dari malam kelam yang tak pernah ia bayangkan. Tiba-tiba, dering ponsel Leon memecah keheningan yang menyesakkan. Dengan gerakan santai, ia meraihnya dari saku dalam jas, lalu tanpa menatap Lopita, hanya melontarkan perintah dingin, "Bersihkan dirimu," sebelum menjauh untuk menerima panggilan pribadinya. Lopita membeku di tempatnya, saliva tertelan pahit di kerongkongannya yang kering. Ia terhuyung dalam kebingungan, tak tahu arah mana yang harus dituju, apalagi membayangkan labirin nasib yang menantinya. Bahkan, di mana sebenarnya ia berada pun masih menjadi misteri yang mencekam. Di bawah guyuran air shower yang panas, suara gaduh dari otaknya menjelma menjadi badai di benaknya. Ketakutan, kecemasan, dan kekhawatiran berbaur menjadi satu pusaran yang menyesakkan, merobek ketenangannya. Saraf-saraf tubuhnya menegang tanpa komando, dan tiba-tiba, jalan pulang terasa seperti ilusi yang semakin menjauh. Lopita keluar dari kamar mandi, masih mengenakan pakaian semalam yang terasa asing dan dingin di kulitnya. Pemandangan di hadapannya adalah kontras yang mencengangkan. Meja kayu panjang kini dipenuhi hidangan lezat yang tampak mengejek perutnya yang mual. Leon duduk di ujung sana, siluetnya tegas di balik kepulan uap kopi hitam. Dengan gerakan tenang, ia meletakkan cangkirnya dan mengarahkan pandangan dinginnya pada Lopita. "Duduk," titahnya, sebuah perintah yang tak mengizinkan penolakan. Seperti domba yang tersesat di padang asing, Lopita menarik kursi dan duduk, meski rasa lapar tak menyentuh perutnya. "Makanlah," ujar Leon, nada suaranya datar, tanpa riak emosi. Anehnya, jejak pertempuran semalam telah lenyap. Tempat tidur yang tadinya berantakan dan ternoda kini tertata rapi, menebarkan aroma deterjen yang tajam, seolah waktu telah diputar kembali, menghapus semua bukti kengerian. "Jangan pernah membayangkan hidupmu akan kembali normal," suara Leon memecah keheningan, membawa bersamanya kenyataan pahit yang tak terhindarkan. "Udara yang kau hirup setelah tadi malam pun sudah berbeda," lanjutnya, dingin dan tanpa belas kasihan. "Aku tidak ingin berada di sini, atau di mana pun," suara Lopita akhirnya keluar, rapuh namun sarat akan kerinduan yang mendalam. "Aku ingin pulang," ulangnya, sebuah mantra yang ia yakini akan membawanya kembali ke pelukan aman rumah kakaknya, satu-satunya tempat di mana ia bisa merobek topeng ketegarannya dan membiarkan air mata tragedi mengalir bebas. "Silakan saja jika kau ingin mengabaikan peringatanku sekali lagi," jawab Leon, nada suaranya mengisyaratkan pelepasan. 'Mainan' Elson telah ternoda, dan Leon lebih tertarik pada drama yang akan terjadi daripada mempertahankan wanita yang telah disentuhnya. Dengan tekad yang baru tumbuh, Lopita bangkit dari kursinya tanpa sepatah kata pun, bahkan tanpa mengucapkan terima kasih. Langkahnya terarah pada pintu keluar, satu-satunya jalan yang ia yakini akan membawanya kembali ke kehidupannya yang hancur. Leon hanya mengawasinya sekejap, lalu kembali menikmati sarapannya, tak sedikit pun terganggu oleh kepergiannya. Tangan Lopita meraih kenop pintu, membukanya, dan di ambang pintu berdiri Jackson. Senyum manis terukir di bibirnya, namun matanya menyimpan dingin yang menusuk. Di belakangnya, tiga pria berbadan tegap dalam balutan jas hitam berdiri bagai tembok, aura kekuasaan terpancar dari mereka. "Hallo, darling," sapa Jackson, suaranya lembut namun menyimpan ancaman yang tak terucap, sebuah sapaan yang terasa seperti belati yang siap menghunus jantungnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD