Tubuhnya terduduk lemas ke lantai, dengan cepat ayahnya meraihnya dan langsung memeluknya dengan erat.
“Joya!”
“Maaf, sayang. Maafkan ayah, nak.”
“Ayah! Hikk! Hikk!.”
“Ayah disini, sayang. Ayah bersama mu.”
“Jangan takut, ayah bersama mu, sayang.”
Tuan Dika melepaskan lalu memeriksa keadaan nya.
“Kamu baik baik saja, nak!”
“Apa nenek menyakitimu!”
Joya menggelengkan kepalanya.
“Tidak, ayah.”
“Aku baik baik saja. “
“Lalu! Kenapa kamu menangis, nak!” Tanya ayahnya tidak yakin dengan ucapannya, ia kembali memeluknya.
“Itu karena Joya merindukan ibu.”
“Joya, kangen ibu, yah.”
“Ayah tau, nak.”
“Karena ayah juga sangat merindukannya.”
*******
Di kediaman Pratama.
“Ibu!” ujar tuan Dika sedikit berteriak.
“Ibu!”
“Apa kamu sudah kehilangan akal!” ujar nyonya Aida Pratama.
“Benar, aku memang sudah kehilangan akal, ibu.”
“Ibu tau kenapa?”
“Itu semua karena, ibu.”
“Apa?”
“Ayah! Apa yang ayah katakana!” tangkas ibu Lilian.
“Kenapa nada bicaramu seperti itu kepada, ibu?”
“Kenapa kau heran Lilian. Menurutmu apa lagi alasannya kalau bukan karena anak itu!”
“Ibu, selama ini aku sudah cukup bersabar kepada ibu.”
“Tolong jangan sampai aku mengambil keputusan yang akan ibu sesali nantinya.”
“Apa? Jadi sekarang kamu bahkan berani mengancam, ibu?”
“Aku adalah ibumu, Dika.”
“Karena itu, karena kau adalah ibuku.”
“Karena ibu adalah ibuku, jadi selama ini aku mencoba bertahan. Karena kau ibuku, ku turuti segala keinginanmu.”
“Ibu memintaku menikahi wanita yang tidak aku cintai. Karena ibu, aku kehilangan wanita yang aku cintai. Karena ibu juga, aku! Aku terpisah dari putriku selama bertahun tahun.”
“Sudah ibu katakana, anak itu tidak memiliki tempat di rumah ini dan keluargaku.”
“Benarkah!”
“Jika benar begitu! Lalu kenapa ayah sampai menyantumkan nama nya di dalam surat wasiatnya?”
“Apa?” mata ibu dan juga istrinya terbuka lebar mendengar ucapan ayah nya Joya.
“Selama ini aku bingung. Kenapa ibu begitu bersusah payah ingin menjauhkan Anita dan Joya dari keluarga ini?”
“Setelah ayah tau bahwa aku memiliki seorang putri bersama Anita, kenapa ayah diam saja dan tidak pernah mengatakan apa pun?”
“Dan sekarang aku mengerti. Apa yang sudah kalian sembunyikan dari ayah dan aku selama ini. Ternyata sebelum ayah meninggal, ayah sudah mengetahui segalanya.”
“Ayah!"
"Aryan! A..apa yang kau katakan!”
“Rahasia apa?”
Ibu Lilian dan nyonya Pratama terlihat pucat dan panik.
“Jangan bicara sembarangan, Dika.” Ujar nyonya Pratama.
“Kenapa?”
“Apa ibu ingin aku membawakan buktinya kehadapan kalian!”
“Ibu…!” ibu Lilian mulai gusar.
“Sampai kapan pun, hanya Aryan yang akan menjadi pewaris keluarga ini.”
“Tapi kenyataannya, Joya lah darah daging yang sah ku ibu.”
“Tutup mulutmu.”
“Ibu!”
“Sayang….! Apa yang kau katakan?”
“Bagai mana bisa kau mengatakan hal itu? Aryan itu adalah putramu, darah daging mu.”
“Berhenti berpura pura di hadapanku.” Setelah menepis dengan kasar tangan istrinya tuan Dika bergegas hampir keluar dari rumah. Ia seketika menghentikan langkahnya dan berucap.
“Akan kulakukan apa pun untuk melindungi dirinya, dan akan kupasti kan dia mendapatkan apa yang sudah menjadi haknya.” Ujarnya seraya melangkah keluar setelah melontarkan kalimat penutup.
*******
Hari ini Joya dan Rani, mendapat tugas di luar kantor, yaitu menjadi pemandu tamu dari luar negeri.
“Apa kamu merasa lelah, Joy?”
“Hmm, banget.”
“Aku rasa kaki aku lecet deh.”
“Ohya! Coba buka sepatu kamu?”
Joya melepas sepatu hak nya.
“Ya, ampun Joy! Ini sih parah banget.”
“Gak kok, Cuma lecet dikit.”
“Kayak gini kamu bilang lecet dikit!”
“Udah, aku antar kamu ke rumah sakit, ya?”
“Hah?”
“Ya, ampun udah deh, gak usah lebay.” Tolak Joya.
“Joy! Jangan pernah menyepelekan sebuah luka.”
“Apa kamu tau! Dulu itu bibi pengurus rumah aku kakinya sampe di amputasi loh.”
“Hah?”
“Hmm, ya itu. Gara gara ada luka di kakinya tapi gak cepet di obtain.”
“Bayangin aja kalau sampe kaki kamu…”
“Aduh, ya udah, oke.”
‘Kita ke rumah sakit sekarang.”
Joya benar benar tidak habis pikir dengan tindakan Rani. Dia seperti menemukan dirinya pada wanita itu. Terutama keras kepalanya. Kebetulan dari tempat mereka bekerja sebelumnya di dekat nya terdapat rumah sakit, Rani pun bersikeras memaksanya masuk ke rumah sakit tersebut.
“Kamu tunggu disini.”
“Hah? Untuk apa?” Tanya Joya bingung.
“Aku akan ambilkan kursi roda untukmu.”
“Ran! Gak usah, aku bisa kok jalan sampe ke dalam.”
“Udah jangan bawel. Cepet duduk disini. Aku gak akan lama kok.” Kekeh Rani memaksa Joya duduk di kursi tunggu yang tersedia di lobi rumah sakit tersebut. Joya geleng geleng kepala seraya tertawa kecil mengingat tingkah konyol teman baru nya itu.
Joya merasa perih di bagian lecetnya, ia mengerutkan keningnya seraya mencoba perlahan melepaskan sepatunya.
“Ah, A…apa yang anda lakukan?” Tanya Joya terkejut. Karena tiba tiba saja seorang pria berjubah putih berjongkok di hadapannya dan menyentuh kakinya.
“Apa kau tidak punya sepatu lain?”
“Hah?”
“Jika kau tetap memakai sepatu hak ini. Kakimu bisa saja di amputasi.”
“Hah?”
“Apa tidak mengerti ucapan ku?”
“Kau tidak mengerti bahasa manusia?”
“Hah?” Joya merasa kesal karena pria itu tertawa seperti sedang mengejeknya.
“Tetap disini. Jangan kemana mana.”
“Apa?”
“Oh, ternyata kau bisa mengatakan hal lain juga selain, Hah.” Dokter itu mengedipkan matanya lalu pergi meninggalkannya.
“What?” ujar Joya kesal seraya mengerutkan keningnya.
“Apa katanya tadi? Aku tidak mengerti bahasa manusia!”
“Lalu dia pikir aku hewan?”
“Dasar pria menyebalkan.”
“Joy…!”
.
.
.
.
BERSAMBUNG….