Joya bergegas keluar dari dalam mobilnya, ia memeriksa sisi belakang mobil yang baru saja tertabrak.
“Ya, tuhan. Bagai mana ini!”
“Mobilnya lecet.”
Joya melihat ke sekitar, mencari si pemilik mobil.
“Apa yang terjadi?”
DHEG!?
Sontak Joya terkejut, ia berbalik dan matanya langsung menatap bayangan dari seorang pria yang disinari matahari senja. Samar ia dapat melihat bahwa perawakan pria itu terlihat tegas dan sedikit menakutkan.
“Apa semuanya baik baik saja?” Tanya si pria kembali.
“Ah, aku tidak sengaja menabrak mobil ini saat aku memarkirkan mobilku?”
“Benarkah?” si pria itu pun memeriksa mobil yang tertabrak oleh Joya.
“Hanya lecet kecil. Tidak masalah.”
“Apa?”
“Jadi mobil ini adalah milik anda?”
“Benar.”
“Ah, saya minta maaf…”
“Tidak masalah. Kamu boleh pergi sekarang.”
“Apa?” Joya sedikit bingung dengan sikap orang tersebut. Bagai mana bisa dia di minta pergi begitu saja.
“Tapi tuan, saya rasa saya tidak bisa pergi begitu saja.”
“Apa?”
“Maksud saya, bagai mana pun saya sudah merusak mobil anda. Biarkan saya membayar uang perbaikannya.”
“Tapi saat ini saya harus pergi.”
“Lupakan saja, saya akan memperbaiki mobil saya sendiri.”
“Tapi tuan.”
Pria itu mulai merasa sedikit kesal dengan sikap keras kepala nya Joya.
“Begini saja, berikan padaku kartu nama mu.”
“Apa?”
“Kartu nama! Kamu tidak memilikinya?” Joya terlihat bingung bukan karena dia tidak memiliki kartu nama. Hanya saja bingung kenapa tiba tiba pria itu meminta kartu nama nya.
“Bukan kah kamu akan membayar biaya nya?”
“Tentu saja.”
“Aku akan menghubungimu saat mobilnya sudah ku perbaiki.”
“Oh, baiklah.” Setelah menerima kartu nama nya, pria itu bergegas pergi dari sana.
Joya menghela napas, ia mulai merasa lelah.
“Uh, aku sangat lapar.”
Joya bergegas menghampiri warung nasi uduk yang sudah di incar nya sejak tadi. Selesai mengisi perut sampai kenyang Joya kembali ke rumah.
“Dady!” Joya merasa senang karena mengetahui ayahnya ada di rumah saat ini.
“Ayah…!”
“Ayah disini?” Joya terkejut saat melihat bahwa yang saat ini yang sedang berada di rumahnya bukan lah ayahnya, melainkan nenek nya bersama istri pertama ayahnya.
“Nenek!”
“Sedang apa nenek di rumahku?”
“Benar, aku disini. Kenapa sepertinya kamu tidak senang melihat ku mengunjungimu.” Tentu saja Joya tidak akan senang, karena setiap kali mereka bertemu hal buruk pasti terjadi.
“Tante dengar kamu bekerja di perusahaan komunikasi!” ujar ibu Lilian.
“Benar.” Jawab Joya malas.
“Baguslah. Karena kamu sadar akan posisimu.” Ujar ibu Lilian ketus.
“Ingat baik baik. Sampai kapan pun jangan pernah bermimpi memiliki hak apa pun atas harta putraku.”
“Karena sampai kapan pun, kamu tidak akan pernah bisa masuk kedalam keluargaku.” Tegas neneknya.
Joya tertawa di dalam hati, entah berapa kali ia sudah mendengar ucapan tersebut keluar dari kedua mulut wanita tersebut. Sejak ia kecil mereka selalu menegaskan hal tersebut padanya.
“102 kali.”
“Apa?”
Joya mengangkat wajahnya dan memberanikan diri menatap neneknya tersebut.
“102, kalian sudah mengulangi kalimat yang sama.”
“Anak ini…”
“Cukup nek, apa setakut itu kalian akan posisiku!”
“Bukankah aku hanya anak dari istri kedua putramu?”
“Aku juga cuma anak perempuan. Kenapa kalian harus berulang kali mengingatkan padaku akan posisiku di dalam keluargamu.”
“Berani sekali kau bicara padaku seperti itu.”
PLAK!?
Joya menyentuh pipinya yang sedikit terasa nyeri akibat tamparan tersebut.
“Sekarang aku mengerti, bahwa keberadaan kalian tidak aman karena diriku.”
“Tapi tenang saja. Kalian tidak perlu takut, bahkan sepeserpun aku tidak pernah menginginkan uang dari keluarga kalian.”
“Jadi, jika kalian ingin aku tetap diam. Aku mohon dengan hormat.”
“Jangan pernah datang kesini lagi. Atau kalian akan tau akibatnya.”
“Keluar.”
“Berani sekali kau mengusir ibu seperti itu!” bentak ibu Lilian.
“Jika tante berani menyentuhku, akan ku pastikan putramu kehilangan posisinya.”
“Kau…!”
“Tante pasti lebih paham dariku kan?”
Setelah berdebat panjang, dan mendapat kekalahan. Akhirnya nenek dan ibu tirinya itu pun pergi dengan penuh amarah. Namun apa yang di terimanya hanyalah sebatas tamparan, tak sebanding dengan apa yang sudah di terima oleh ibunya dulu.
Sejak kecil ia menjadi saksi kekejaman dari mereka. Tapi cinta dari ayahnya memberi ibunya kekuatan untuk terus bertahan. Kesalahan ibunya adalah menjadi yang kedua dan jatuh cinta kepada pria yang salah.
Joya melangkah masuk kedalam kamar ibunya, ia menatap wajah ibunya dengan air mata berlinang. Selama ini ia selalu merasa terluka setiap kali ia mengingat apa yang sudah ibunya alami.
“Ibu tau…!”
“Joya sangat merindukan ibu.”
“Kenapa ibu meninggalkan Joya sendiri!”
“Joya takut, buk.”
Walau terlihat tegar, namun sejujurnya ia ketakutan saat berhadapan dengan nenek dan ibu tirinya. Walau tubuhnya menjadi tinggi dan besar, namun trauma yang pernah di alaminya akibat kekerasan yang ia alami semasa kecilnya, membuat tubuhnya bergetar setiap kali berhadapan langsung dengan kedua wanita.
“Joya…!” teriakan ayahnya memanggil nama nya mengalihkan pandangannya.
“Ayah! Hikk! Hikk!”
BRUK!?
“Sayang…!”
.
.
.
.
BERSAMBUNG…..