5. Duka

1213 Words
Mobil Avanza hitam itu melaju dengan mulus menyusuri jalan raya ibu kota yang gelap di malam hari. Duduk di kursi kemudi, Roy Rahmadi menatap lurus pada jalan di depannya, konsentrasi pria itu hanya tertuju pada kemampuan dirinya dalam mengendarai mobil, menuju rumah sakit di mana dikabarkan Torro putranya tengah mendapatkan penanganan medis setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Kritis. Masih belum surut rasa terkejutnya kala mendengar kabar itu pertama kali. Ia masih terjaga di dalam kamar ketika mendengar tangis histeris Puspa istrinya dari arah luar, yang baru saja mendapatkan kabar bahwa anak sulungnya mengalami kecelakaan lalu lintas. Tanpa banyak bicara, pria itu segera menyiapkan mobil, lalu terkejut melihat betapa semua orang bersikeras ingin ikut---termasuk Anggia anak bungsunya. Kini, kursi di samping Roy itu dihuni oleh Puspa, air mata masih membasahi kedua pipi, suara tangis tertahan masih terdengar dari bibirnya. Sementara di kursi belakang, Rendy terduduk dengan tenang, pandangan mata pemuda itu terfokus pada satu titik di udara, pikirannya pasti tengah berkecamuk memikirkan Torro saudaranya. Dan Anggi, dia tampak terjaga, rasa kantuk yang dirasakannya sekejap hilang saat diberitahu apa yang telah terjadi pada kakak tertuanya. Keheningan yang menyesakkan melanda ruang kosong di dalam mobil itu. Roy tak menyangka semua akan terjadi seperti ini, di saat perceraian dengan istrinya sudah tampak di depan mata, kabar buruk datang pada waktu yang tidak tepat. Membuat segala hal bertambah buruk bagi keharmonisan rumah tangga bersama istrinya yang memang telah lama tak ia rasakan. Dan dengan terjadinya hal ini, pasti akan semakin sulit untuk menghadapi perpisahan yang akan datang di kemudian hari, terutama bagi anak-anaknya. Roy bahkan belum memberitahu anak-anaknya bahwa ia dan Puspa telah memutuskan bercerai. Pria itu kembali melirik Rendy dan Anggi yang berada di kursi belakang, keduanya tampak tenggelam dalam lamunan mereka sendiri. Sinar haru membayang di matanya, menyadari bahwa mungkin apa yang dilakukan ia dan Puspa saat ini sedikit egois karena tak memperdulikan perasaan anak-anak mereka, tapi Roy merasa perpisaan memang hal yang terbaik, tak mengapa resiko yang akan dihadapi itu tak mudah. Bukankah tak bijak mempertahankan sesuatu yang sudah seharusnya untuk menghilang? Dan untuk Torro---anak sulungnya, Roy tak tahu harus bagaimana lagi menghadapinya, bukan sekali dua kali pemuda itu membuat ulah. Menenggak alkohol, balap liar, serta mengabaikan kuliahnya sendiri adalah beberapa hal dari sekian banyaknya kelakuan Torro yang membuat Roy kecewa. Sekarang, Roy merasa bimbang, anak tertuanya kini tengah dirawat setelah mengalami kecelakaan, firasatnya mengatakan ini tak akan berakhir baik. Ia juga tak berharap banyak akan hal ini. Namun, di dalam hati terdalamnya terlintas sebuah pertanyaan: apa Torro akan membuatnya kecewa lagi dengan cara pergi untuk selamanya tanpa berkata pamit, menyusul mendiang ibu kandungnya Sumirah di alam lain? Tak disadari Puspa, Rendy mau pun Anggi, air mata menggenang di pelupuk kedua matanya dan terancam jatuh. Semua menjadi semakin buruk saat mereka sampai. Ketika mobil telah terhenti di lahan parkir rumah sakit, mereka segera keluar dan memasuki gedung itu. Ada rasa gundah yang menyelinap di hati setiap orang untuk mengetahui kebenarannya, kabar yang akan menepis atau membenarkan firasat yang dirasakan. Dan saat mereka akhirnya sampai di bagian administrasi rumah sakit, untuk menanyakan kondisi Torro, seorang wanita muda berpakaian suster memberi jawaban buruk. "Maaf … saya turut menyesal, korban kecelakaan atas nama Mahardika Rusdiantorro telah dinyatakan tak selamat, korban meninggal saat di perjalanan menuju rumah sakit." Semua orang membeku di tempat, merasa terpukul atas apa yang telah mereka dengar. Kemudian, tangis yang selama ini ditahan akhirnya pecah. Anggi terisak pelan, sementara Puspa menangis, dimulai dari tangisan pilu yang lama-kelamaan berubah jerit menjadi-jadi hingga ibu tiga anak itu tumbang dan hilang kesadaran, tubuhnya lunglai dan hampir saja terjerembap ke lantai jika Rendy tak bergerak cepat untuk menahan tubuh ibunya. Pingsan. Orang-orang yang berada tak jauh dan menyaksikan hal itu segera membantu, Roy dan Rendy serta beberapa orang mengangkat tubuh Puspa untuk dibawa menuju salah satu ruang rumah sakit guna memulihkan kesadaran, berita kematian anak sambungnya sungguh memukul dirinya. Beberapa orang yang merasakan empati turut membantu menghibur Anggi, gadis kecil itu menangis sesenggukan, ucapan duka dan penguat tak henti-hentinya didengar dari mulut orang-orang yang terpancing rasa iba. Roy segera kembali setelah membawa istrinya ke ruang perawatan, pria tinggi dengan rambut yang mulai beruban itu bertanya kepada suster yang berada di balik meja resepsionis, "Di mana sekarang anak saya?" "Korban sekarang masih berada di ruang IGD, masih dalam penanganan dokter sebelum dibawa ke ruang jenazah," jawab suster muda itu, tatapan matanya tampak memancarkan kesedihan setelah melihat kejadian barusan. "Bisa tolong antar saya ke ruangannya?" pinta Roy dengan nada sedikit bergetar. Suster itu menjawab dengan anggukan kepala. Dia meminta suster lain yang kebetulan lewat untuk mengantar pria itu menuju ruang IGD yang dimaksud. Selama menyusuri lorong rumah sakit, Roy berusaha memantapkan hati. Ada bagian dari dirinya yang masih belum percaya, bahwa setiap langkah yang diambil kini membuatnya semakin dekat dengan raga anaknya yang kini telah tak bernyawa. Bagaimana mungkin ini bisa terlihat masuk akal? Sebentar lagi ia akan melihat bahwa anak sulungnya itu tak bergerak. Tak bernapas. Tak hidup. Dan hal ini semakin membuat napasnya tercekat selagi kedua kakinya melangkah. Pintu ruangan bertuliskan IGD itu tertutup rapat saat Roy sampai, suster yang mengantar memintanya untuk menunggu terlebih dulu sementara ia memasuki ruangan dan tak lama setelahnya, keluar dari kamar dengan seorang pria berseragam dokter. "Apa Anda keluarga korban?" tanya dokter itu dengan nada lembut. Roy mengangguk. "Saya Ayahnya." "Saya turut menyesal," ucap sang dokter. "Anak Anda mengalami pendarahan di bagian dalam organ tubuh vitalnya. Saya sudah berusaha membantu. Namun, korban sudah meninggal bahkan sebelum sampai di rumah sakit." "Apa ada keterangan dari kepolisian kenapa anak saya bisa mengalami kecelakaan ini?" Roy bertanya, karena sampai detik ini ia belum tahu betul tentang penyebab Torro anaknya dapat menjadi korban kecelakaan lalu lintas. Dokter itu tampak ragu sebelum akhirnya menjawab, "Saya belum mendapat keterangan apa pun dari polisi. Tetapi saya menemukan cairan alkohol yang terkandung dalam tubuh korban, kemungkinan beliau berada dalam pengaruh alkohol saat berkendara. Tapi sekali lagi, ini hanya kemungkinan. Pihak kepolisian masih belum memberi keterangan resmi." Ah, alkohol, pikir Roy getir. Minuman kesukaan anaknya itu malah mengantarkannya pada kematian. Adakah yang lebih buruk dari itu? "Apa saya boleh melihat anak saya?" tanya Roy kepada sang dokter, nada suaranya nyaris pecah. "Tentu," jawabnya spontan. Mempersilakan pria itu untuk memasuki ruang IGD. Dan di sanalah Torro, terbaring kaku di atas ranjang pasien, selimut putih tipis menutupi tubuhnya hingga leher. Hanya terlihat wajah pucat dan pias. Tak ada embusan napas yang keluar dari hidungnya, atau pun d**a yang naik turun pertanda jantung bekerja. Matanya terpejam. Melihat hal itu, tangis Roy tak dapat ia tahan lagi, aliran air mata menuruni pipi. Berjalan gontai menuju raga tak bernyawa yang sangat dirindukannya, sungguh, Roy merasa seperti ada sebongkah besi panas yang menekan leher dan dadanya dengan kuat. Roy menatap wajah Torro dengan pilu, anaknya yang selama ini selalu membuat ulah kini tampak polos dalam tidur abadinya. Tak ada kesan nakal, hanya wajah damai yang sekilas mengingatkan Roy pada masa muda dulu. Penampilan Torro memang mirip dengan Roy saat ia masih muda. Bagaimana mungkin Roy dapat memarahi Torro putranya kini? Perasaan kecewa telah kalah oleh rasa sedih. Duka berkepanjangan yang tak mampu terkikis amarah. Namun, Roy menyadari bahwa larut dalam kesedihan bukan hal yang tepat untuk dilakukan. Setidaknya untuk saat ini. Jari jemari pria tua itu mengusap-usap kening Torro dengan lembut. Kulit anaknya yang dingin bersentuhan dengan kulitnya yang hangat. Lalu, Roy berusaha menguatkan dirinya sendiri. Sebagai seorang ayah, ada satu tugas yang harus dilakukannya sekarang, tugas terakhir yang membuat dirinya tak mungkin mampu membendung kembali kesedihannya. Mengantar Torro ke tempat peristirahatan terakhirnya dengan baik. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD