"Tidak semua hidup itu akan selalu indah kan? Akan ada beberapa hambatan yang akan menjadi rintangan untuk kita, semua rintangan itu akan semakin menjadi besar apabila kita menyerah dan membiarkannya. Hal yang harus kita lakukan adalah berdiri dan melawan rintangan itu, dengan berani dan penuh percaya diri."
Suara penyiar radio terdengar begitu halus, suaranya memenuhi ruang makan yang di mana ada dua gadis di meja makan yang duduk berhadapan dan menikmati sarapan mereka.
Salah satu dari mereka memasang wajah malas dan kemudian menaruh sendok di atas meja dengan keras. "Pagi-pagi radio macam apa sih?" Katanya lalu melihat temannya yang duduk tepat di hadapannya.
"Penuh percaya diri t*i kucing! Gue udah berusaha buat ngelewatin rintangan itu, tapi apa? Nasib nggak ada yang berubah." Lanjutnya, mengoceh dan menyalahkan siaran radio yang memberi semangat kepada pendengarnya.
Gadis lain mengeluh dan kemudian ikut menaruh sendok di atas meja dengan keras, "Pagi-pagi marah-marah aja, berisik tau!"
Gadis yang tadi marah-marah hanya menyandarkan tubuhnya di kursi dan menghela nafas malas.
"Je, mau sampai kapan di sini? Nggak mau pulang? Ibu lo nyariin.
Raut wajah Jeha langsung berubah saat sahabatnya mengatakan tentang ibunya, dia terdiam dan melihat sahabatnya. "Lo nggak mau nampung gue?"
"Bukan gitu Je, tapi.... Nggak enak aja sama ibu lo, anak gadisnya malah nyaman di rumah temennya, apalagi ibu lo sendirian."
Sesi mengatakan empat kata terakhir dengan nada pelan, takut kalau Jeha akan tersinggung dengan ucapannya, karena yang dia tau Jeha tidak terlalu dekat dengan ibunya sendiri walaupun Jeha sangat menyayangi ibunya.
"Ah, gue harus kerja, tapi susah banget buat cari pekerjaan di zaman sekarang," Kata Jeha kembali mengambil sendoknya dan mengaduk makanan sambil menatapnya dengan tidak selera.
"Satu-satunya bakat yang gue punya cuma nulis, tapi dari situ gue nggak bisa lakuin apa-apa." Lanjutnya dengan nada menyedihkan, membuat Sesi hanya terdiam dan menatap sahabatnya miris. Bagaimana Jeha bisa terlihat sangat menyedihkan hari ini.
Berkali-kali gadis itu menghela nafas, dan itu membuat Sesi terganggu. Dia sangat tidak suka sahabatnya menjadi seperti ini, menjadi tidak berdaya dan tidak melakukan apapun.
"Angkat kepala lo!" Seru Sesi melihat Jeha yang masih lemas dan mengaduk-aduk makanannya.
"Angkat! Jijik tau nggak, jangan mainin makanan!" Omel Sesi segera dan menarik sendok dari tangan Jeha agar gadis itu berhenti melakukan hal menjijikan seperti itu.
"Ah, kenapaaa?" Jeha merengek dan menatap Sesi yang sudah memasang wajah sebal.
"Mau sampai kapan lo kayak gini hah? Lebih baik lo pulang sekarang, tenangin pikiran lo dan temuin ibu lo, pasti ibu lo khawatir banget sekarang." Kata Sesi melihat Jeha yang hanya terdiam dan memasang wajah lesuh.
Bahkan, sehari pun Sesi tidak pernah melihat wajah sahabatnya ceria dan bersinar, selalu seperti ini, lusuh dan menyedihkan.
"Haruskah?"
Sesi mengangguk semangat, "Harus! Harus!" Jawabnya meyakinkan Jeha kalau dia harus segera pergi ke rumahnya sekarang.
Lagi-lagi helaan nafas keluar dari Jeha, dia mengangguk lemas dan beranjak dari kursinya. Sesi yang melihat sahabatnya tidak semangat dan penuh kesedihan itu jadi bingung harus berbuat apa.
***
"Aku pulang." Jeha membuka pintu rumahnya dan tidak melihat ada orang di dalam.
Dia lupa, kalau jam segini ibunya sudah pergi berangkat bekerja. Maka, di sinilah dia sekarang, di dalam rumahnya seorang diri, tidak ada siapapun.
"Tadi aja di rumah Sesi." Kata Jeha dan kemudian melangkah masuk ke ruang tengah, dia melirik ke meja makan. Ada banyak makanan di atas meja yang tertutup.
Gadis itu melangkah dan mendekati meja makan, dia melihat sesuatu berbentuk persegi berwarna hijau terang yang ditempelkan diatas tudung saji.
"Apa itu?"
Jeha mengambilnya yang ternyata adalah sebuah kertas note dan dengan segera dia membaca isi dari pesan itu.
Dimakan nak, ini ibu masak sendiri, ibu tau kamu belum makan. Ibu berangkat dulu, jaga rumah dan hati-hati, jangan biarkan orang tak dikenal masuk ke dalam rumah.
Begitu isi pesan dari note itu, membuat Jeha terkekeh dan kembali menempelkan note itu di atas tudung saji.
"Dia masih berpikir aku anak-anak ya?" Katanya dan langsung membuka tudung saji.
Di atas meja makan itu ada sebakul nasi, telur gulung dan daging iris tumis khas ibunya. Jeha tersenyum simpul, dia benar-benar merindukan masakan ibunya.
Biasanya, beliau akan selalu membawa makanan sisa dari rumah majikannya dan memberi Jeha makanan itu, jujur itu agak menyedihkan, membuat Jeha tidak mau pulang ke rumah.
"Aku harus cari kerja." Gumamnya dan kemudian melirik bingkai foto yang terpajang di rak buku, bingkai foto keluarga mereka yang bisa dibilang sangat bahagia saat foto itu diambil, namun kenyataan nya tidak seperti itu.
***
Angin berhembus kencang, cuaca hari ini sangat panas, bahkan beberapa orang harus memakai payung saat keluar rumah, karena sinar matahari akan membuat kulit mereka menghitam.
Seorang laki-laki turun dari mobil dengan gagahnya, dia memakai jas lengkap dengan dasi. Dia menutup pintu mobil dan membuka kacamata hitam yang dia pakai.
Wajah tampannya langsung terlihat, bisa dibilang wajahnya mirip dengan idol Korea, dia tersenyum kecil melihat rumah gedong yang berdiri dengan kokoh di hadapannya.
"Axel...."
Laki-laki itu tersenyum saat melihat seorang wanita paruh baya keluar dari rumah itu, menyambutnya dengan senyuman.
"Halo, nyonya. Maaf saya baru datang, tadi agak macet sedikit di jalan." Kata laki-laki itu yang bernama Axel, dia menunduk sopan, berbicara dengan lembut kepada wanita itu.
"Nggak apa-apa, namanya juga Jakarta, macet di mana-mana, kamu sudah makan? Kebetulan tadi ibu buatkan makanan."
"Ah terimakasih."
"Ayo kita ke dalam."
Axel tersenyum dan melihat wanita itu masuk lebih dulu ke dalam rumah dan dengan segera dia mengikuti wanita itu masuk ke dalam rumah.
Mereka telah sampai di dalam rumah, Axel melihat ada beberapa pelayan yang sibuk mondar-mandir di rumah besar itu.
"Siang, mas Axel." Sapa beberapa pelayan saat dirinya lewat, laki-laki itu tersenyum dan balas menyapa mereka.
Selain tampan, Axel memiliki kepribadian yang sangat baik, dia terlihat ramah dan juga supel kepada semua orang, hal itu membuat Axel banyak sekali fans dari kalangan gadis-gadis, mereka semua suka dengan Axel karena dia tampan dan juga.... Tubuhnya sangat bagus.
"Ibu sudah masak banyak, tapi Johnny tidak mau makan sama sekali, ibu jadi sedih."
Axel melihat ada banyak sekali makanan yang sudah disiapkan di dapur, sangat banyak, tapi makanan itu kelihatannya tidak ada yang menyentuh sama sekali.
"Johnny, tidak mau makan lagi?"
Wanita itu mengangguk, wanita yang biasa disebut nyonya Hani menunjukkan kesedihan di raut wajahnya.
"Entah sampai kapan dia akan begini, sudah mau ulang tahun Luna, mungkin dia sedih karena itu."
Axel termenung, memang ulang tahun Luna tinggal beberapa hari lagi. Dia melihat ke arah kamar Johnny yang tertutup rapat. Dia benar-benar tidak mau keluar dan memakan makanannya.
"Nyonya."
Hani menoleh dan melihat Axel yang sudah tersenyum lebar ke arahnya, "Iya?"
"Mau Axel bantu?"
***
Seorang laki-laki duduk termenung, menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Menatap keluar jendela rumahnya seperti ini memang sudah menjadi kebiasaan bagi laki-laki itu, entah apa yang ditunggu dirinya tapi dia tetap setia duduk di sana.
"Permisi."
Pintu kamar terbuka dan Axel mengintip laki-laki itu dari daun pintunya.
"Pak Johnny?"
Laki-laki itu sedikit menoleh dan langsung kembali menatap ke depan jendela saat tau yang datang kepadanya adalah Axel.
"Pergi, saya tidak mau diganggu." Katanya mengusir Axel dengan nada dingin.
"Sebaiknya bapak makan dulu."
"Pergi."
"Bapak be-"
"PERGI!"
Axel agak sedikit terkejut saat mendengar bentakan Johnny yang sangat kencang, dia mengulum bibir nya khawatir. Seharusnya dia tidak menawarkan dirinya untuk membujuk Johnny untuk makan.
"Saya akan taruh di atas meja, kalau pak Johnny lapar, bisa langsung di makan." Kata Axel dengan penuh hati-hati dan meletakkan nampan di atas meja besar di dekat pintu.
Tidak ada reaksi dari Johnny, dia terus menatap ke depan tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Hal itu membuat Axel menjadi terasa ngeri, buru-buru dia langsung keluar dari kamar Johnny dan menutup pintunya kembali.
Pantas saja kamar itu di juluki kamar angker setelah Johnny hanya terdiam dan merenung di dalam kamarnya, ternyata memang seperti itu adanya, atmosfer di dalam ruangan itu sungguh berbeda, apalagi Johnny yang seperti hantu, tidak beranjak dari kursinya sama sekali dan hanya menatap keluar jendela.
***
"Sebaiknya kita semakin memperketat keamanan, saya ngerasa anggota kita masih sedikit dan juga harus ada yang menjaga Johnny secara pribadi, saya takut dia akan diserang kembali dan menjadi korbannya, jadi Axel kapan kamu akan merekrut anggota baru untuk tim keamanan kita?"
Axel duduk di ruang tamu, menyesap tehnya pelan sambil mendengar apa yang Hani katakan, dia tau bahwa anggota mereka belum cukup untuk melawan beberapa musuh yang akan datang, dan mereka harus memperketat keamanan.
"Akan saya coba untuk merekrut anggota baru, saya akan melatih mereka agar mereka siap untuk bergabung bersama kami."
"Baik Axel, saya percayakan ini dengan kamu." Kata Hani lalu tersenyum.
Axel sudah bekerja di keluarga Christian selama bertahun-tahun, dia selalu menjaga keluarga itu karena musuh mereka yang bisa menyerang mereka kapanpun, berkat Axel dan timnya dia bisa mencegah beberapa pembunuhan yang terjadi dan menyelamatkan anggota keluarga Christian dari celaka.
Tapi, untuk kasus Johnny, mereka lengah dan tidak ada yang menyadari bahwa akan menjadi seperti ini, dan Axel sangat merasa bersalah akan itu, coba kalau dia lebih hati-hati sedikit lagi, mungkin kecelaakaan itu tidak akan pernah terjadi.
Setelah dia berbincang dengan Hani, Axel segera keluar dan pergi dari rumah itu.
Dia melangkah ke halaman depan rumah itu dan melihat rekan kerjanya yang bernama Brian sudah ada di sana, bersandar di mobil yang Axel bawa sambil bersedekap d**a. Axel tersenyum dan segera mendekati rekan kerjanya. "Apa kabar?" Kata Axel setelah dia sampai di hadapan Brian.
"Kabar baik, tadi aku liat kamu datang, pas pengen sapa, kamu sudah masuk ke dalam."
Axel terkekeh dan melirik ke belakang rumah, "Bagaimana tuan muda?" Tanya Brian dan Axel menggeleng.
"Semakin menjadi-jadi,"
Brian tertawa pelan, seepertinya hal yang barusan Axel katakan sudah sangat umum, dia menjaga di kediaman tuan muda Johnny dan tentunya sangat tau apa yang terjadi di dalam rumah sana.
"Aku tau, bahkan beberapa pelayan hampir nangis karena dibentak sama tuan, kasihan ya tapi mau bagaimana lagi."
"Bahkan sekarang dia mogok makan."
"Heee?" Brian terkejut mendengarnya, ini hal yang baru dia dengar.
"Aishh, mau sampai kapan tuan muda seperti ini?" Gumam Brian dan Axel hanya tersenyum tipis, dia melangkah menuju kursi kemudi dan membuka pintu mobilnya.
"Aku duluan, harus balik ke jaga ke rumah utama."
Brian menoleh dan langsung mengangguk, "Ya."
Axel langsung masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin mobil itu.
Tok tok.
Dia menoleh, melihat Brian yang mengetuk kaca jendela mobilnya, dengan cepat dia menurunkan kaca mobilnya dan melihat Brian yang sedang tersenyum ke arahnya. "Kapan kamu ke sini lagi?"
"Hmm, lusa mungkin?"
"Akan ada perekrutan member keamanan baru kan?"
Axel tertawa, dia baru sadar kalau julukan Brian adalah mata-mata bagian keamanan, dia hampir tau semua apa yang terjadi di dalam rumah Johnny.
"Iya,"
Brian terkekeh setelah dia mengetahui bahwa informasinya benar, "Oke, hati-hati di jalan." Katanya dan Axel mengangguk, dia kembali menutup jendela mobil dan kemudian berpamitan kepada Brian dan segera pergi dari rumah kediaman tuan muda Johnny.
***
Jeha asik di dalam kamarnya, memainkan komputer sambil berteleponan dengan Sesi, dengan sengaja dia mengencangkan suara Sesi agar terdengar lebih jelas, lagipula hanya dia sendiri yang ada di dalam rumah, jadi siapapun tidak akan terganggu.
Sudah dua jam mereka dalam telepon, terlalu asik sampai mereka lupa kalau ini sudah sore dan sudah saatnya bagi Jeha untuk membersihkan rumah.
"Lo kirim naskah ke mana lagi?"
"Hmm," Jeha berpikir.
"Housebook Publish, tapi belum ada informasi lagi mereka, katanya naskah gue masih diseleksi dan nggak tau kapan akan lulus."
"Nah, gue ada kabar bagus."
"Apa?"
Suara Sesi tidak terdengar, namun tergantikan dengan suara berisik di sana dan ada suara beberapa barang jatuh, Jeha menebak bahwa gadis ini sedang melakukan hal ceroboh lagi.
"Ekhemm," Sesi mulai bersuara.
"Apa?"
"Ada lomba bikin cerpen, lo mau ikutan nggak? Dan hadiahnya lumayan banget."
Jeha terdiam mendengar apa yang Sesi katakan, dia mendesis ragu, "Gue nggak bisa bikin cerpen Si." Kata Jeha dan Sesi langsung menghela nafas sebal.
"Jehaaa, ini kesempatan emasss, lo bisa aja terkenal lewat cerpen ini, kenapa nggak coba dulu? Hadiahnya juga nggak main-main, cerpen lo bakal cetak dan juga lo bisa dapetin uang tunai, lumayan kan?"
Jeha terdiam terlihat sedang berpikir, sejujurnya dia tidak bisa kalau disuruh untuk membuat cerpen, dia lebih senang dan hanya bisa cerita panjang dan tidak berakhir sekali duduk.
"Coba ya?"
"Gue nggak yakin Si."
"Lo pasti bisa, masa novel bisa terus cerpen nggak bisa, lo pasti bisa yakin sama gue." Kata Sesi dan Jeha membuang nafas ragu.
"Oke, gue akan coba." Tekadnya dan terdengar Sesi bergembira di seberang sana.
"Gituu dong, yaudah gue daftarin yaaa."
"Thanks Si." Kata Jeha yang perlahan senyumnya mengembang, Sesi menjawab dengan gembira dan segera memutuskan sambungan telepon mereka.
Jeha melihat layar ponselnya yang menggelap secara perlahan, Sesi baru saja menawarkan sesuatu yang menarik untuk dirinya, sesuati yang mungkin saja Jeha bisa melakukannya walaupun dia tidak yakin.
"Ya, apa salahnya nyoba! Ayo Jeha, lo pasti bisa!" Katanya menyemangati diri sendiri dan dengan sepersekian detik semangatnya kembali memuncak dan menjadi menggebu-gebu.
To Be Continued....