Bab 4 Ketika Kesedihan Datang

1113 Words
Saat Randi menikmati sarapan pagi, tiba-tiba Eliza menyodorkan kartu bukti pembayaran SPP bulanan. Randi menerima pemberian adiknya, lalu membaca Eliza Fadiyah kelas X. Nama yang tersemat adalah nama lengkap sang adik. Dari awal masuk SMA Eliza memang belum membayar sama sekali, data pun tidak bisa dibohongi, kertas berwarna hijau masih kosong dari tulisan angka, tanda tangan bagian, dan cap dari bagian keuangan sekolah. Randi menatap adiknya yang duduk di sampingnya. “Tunggu gajian dulu ya, El!” “El gak nyuruh Mas cepet-cepet bayar kok.” “Terus ini maksudnya apa?” tanya Randi sambil meletakkan selembar kertas itu. “Ya ngasih tahu aja,” kata Eliza sambil menatap hidangan di atas meja. Hartanti menuju tempat makan dengan menampilkan wajah pucat. Dia terduduk sambil menatap telur mata sapi ditemani sambal tomat yang terlihat menawan. “Ini yang masak siapa?” “Sekarang panjenangan sarapan aja, Mak! Siapa pun yang masak gak perlu dibahas,” jelas Randi. Eliza mengambilkan secentong nasi ditambah satu telur mata sapi sembari berkata, “Walaupun sakit Emak harus tetap makan.” Tiga manusia itu menyantap makanan sederhana dengan penuh rasa nikmat. Randi dan Eliza bersemangat menyantap hidangan, tetapi Hartanti menunjukkan rasa malas dalam mengisi perut. Dua anak Hartanti tidak berkomentar apa pun dengan cara makan emaknya, mereka menyadari dalam keadaan sakit gairah makan pasti turun. Sepasang bola mata Hartanti berkeliaran sampai menemukan kertas hijau di samping piring putranya. Dia menatap tanpa berkedip, bahkan menghentikan prosesi makan. Emak Randi dan Eliza seperti melihat tatapan kosong. Tingkah Hartanti ditangkap dua anaknya. Randi dan Eliza saling melemparkan pandangan karena sikap aneh emaknya. Eliza meminta kakaknya untuk membuka mulut terlebih dahulu dengan bahasa isyarat. Randi pun mengiyakan permintaan adiknya. “Mak, kenapa makannya dihentikan?” tanya Randi sambil menatap emaknya yang masih melemparkan tatapan kosong. Hartanti geragapan. Dia langsung berkomentar tentang apa yang dilihat dengan tangan menunjukkan ke arah kertas hijau. “Itu ijo-ijo apa?” Randi langsung paham apa yang dimaksud emaknya. “Ini punya El, Mak.” “Bayar sekolah!” celetuk Hartanti. Bergegas bicara dilakukan Randi agar tidak kedahuluan adiknya. “Emak gak perlu khawatir. Randi sudah nyiapin semua untuk biaya sekolah El. Yang penting sekarang Emak sehat. Jangan pikirin yang lain-lain!” Heeeeeeeeeee .... Hartanti menunjukkan suara tangisan di depan anak-anaknya. Randi mendekati emaknya sambil merangkul. Hal serupa dilakukan Eliza, wanita itu diapit dua anaknya. Tetapi tangisan masih terdengar dan tidak kunjung berhenti. “Jangan nangis kayak gini, Mak! Malu kalau didengar tetangga. Apalagi pagi-pagi kayak gini,” ujar Randi. Hartanti mengusap air matanya. Dia menoleh ke arah dua anaknya secara bergantian. Kata-kata dengan nada tinggi keluar dari mulut Hartanti. “Lebih memalukan ketika orang tua tidak bisa menafkahi anak.” “Kenapa panjenengan bilang kayak gini, Mak? Emak dan Almarhum Bapak sudah memberikan penghidupan yang layak bagi aku dan El. Andai saja tidak, gak mungkin bisa tinggal di rumah seperti ini dengan segala fasilitasnya.” Randi berusaha menenangkan hati emaknya. “Tapi rumah ini jauh dari kata ….” Eliza memotong perkataan emaknya. “ … jauh dari kata apa, Mak? Megah? El bangga kok, masih ada yang posisinya dibawah kita, mereka yang tidak punya tempat tinggal. Bahkan tidur diemperan toko.” “Tidak cuman itu, Ndi, El. Seharusnya yang mencari nafkah bukan masmu, El. Tetapi Emak,” kata Hartanti sambil menatap putrinya dengan kasih sayang. “Siapa yang memberiku makan saat aku masih kecil? Siapa yang membiayai sekolahku dulu? Siapa yang membelikan kebutuhanku dulu? Emak pasti tahu jawabannya. Sekarang waktunya Randi memberikan semua itu padamu, Mak. Emak sudah waktunya istirahat mengurus semua ini,” ujar Randi sejelas-jelasnya. Hartanti tidak bisa berkata apa-apa. Dia bersyukur dikaruniai anak yang memiliki pemikiran luas. Memang benar apa kata Randi, sekarang saatnya dia istirahat. Namun, jika keadaan masih mendukung akan tetap bekerja, tetapi keadaan berkata lain. *** Brukkkkk …. Tumpukan kardus yang siap didistribusikan tersenggol Randi saat jalan. Semua karyawan yang mendengar mengarahkan pandangan ke sosok Randi. Bergegas memberesi tumpukan kerdus yang terjatuh dilakukan Randi tanpa peduli berapa pasang mata yang melihat. Baru di depan pintu ruang administrasi. Pandangan tidak mengenakkan dilihat Gio. Dia segera menghampiri bawahannya yang menjadi pusat perhatian orang banyak. Dia tidak tahu kenapa hal seperti ini terjadi. Sampai di depan Randi, Gio berkata, “Kamu ngapain?” “Maaf, saya tidak sengaja,” ujar Randi sambil tetap sibuk melakukan pembenahan. “Untung aja bukan pabrik belah pecah. Coba kalau yang kamu senggol gelas. Apa jadinya?” Randi terbangun dari posisi pembenahan. Dia menatap Gio yang berdiri tegak di depannya. “Beruntungnya di sini.” Gio tidak mau bertanya lebih detail tentang keberadaan Randi di luar tempat kerja sebenarnya. Dia juga tidak ingin memancing keributan dengan bagian lain yang sengaja mengambil anak buahnya, tanpa sepengetahuan dirinya. Tetapi, Gio akan tetap bertanya pada Randi, bukan bagian packing di waktu yang tepat nanti. “Kembali ke gudang sana!” pinta Gio dengan ekspresi muka datar. Kalimat yang diucapkan Gio tidak ditanggapi Randi, dia berpikir aksi lebih penting daripada tanggapan tanpa aksi. Gudang yang menampung pintalan kain kembali didatangi Randi, kembali melakukan rutinitas pekerjaan dilakukannya. *** Jam istirahat telah datang. Randi dan Gio kembali dipertemukan di tempat makan pabrik. Mereka berada di tempat makan seperti biasa, tetapi hanya raga saja yang menyatu. Hati mereka seperti sedang menjauh. Randi sengaja terdiam, dia takut orang yang mengawasi kinerjanya masih dalam kondisi marah dengan sebab ulahnya tadi. Diam adalah jalan terbaik menurutnya. Gio mulai mengajak Randi bicara. “Kamu ngapain keluyuran sampai bagian packing?” “Bagian packing kurang orang untuk memasukkan barang ke truk kontainer. Jadi saya diminta ke sana,” jelas Randi. “Siapa yang minta?” “Orang packing. Aku gak tahu namanya, Mas.” “Kenapa kamu mau?” “Bukankah harus datang, jika dimintai tolong.” “Randi, seharusnya kamu gak mau. Kamu sudah menyalahi aturan saya,” tegas Gio. Randi menggelengkan kepala. Kenapa hal sepele dipermasalahkan? Seolah-olah kesalahan fatal yang terjadi. “Kamu meninggalkan pekerjaanmu tanpa izin saya kan!” lanjut Gio. “Bukankah sampeyan biasa meminta saya untuk membantu bagian packing!” “Tadi saya gak minta. Paham kamu! Wong kerjaanmu aja belum kelar, malah ditinggal keluyuran.” Pembelaan dilakukan Randi. “Saya gak keluyuran, Mas.” “Siapa bilang kamu keluyuran malam-malam. Gak perlu bela diri. Jangan pernah dijadikan kebiasaan pergi tanpa sepengetahuan saya, kalau terjadi apa-apa, siapa yang nanggung resikonya?” Mengakui kesalahan yang telah diperbuat membuat Randi berkata, “Saya memang salah, Mas. Maafin saya! Saya janji besok tidak akan mengulangi lagi.” Gio mengangguk. Dia melanjutkan kembali santapan yang sempat ditinggalkan karena memberikan pengarahan pada sosok Randi. Selisih dua tahun menjadikan pabrik rumah kedua membuat posisi mereka berbeda. Tetapi, pemikiran mereka seumuran di luar ranah pekerjaan. Sehingga mereka sering menghabiskan waktu bersama. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD