Bab 3 Emak Tersayang

1036 Words
“Atasnama Ibu Hartanti.” Suara panggilan membuat Eliza mendatangi kasir obat di UGD. Emak yang tengah duduk di sampingnya ditinggalkan sementara. “Ibu Hartanti ya!” ujar wanita berbaju putih dengan jilbab warna senada. “Iya,” jawab Eliza lirih. “Ibunya menderita penyakit asma, Mbak. Hindari asap rokok, bulu binatang, dan pemicu lainnya yang menyebabkan penyakit kambuh. Ini obatnya, diminum sesuai anjuran yang tertera. Semoga lekas sembuh.” Wanita itu sambil tersenyum ramah Ssambil memberikan obat yang telah dikemas dalam plastic. “Terima kasih, Bu.” Eliza segera mendatangi emaknya. Dia duduk di samping emaknya. ‘Untung saja aku segera pulang. Jadi Emak bisa dapat penolongan lebih cepat.’ Gadis yang masih memakai seragam SMA dengan lengkap itu mengambil handphone dari saku roknya. Nomor dengan nama Mas Randi dipencet untuk melakukan panggilan, sekedar memberi kabar kalau emaknya sedang sakit. Aksi Eliza diketahui Hartanti, wanita berkepala empat itu mencegah aksi putrinya. “Ora usah ngabari masmu. Nanti dia panik. Kasihan, diakan kerja.” “Mas Randi harus tahu kalau panjenengan sakit, Mak,” ujar Eliza. “O … ra … u … usah.” Hartanti berbicara dengan terbata-bata karena menahan rasa sakit yang mendera. Tidak tega melihat emaknya membuat Eliza memutus panggilan yang belum terjawab. Handphone kembali dimasukkan gadis itu ke dalam saku rok. Membenahi jilbab yang tertiup angin dilakukan Eliza. “Kuat pulang sekarang gak, Mak?” tanya Eliza sambil memegang lengan emaknya. “Kalau gak kuat El minta bantuan ambulan,” imbuhnya. “Insyaallah kuat.” Jawaban itu membuat Eliza segera memapah emaknya menuju tempat parkir. Parkiran berjarak 2 meter, tetapi napas Hartanti sudah tidak teratur. Kursi panjang membuat Eliza mengeluarkan ide, memapah emaknya menuju kursi untuk istirahat sejenak. “Kita duduk sini dulu, Mak!” pinta Eliza. Hartanti mengambil posisi duduk. Tenaga tidak dikeluarkan begitu banyak membuatnya lebih lega dalam mengatur napas. “Aku panggil ambulan ya, Mak!” Gelengan kepala ditunjukkan Hartanti. Kenekatan Eliza muncul, dia diam-diam mengirim pesan singkat pada kakaknya. Gadis itu memang melanggar permintaan emaknya, tetapi semua dilakukan demi kebaikan. Anda Mas, kamu gak usah lembur ya! Mas Randi Emang kenapa? Anda Emak sakit. Mas Randi Oke. Ini kebetulan baru istirahat sebelum lembur. Aku izin sama atasan dulu, habis itu pulang. Eliza yang terus-terusan terfokus pada layar membuat Hartanti curiga. Memandangi putrinya dengan tajam dilakukan Hartanti, bahkan sampai tidak berkedip. Sebelum ditanya, Eliza memunculkan kebohongan. “Baru balas teman. Bisa pulang sekarang, Mak!” Sulit mengatur napas dalam berbicara membuat Hartanti menanggapi dengan anggukan kepala. “Tunggu sini aja ya, Mak!” pinta Eliza yang dijawab dengan anggukan. Eliza berjalan meninggalkan Hartanti, kakinya telah berada di tempat parkir. Motor butut miliknya dihampiri dan diajak pergi. Emaknya yang tengah duduk didatangi untuk segera membonceng. Tanpa basa-basi, Hartanti langsung menaiki boncengan motor yang dikendarai putrinya. “Jangan ngebut!” pinta Hartanti dengan lirih. “El ngerti kok, Mak.” Melajukan kendaraan dengan pelan-pelan dilakukan Eliza. Sebenarnya dia capek, tetapi semua dilakukan demi emaknya. Dia tidak mau kehilangan dua sosok orang tua, cukup bapaknya saja yang pergi, dan berharap emaknya bisa menemani sampai menyaksikan dirinya memiliki anak. Motor yang dikendarai Eliza sudah terparkir di depan rumah. UGD yang terletak satu kecamatan dari jarak rumah membuat perjalanan tidak terasa. Hartanti menuruni motor dengan hati-hati. Eliza segera menyusul emaknya yang jalan dengan kesulitan. Dipapah wanita itu sampai menuju ruang tamu. Hartanti langsung mengambil posisi duduk dan menyandarkan tubuhnya. Duduk di samping sang Emak dilakukan Eliza. Telepon berdering membuat Eliza membuka handphone. Panggilan dari kakaknya segera diangkat gadis itu Eliza : Hallo, Mas. Mas Randi : Emak sakit apa memang? Eliza : Ini emak ada di samping El, Mas. Mas Randi : Sakit apa? Tidak mau pembicaraan dengan sang kakak didengar oleh emaknya membuat Eliza keluar dari ruang tamu. Halaman depan dituju dengan perkiraan omongan tidak terdengar emaknya. Mas Randi : El! Eliza : Emak sakit asma, Mas. Tadi aku gak boleh bilang sama kamu, kalau Emak lagi sakit. Ya, udah. El ngomongnya harus keluar dulu. Mas Randi : Sudah berobat? Eliza : Udah. Tadi El bawa ke UGD. Mas Randi : Oke. Ini lagi diparkiran. Bentar lagi Mas pulang. Jaringan telepon terputus. Eliza segera memasukkan handphone disaku roknya. Memasuki rumah dilakukan Eliza. “Kenapa teleponan harus diluar?” tanya Hartanti dengan lirih. Kebohongan diciptakan Eliza. “Sinyal putus-putus. El ganti baju dulu ya, Mak!” Anggukan ditunjukkan emaknya. Eliza segera meninggalkan emaknya demi menggapai tujuannya. *** Sampai halaman rumah Randi langsung memarkirkan motor di bawah pohon. Bergegas memasuki rumah dilakukannya untuk mengetahui keadaan wanita kesayangannya. Menerobos pintu ruang tamu, tetapi dihentikan Eliza. Randi menarik napas sejenak. “Aku pengin lihat Emak.” “Gak bisa,” ujar Eliza dengan tegas. “Emak kenapa? Apa yang kamu sembunyiin dari Mas,” kata Randi sambil menggoyak-goyakkan tubuh adiknya. Eliza menggelengkan kepala. “Mas Randi sadar gak? Kenapa aku menghalangimu, Mas?” Randi mulai mencerna perkataan adiknya. Ia mencoba mengajak otaknya untuk berpikir tentang perkataan Eliza. Tetapi otaknya tidak bisa diajak kompromi untuk memahami kalimat yang terucap dari mulut Eliza. “Senja memang menawan, tetapi akan menjelma mengerikan,” lanjut Eliza ketika Randi belum kunjung menanggapi perkataannya. “Astaghfirullah.” Randi menutup wajahnya dengan satu tangan. “Oke. Sekarang aku paham,” imbuhnya. Randi bergegas menuju kran depan rumah yang biasa digunakan untuk menyiram tanaman dan memncuci tangan ataupun kaki saat pulang bepergian. Air mengalir membasahi kaki dan tangan Randi. Andai saja adiknya tidak mengingatkan, dia sudah lupa dengan kebiasaan positif. Mendatangi pintu yang dijaga Eliza dilakukan Randi. Eliza tidak lagi menjadi pagar penghalang kakaknya, pintu terbuka luas untuk Randi. Memasuki rumah yang langsung terhubung dengan ruang tamu dilakukan Randi. Randi bergegas menuju kamar emaknya tetapi dihalangi Eliza. Randi menghela napas sejenak, dengan kesal dia berkata, “Apa lagi?” “Jangan masuk dengan penampilan gitu, Mas! Entar Emak curiga sama aku. Kan tadi beliau bilang gak boleh ngomong sama kamu, Mas. Ganti dulu!” Eliza memberikan penjelasan sambil berdiri di depan kamar emaknya. “Bukankah kita diperbolehkan melanggar aturan dalam hal positif,” sangkal Randi. “Perhatian, kepedulian, kasih sayang memang tugas wajib seorang anak kepada orang tuanya. Tapi perlu diingat, jangan sampai hati orang tua kita tersakiti.” Eliza menceramahi kakaknya. Randi melangkahkan kaki menuju kamarnya tanpa pamitan. Pakaian kerja digantikan pakaian keseharian. Tubuh Randi berada di kamar, tetapi pikiran tertuju pada emaknya. Usai pakaian tergantikan Randi bergegas meninggalkan kamar. Kamar Hartanti dimasuki Randi. Saat Randi memasuki kamar, Eliza sudah duduk di pinggir ranjang emaknya yang tengah tidur. Ikut terduduk dengan posisi yang sama sang adik dilakukan Randi. Dia tidak berani membangunkan emaknya yang sedang terlelap dalam tidur, apalagi kondisi wanita yang telah membuatnya ada di dunia dalam keadaan tidak sehat. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD