Bab 2 Keputusan Terbaik

1048 Words
“Pokoknya kamu harus kuliah,” kata Hartanti dengan tegas. “Siapa yang akan biayain Randi, Mak? Bapak udah gak ada,” jelas Randi. “Kamu ini pintar, Le. Kamu bisa kuliah sambil kerja.” Hartanti masih kukuh dengan pendiriannya. “Eliza masih SMP. Sebentar lagi SMA, siapa yang mau bayarin sekolahnya nanti?” “Emak.” Randi mengalah. Dia tidak mau berdebat panjang dengan emaknya. Walaupun hati kecilnya berkata tidak mungkin keinginan orang tuanya dapat dia laksanakan. Bukan berarti mendahului ketentuannya, tetapi membaca keadaan ekonomi yang melanda keluarganya. Mengambil brosur promosi perguruan tinggi di atas meja ruang tamu dilakukan Randi. Dia menyerahkan kertas berisi rincian biaya kuliah pada emaknya. Hartanti membaca rincian biaya dengan cermat dari berbagai jurusan. “Inikan swasta. Kenapa ngasih rincian yang univeritas swasta? Biar emakmu menuruti keinginanmu! Seharusnya kamu yang mengikuti keinginan orang tua.” Randi menghentikan ceritanya. Randi dan Eliza memang sering menghabiskan waktu usai subuh untuk sharing pengalaman hidup masing-masing. “Mau dilanjut lagi gak ceritanya?” tanya Randi pada Eliza. “Lanjut dong!” Randi mengolak-alikkan tumpukan brosur promosi perguruan tinggi untuk menemukan rincian biaya kuliah di universitas negeri. Usai didapatkan, Randi memberikan pencariannya kepada emaknya. Membaca secara tuntas rincian biaya dilakukan Hartanti sambil mengamati putranya yang terdiam, seolah tidak setuju dengan keinginan yang diharapkan. “Ini kan lebih murah daripada yang tadi,” ujar Hartanti sambil terus mengamati brosur. “Kalau Randi kuliah. Dari mana bisa bayar!” “Kan emak udah ngomong. Kupingmu b***k apa? Kerjalah!” tegas Hartanti. “Bukan masalah pendengaran bermasalah atau tidak, tetapi aku memikirkan apa yang akan terjadi pada hari berikutnya.” Randi menetralkan pandangan ke seluruh sudut ruang tamu. “Memang biayanya terbilang kecil bagi mereka yang punya uang, tetapi besar bagi Randi, Mak. Semisal Randi kerja uangnya habis untuk biaya kuliah saja dan gak bisa bantu panjenengan, Mak,” lanjutnya. “Cari beasiswa, biar bisa bantu emak biayain adikmu sekolah SMA,” pinta Hartanti seolah memaksa sang putra untuk mengikuti keinginannya. Randi memamerkan senyum pada adiknya yang masih menggunakan mukena. “Lanjut, Mas! Nanggung kalau dilanjutin besok. Udah keburu kepo nih,” desak Eliza. “Oke. Mas selesaikan ceritanya sekarang ya!” Mencari informasi beasiswa kuliah dilakukan Randi demi mematuhi keinginan emaknya. Beasiswa prestasi sampai kurang mampu dicarinya. Usai mendapatkan kecocokan Randi memasukkan berkas syarat beasiswa untuk ditinjau, apakah layak mendapat atau tidak. Pengumuman lolos atau tidaknya beasiswa telah didapatkan Randi. Memberikan informasi pada emaknya dilakukan Randi dengan ekspresi datar, sedih tidak bisa membahagiakan orang tua, senang rencananya berhasil. Handphone berisi pengumuman disodorkan pada emaknya. “Kenapa bisa gak lolos beasiswa? Kamu kan pintar. Gak adil,” ujar Hartanti seolah menyalahkan. “Mungkin ini yang terbaik buat Randi, Mak. Setidaknya Randi sudah berusaha.” “Terbaik-terbaik bagaimana?” “Manusia tidak bisa memaksa Tuhan untuk mengabulkan semua permintaan kita. Tuhan tahu yang terbaik buat hambanya sesuai porsi masing-masing.” “Ini keinginan Emak dari dulu, Ndi,” kata Hartanti dengan raut muka sedih. “Randi tahu, Mak. Mungkin suatu saat nanti keinginan Emak akan terwujud, tapi bukan saat ini.” “Keburu tua.” “Mungkin saat ini Tuhan meminta Randi untuk bekerja.” Randi menyakinkan emaknya. “Dan bisa bantu keluarga,” imbuhnya. Memang rencana awal setelah lulus SMA Randi ingin bekerja demi menghidupi emak dan adiknya. Tugas bapaknya telah berakhir, pengganti tugas jatuh ke tangan anak laki-laki. Randi berhenti bercerita. Dia menganggap cerita telah berakhir apalagi didukung pukul 05.15 WIB. Eliza masih setia menanti kelanjutan cerita dengan menatap wajah kakaknya. “Udah selesai adikku sayang,” ujar Randi sambil mengangkat tubuh dari duduk menjadi berdiri. “Kan El masih menunggu kelanjutan ceritanya, Mas.” Eliza mengarahkan pandangan ke arah kakaknya yang tengah berdiri melewati dirinya. Randi terkekeh. “Kelanjutannya kamu mandi.” “Iihh canda mulu.” Randi menatap adiknya dengan tersenyum. “Besok kamu harus kuliah biar bisa banggain orang tua. Mas akan berusaha apa pun demi kamu.” Eliza menanggapi senyum kakaknya. Matanya berkaca, dia bangga memiliki kakak yang baik dan penuh perhatian. Randi yang memiliki watak mirip laki-laki yang membuatnya ada di dunia menjadikan Eliza merasa tidak kehilangan perhatian dan kasih sayang dari sosok Bapak. *** Hari-hari seperti biasa dilakukan Randi, meninggalkan rumah dan keluarga demi perekonomian keluarga menjadi tercukupi bahkan lebih baik. Dia tidak mempermasalahkan pekerjaan yang ditekuni selama ini. Prinsip dalam hidup Randi sederhana yang terpenting mendapatkan rezeki halal dan barokah. Saat istirahat Randi berlari ke tempat yang biasa digunakan makan karyawan pabrik. Berkumpul dengan teman sesama laki-laki dilakukan Randi. Dia selalu membawa bekal dari rumah, sehingga tidak perlu jajan. Ketika menyantap makanan mendadak mata Randi tertuju pada sosok Cyra, teman semasa SMA yang tengah duduk bersama sekelompok perempuan. Dia baru melihat teman wanitanya hari ini. Tatapan aneh Randi saat makan menjadi pusat perhatian Gio yang duduk saling berhadapan. “Randi, kowe lihat apa?” “Ehm, gak papa. Agak kebelet aja.” Kebelet dijadikan alasan Randi agar tidak menimbulkan kecurigaan. “Kita lagi makan. Sana ke toilet dulu! Jangan sampai keluar di sini. Bakal parah nanti,” usir halus Gio. Randi bergegas meninggalkan makanannya untuk menuju toilet. Toilet wanita dan laki-laki terpisah, tetapi sebelahan membuat Randi melihat Cyra saat memasuki pintu, gadis itu sepertinya juga ingin ke toilet. Buang air kecil telah usai, Randi bergegas keluar. Tanpa disengaja ia bertemu dengan Cyra. Saling memandang seolah orang asing dilakukan mereka, lebih tepatnya memastikan benar temannya atau tidak. “Cyra kan!” ujar Randi. “Eh, Randi. Ternyata kamu kerja di sini,” balas Cyra. “Dari tiga tahun yang lalu. Kok aku gak pernah lihat kamu, baru ya!” “Jadi kamu gak kuliah!” Randi menggeleng. Cyra tersenyum puas, laki-laki yang dahulu jadi pesaingnya saat SMA berada di posisi rendahan dalam lingkup tempat kerja. “Jadi kamu cuman ….” Randi bergegas memotong perkataan Cyra dan berkata dengan penuh emosi “… cuman apa? Cuman kuli pabrik yang kerjanya banyak menggunakan fisik. Kamu mau bilang gitu kan!” “Kenalkan aku bekerja di bagian administrasi. Aku baru lulus D3 dari jurusan ….” Randi memotong pembicaraan Cyra kembali. “… gak ada yang nanya.” “Sombong banget ini orang. Gajinya cuman UMR aja udah belagu, gajiku lebih gede dari kamu,” ujar Cyra dengan nada tinggi. Tidak ingin perdebatan di depan kamar mandi terus terjadi membuat Randi memilih menghindar dari Cyra. Berjalan meninggalkan gadis itu dilakukan Randi, dia melewati tubuh gadis itu dengan sambil melirikkan mata. “Pintar-pintar gak kuliah. Eman banget, gak ada gunanya sama sekali jadi orang pinter,” cela Cyra. Tiga langkahan kaki mendadak terpaksa berhenti. “Buat apa pendidikan tinggi-tinggi kalau kamu menghargai orang saja tidak bisa? Asal kamu tahu! Setiap orang punya jalannya sendiri dan berhak menentukan pilihan hidup tanpa paksaan orang lain.” Langkah kilat dilakukan Randi agar tidak terus-terusan mendengar ocehan tidak berbobot dari Cyra. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD