III. DINYATAKAN HAMIL

1224 Words
Sebulan berlalu dan Qirani memilih untuk menghindar saja sejak kejadian yang melibatkan dirinya dengan sang kakak ipar. Meski beberapa kali Haris sempat menghubunginya, tetapi sungguh Qirani tak mau menggubris dan lebih memilih untuk menyibukkan dirinya sendiri saja dengan berbagai kegiatan yang dilakukannya. Semenjak dipecat dari pekerjaannya, Qirani memang masih memiliki sejumlah aktivitas yang dirasa mampu mengalihkan perhatiannya dari sekadar melamun belaka. Hanya saja, memang pada waktu itu ia sedang dilanda frustrasi saja hingga akhirnya ia malah melampiaskan kegundahannya dengan cara mengunjungi club malam dan mabuk-mabukan. Gara-gara itu pula, kegadisannya pun telah hilang terenggut oleh sosok kakak iparnya sendiri. "Ran, proposal yang tempo hari aku minta ke kamu ada di mana? Boleh dibawa ke sini gak? Aku mau cek sebelum aku serahin ke perusahaan tertuju," lontar sebuah suara yang seketika pula menyadarkan Qirani dari lamunannya. Terkesiap, Qirani yang refleks menoleh pada teman yang menanyainya barusan pun lantas dituntut untuk kembali fokus pada tugasnya selaku sekretaris dari sebuah organisasi kemanusiaan yang dibentuk oleh tim relawan dan relawati yang memiliki satu tujuan serupa. Demi menghindari adanya kasus pasien kurang mampu yang sering kali ditolak rumah sakit hanya karena tidak mampu membayar administrasi di awal, maka Qirani dan kawan-kawan pun telah serempak membentuk sebuah tim sukarela yang mana akan sangat membantu bagi siapa saja yang benar-benar sedang membutuhkan pertolongan. Satria yang dipercaya sebagai ketua tim lantas menjentikkan jari tepat di depan wajah Qirani yang kala itu malah kedapatan agak melamun alih-alih segera menyahutnya. "Rani, aku tanya soal proposal kamu malah melamun. Mikirin apa, sih? Mau cerita?" Dalam sekejap, Qirani yang merasa malu karena sudah terciduk oleh Satria pun lantas buru-buru saja menggelengkan kepalanya. "Gak mikirin apa-apa, kok. Bentar aku ambilin dulu proposalnya ya," ujar perempuan itu bersiap bangkit. Akan tetapi, saat baru saja ia melangkah menuju ke arah lemari penyimpanan berkas-berkas penting, mendadak kepalanya bak baru saja dihantam benda tumpul yang seketika menyebabkan rasa pusing mendera kepalanya. Tanpa disangka, Qirani jatuh pingsan yang sontak membuat Satria terpekik kaget hingga secepat kilat menghampiri temannya itu dan sigap menggendongnya untuk ia bawa ke ruang kesehatan. Beruntung sekali tim pemeriksa sedang ada di tempat, sehingga setibanya Satria yang membopong Qirani ke dalam ruangan, ia pun langsung mendapat tindakan spontan dari tim pemeriksa yang cenderung cepat tanggap. Di tengah Qirani yang sedang menjalani pemeriksaan, Satria diminta untuk menunggu di luar tirai bagian penindakan. Sampai pada saat proses pemeriksaan selesai, barulah Agatha turut keluar dan menghampiri Satria yang sedang menanti kabar terkini dari kondisi teman perempuannya. "Sat," panggil Agatha yang sepertinya sudah cukup akrab dengan Satria. Menoleh, Satria pun lekas berdiri dan langsung bertanya, "Gimana keadaan Rani, Tha? Dia baik-baik aja, kan?" Sejenak, Agatha tampak terdiam dan merasa bingung untuk menjelaskannya. Namun, tentu saja Satria tak bisa membiarkan Agatha untuk terus bungkam. Maka dari itu, Satria pun dengan cepatnya menanyai kembali Agatha perihal kondisi Qirani berikut penyebab dirinya yang bisa tiba-tiba jatuh pingsan begitu. "Gue rasa Rani hamil, Sat." Mendadak saja Agatha mencicit ragu. Mendengar itu, sontak saja Satria pun tertegun kaget di tengah matanya yang terbelalak. *** "Akhirnya Nisa bangun, Ris. Kalo gak sibuk sama pekerjaanmu kamu cepetan ke sini ya. Kasian Nisa nanyain kamu terus sejak dia tersadar dari tidur panjangnya," ucap sebuah suara dari seberang telpon. Menciptakan perasaan haru bahagia karena yang selama ini ia tunggu, akhirnya tiba juga setelah sekian lama Haris menantikan istrinya terbangun dari koma. "Haris ke sana sekarang, Ma. Kebetulan Haris lagi gak terlalu sibuk. Bilang sama Nisa, Haris akan ke sana temuin dia," sahut pria itu tak sabar. Kemudian, setelah memutuskan percakapan via telpon dengan ibu mertuanya, Haris pun benar-benar pergi meninggalkan meja kerjanya guna menemui Danisa yang ternyata masih diberi kesempatan untuk membuka mata selepas mengalami koma selama berbulan-bulan pasca kecelakaan yang menimpanya. Seusai memberi pesan pada sekretarisnya, Haris meluncur menuju rumah sakit di mana sang istri menjalani perawatan. Hatinya membuncah bahagia karena pada akhirnya, penantian panjangnya telah selesai. Mendengar kabar perihal Danisa yang katanya sudah siuman dan terus menanyainya, tentu saja Haris pun merasa tidak sabar untuk bertemu tatap dengan wanita itu. Sehingga dengan cepatnya, ia melajukan kemudi membelah jalanan yang untungnya belum dipadati oleh kemacetan yang sering kali terjadi. Tiba di rumah sakit, Haris langsung saja menuju ruang perawatan yang sebelumnya sudah sempat ibu mertuanya beritahukan. Disertai dengan perasaan bahagia, pria itu lalu sampai juga di depan pintu kamar rawat VIP yang telah resmi ditempati oleh istrinya setelah tidak lagi menghuni ruang ICU sesadarnya ia dari koma. Bersama buket bunga yang sempat ia beli di toko bunga pinggir jalan tadi, Haris pun mendorong pintu dan mulai melangkah masuk menghampiri ranjang pasien yang mana tengah dihuni oleh sang istri. Untuk pertama kalinya, ia pun melihat wajah Danisa yang tak lagi pucat dengan bola mata belonya yang tidak lagi tertutup setiap kali Haris datang menjenguknya. Kini, mata itu telah terbuka. Diiringi dengan lengkungan senyum lembut tatkala mendapati kemunculan sang suami yang begitu ia rindukan dan tak sabar ingin dipeluknya erat. "Nisa," gumam Haris agak gemetar. Secepat kilat, ia pun beringsut mendekat dan refleks memeluk wanita itu dengan sangat hangat dipenuhi kerinduan. "Terima kasih karena telah berjuang untuk kembali hidup, Sayang. Aku benar-benar merindukanmu," imbuh Haris di tengah peluknya. Menciptakan suasana haru yang telak disaksikan oleh sepasang suami istri yang tak lain adalah papa mama mertuanya. "Aku juga rindu kamu, Mas. Maaf karena aku terlalu lama tidur hingga aku abai terhadapmu," tutur Danisa membalas. Air matanya jatuh menetes di sela ia yang memeluk erat tubuh suaminya yang masih sangat sama dengan terakhir kali ia memeluknya beberapa bulan lalu sebelum kecelakaan itu merenggut masa sadarnya. "Jangan pernah tidur terlalu lama lagi ya, Sayang. Aku bener-bener takut kalo kalo kamu--" Haris tidak mampu melanjutkan perkataannya. Meski begitu, ia malah mengeratkan pelukannya sebelum akhirnya ia teringat akan keberadaan papa mama mertuanya yang sempat berdeham seakan memberi kode pada Haris bahwa mereka masih ada di dalam ruangan. Sontak saja, Haris pun tersadar dan memilih menyudahi pelukannya terhadap Danisa. Sejenak, ia hanya mampu nyengir malu di tengah kekehan geli Danisa yang refleks mengusap lengan kekar Haris yang tak pernah berubah. "Mama sama Papa bisa keluar dulu sekiranya mengganggu acara lepas rindu kalian," tukas Mentari turut terkekeh. Dengan cepat, Haris menggeleng dan berkata, "Gak usah segitunya, Ma. Kalian di sini aja. Lagi pula, Nisa pasti masih kangen juga sama kalian. Secara, putri tidur ini baru bangun lagi setelah sekian lama asyik berkelana dalam mimpi panjangnya." Pria itu melirik ke arah sang istri dan menyorotkan tatapan penuh kasihnya pada Danisa. Tentu saja Danisa mendadak tersipu. Sehingga yang bisa ia lakukan sekarang adalah membenamkan wajah malunya di d**a sang suami. Namun, tiba-tiba ponsel berdering. Mengharuskan Haris menjeda dulu kebersamaannya dengan Danisa di kala ia harus menerima panggilan masuk yang dirasanya cukup penting. "Klienku telpon, kayaknya agak penting. I will back. Kamu ngobrol santai dulu aja sama mama papa, ya...." Setelah sempat mendaratkan kecupan ringannya di kening sang istri. Haris yang juga meninggalkan buket bunganya di ujung ranjang pasien pun lantas mulai bergegas menuju keluar ruangan. Melihat nama pemanggil yang bukan dari kalangan klien, tentu saja Haris pun harus sedikit berbohong pada istrinya. Dengan begitu, ia bisa menjawab panggilan tersebut tanpa perlu tetap berdiam diri di sisi istrinya. Sehingga sesampainya Haris di luar ruangan, ia pun mulai menjawab panggilan masuk yang ternyata berasal dari Qirani, adik iparnya. "Ya, Rani. Apa kabarmu?" "Aku hamil, Mas. Udah telat satu bulan." Dalam sekejap, jantung Haris pun seperti mencelos di tengah tubuhnya yang turut mematung tak mampu bergerak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD