Bunga kertas

1008 Words
Sekar bangun kesiangan hari ini, itu karena dia terlalu seru mendengarkan cerita dari Mbok Jum semalam. “Nduk? Sudah bangun?” tanya mbok Jum saat melihat Sekar baru saja masuk ke pawon. “Biyung ke mana, Mbok?” bukan bermaksud tidak sopan, hanya saja ini sudah jam enam pagi dan biyungnya belum di terlihat adalah hal yang aneh menurutnya. Biyung-nya tidak pernah bangun kesiangan selelah apa pun juga, Sekar sangat bangga dengan Biyung-nya yang task pernah lalai, tapi hari ini malah membuatnya terheran sendiri. “Kanjeng tadi ikut menengok ladang, sekarang kan panen di Ngruwot ( salah satu nama daerah dekat desa Krantil ), Nduk Sekar mau menyusul?” tawar mbok Jum. “Sama siapa, Mbok? Biyung sudah berangkat.” Sekar sangat menyesal karena bangun kesiangan tadi. Ternyata apa yang dia pikirkan hanya salah sangka saja. Biyung-nya tetap luar biasa. “Biar diantar Pak Jo kalo mau?” mbok Jum menawarkan salah satu sopir cikar yang dimiliki Kanjeng Kaseni jika memang Sekar mau menyusul. “Ndak usah, Mbok. Aku mau mandi, nanti bantu Mbok saja di warung.” Sekar segera kembali lagi ke kamarnya untuk mengambil handuk, dan kemudian membersihkan dirinya sendiri. Matahari sangat tinggi, warung tetap ramai seperti biasanya. Meski Sekar hanya diam dan memilih menuliskan cangkriman wujud tembang, Sekar sangat suka hal-hal seperti itu. Bapak pucung renteng-renteng kàyà kalung Dàwà kàyà ulà Pancokanmu wesi miring Sing disàbà si pucung mung turut kuthà Setelah selesai menulis itu, Sekar mencoba menembang / menyanyikannya. Dengan suaranya yang khas, tidak terlalu keras dan juga tidak terlalu pelan. Cukup untuk dinikmatinya sendiri. “Sangat indah.” Sekar menghentikan tembangnya, menoleh ke sumber suara dan segera menunduk setelah melihat sosok itu. “Suaramu sangat bagus.” “Mas Danuri kok di sini?” tanya Sekar selirih desiran air di kali, gemericik dan menggoda kaki telanjang yang dimasukkan di dalam sana. “Mas mampir mau beli makan habis mengantar daging, Dik Sekar?” Danuri memang jujur kali ini, dan suara Sekar membuatnya langsung ke luar dan mencari suara merdu yang ternyata ke laur dari bibir mungil semerah tomat di sana semburat jingganya semakin kental. “Anu, Mas. Rumah saya di sini.” Sekar merasakan pipinya panas membara dan keningnya berkeringat saat ini. Danuri tersenyum, “Mas seneng mampir ke sini dan bisa tahu rumahmu ternyata di sini juga.” Hening. Dua orang dengan kekakuannya hanya bisa memandangi kaki mereka masing-masing. “Den, nanti seburu sore.” panggil bajing-an yang tadi bersama dengan Danuri, dan segera pergi setelah melihat Danuri menganggukkan kepalanya. “Mas pulang dulu, Dik Sekar.” pamit Danuri, setidaknya dia senang bisa bertemu dan mendengar tembang itu tadi. “Inggih, Mas Danuri.” dengan kepalanya yang masih tertunduk, Sekar menjawabnya tanpa berani melihat Danuri yang sudah menghilang entah ke mana. “Nduk?” Sekar menjingkat, jantungnya berdebar lebih cepat karena terkaget mendapat usapan halus di pundaknya, “Biyung?!” Sekar sedikit memekik setelah mengetahui siapa yang menyentuhnya tadi. “Biyung lihat kok kamu diam saja, Nduk. Ada apa?” tanya Kartini, dia baru saja tiba dari ladang, tubuhnya masih bau keringat dan kebayanya juga basah di bagian punggungnya. Sekar menggeleng, “Biyung tadi kok ndak bangunin Sekar kalau mau ke ladang?” Sekar suka ke ladang melihat orang memanen padi, menurutnya ikut makan bersama-sama orang di sana sangatlah menyenangkan. Kaseni terkekeh, “gatal di sana, nanti kulitmu gosong.” “Memangnya kalo Biyung yang di sana gak gosong?” ledek Sekar. Kaseni pun terbahak, “dah, Biyung mandi dulu.” memilih meninggalkan putri semata wayangnya dan segera membersihkan diri agar keringatnya hilang dan tidak gatal. Sekar kembali ke bukunya, berniat untuk membawanya masuk ke dalam dan meletakkannya di lacinya agar tidak sampai ketlisut / hilang. Namun gerakannya menjadi diam saat melihat bunga kertas berwarna merah dan jingga di atasnya. Sekar sangat tahu itu adalah bunga yang dia tanam di pekarangan rumahnya, dekat dengan warung yang pegang oleh mbok Jum. Senyumnya merekah, dia sangat tahu bunga itu, pasti Mas Danuri tadi yang memetiknya untuk dirinya. Meski orangnya suah tidak di sini, nyatanya pipi Sekar tetap saja merona seakan pemetik itu masih tetap di tempatnya dan melihatnya saat ini. Malam cepat menjelang. Suara jangkrik dan juga Cenggeret ( sejenis kumbang di kebun saat senja mulai menyapa ) mulai bernyanyi dan bersahutan meramaikan dusun Krantil ini. “Jum, kalau pemuda itu ke mari, meski aku tidak di rumah, berikan ini untuknya, bilang saja ini dariku khusus aku hadiahkan untuknya. Tapi kalau ada aku, panggil saja aku.” Kaseni memberikan kotak kayu kecil kepada mbok Jum dan menye-dot cerutnya lagi. “Siapa, Biyung?” tanya Sekar karena merasa biyung-nya itu tidak sedang menunggu seseorang selama ini. “Biyung mau ka-win lagi, Nduk.” kata Kaseni mantap. “Dari mana?” Sekar tidak pernah melayang biyung-nya itu, dia sangat sadar kalau beliau juga membutuhkan teman di kala malam, Sekar sangat mengerti akan hal seperti itu. “Namanya Sugeng, dari Peniwen. Biasanya pasti mampir ke warung saat makan siang, tapi sudah tiga hari ini tidak.” jelas Kaseni dan diangguki oleh Sekar. “Mungkin sedang mengirim singkong ke desa sebelah, Kanjeng. Di Cendol ada wayang karena kepala desa di sana mengkhitankan putranya.” jawab mbok Jum. “Wayang?” Sekar bersemangat, tapi cemberut kembali setelah mengingat sesuatu, “tapi sangat jauh.” imbuhnya lagi. “Kamu mau nonton wayang, Nduk?” tanya Kaseni yang menyadari kegundahan putrinya itu. Sekar tersenyum dan menggeleng, “mboten/ tidak, Biyung. Jauh.” Kaseni terkekeh, “Jum!” “Iya, Kanjeng.” jawab mbok Jum saat mendengar namanya dipanggil tadi. “Tiga hari lagi adakan wayang, panggil dalang dari Kali Pare, putriku ini mau menonton wayang.” Kaseni mengatakannya tanpa keraguan sedikit pun di mimik wajahnya. “Biyung?!” pekik Sekar, tidak pernah menyangka akan mendapatkan hadiah itu dari biyung-nya itu. “Biyung setiap hari memastikan panen tidak gagal hanya untukmu saja, Nduk.” Kaseni sangat menyayangi putrinya itu. Sekar pun langsung mendekat dan memeluk biyung-nya itu sangat erat. Meski hidup hanya berdua saja, nyatanya Sekar tidak pernah kekurangan kasih yang dari orang tua tunggalnya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD