Aurelia Kara Madeleine.
Namaku mungkin terdengar panjang dan agak rumit bagi sebagian orang. Tapi bagiku, nama itu lebih dari sekadar susunan huruf—itu bagian dari diriku. Nama adalah doa yang lahir dari cinta dan harapan.
Aurelia berarti cahaya. Mama memberiku nama itu karena aku lahir bersamaan dengan terbit matahari pagi. Katanya, Aurelia berarti emas atau sesuatu yang berkilau. Ia percaya cahaya itu pertanda baik—bahwa aku akan membawa terang bagi orang-orang di sekitarku.
Dulu aku berusaha menjadi seperti itu: cerah, kuat, dan selalu tersenyum. Tapi waktu mengajariku bahwa cahaya sejati tidak selalu terang. Kadang redup—namun cukup untuk menuntun langkah di tengah kegelapan. Kini aku paham, cahaya tidak harus mencolok. Kadang, cukup lembut saja. Mungkin itulah makna sebenarnya dari Aurelia: bukan tentang menerangi semua orang, tapi menjaga agar sinar kecil di dalam diri tidak padam.
Nama tengahku, Kara, berasal dari kata cara—kasih. Karena berakar dari itu, nama ini sering dihubungkan dengan cinta tanpa syarat, ketulusan hati, dan kesetiaan; cinta yang lembut seperti agape dalam ajaran iman.
Aku tidak selalu memahami arti cinta seperti itu. Pernah ada masa ketika cinta terasa berat dan menyakitkan. Tapi perlahan aku belajar, cinta sejati bukan tentang memiliki, tapi tentang kehadiran. Ia tidak mengekang, tapi menuntun. Ia tidak menuntut balasan, tapi tetap mengerti.
Kini, Kara menjadi pengingat tentang cinta yang lembut dan sabar—yang tetap ada meski tak terlihat, yang memaafkan tanpa dendam, dan yang bertahan bukan karena kewajiban, tapi karena ketulusan.
Madeleine adalah nama terakhirku. Dalam tradisi Kristen, nama ini diambil dari Maria Magdalena, seorang pengikut Yesus yang dikenal karena kesetiaannya. Ia tetap percaya dan hadir bahkan ketika banyak orang menyerah. Buatku, Madeleine melambangkan keteguhan hati—tentang tetap jujur pada diri sendiri, tetap berpegang pada nilai dan keyakinan, bahkan ketika semuanya diuji.
Kesetiaan seperti itu tidak berisik. Ia hidup dalam keputusan kecil: untuk terus berbuat baik, berharap, dan mencintai, meski dunia kadang melukai.
Cahaya, kasih, dan kesetiaan—tiga hal yang membentuk siapa diriku sekarang. Cahaya mengajarkan untuk tidak mudah menyerah. Kasih mengajarkan untuk memberi tanpa takut kehilangan. Kesetiaan mengajarkan untuk tetap percaya, bahkan saat harus menunggu dalam diam. Mungkin itulah makna dari nama yang diberikan padaku: doa agar aku tetap menjadi manusia yang mau mencintai, terus berharap, dan selalu setia.
Dulu aku kira orangtuaku memilih nama itu hanya karena terdengar indah. Tapi sekarang aku sadar, pilihan itu bukan kebetulan. Nama itu seperti pesan tersembunyi—warisan yang bukan diturunkan lewat darah, tapi lewat makna. Aurelia, agar aku tak lupa pada cahaya. Kara, agar aku belajar mencintai dengan tulus. Madeleine, agar aku tetap setia—pada keyakinan, pada cinta, dan pada diriku sendiri.
Tapi di antara ketiga nama itu, orang-orang memanggilku dengan nama yang lebih sederhana: Rara. Nama kecil yang hangat dan akrab, seperti pelukan yang menenangkan. Rara adalah diriku sehari-hari—lebih ringan, dan mungkin itulah cara dunia mengenalku tanpa harus membawa seluruh makna di balik nama panjangku.
Aku lahir di sebuah kota yang tidak terlalu besar tapi juga tidak kecil—tempat di mana hidup berjalan dengan ritme yang tenang, tidak tergesa-gesa, namun selalu bergerak. Jalan di depan rumahku tidak ramai, tapi juga tidak sepi. Setiap hari aku mendengar tawa anak-anak yang bermain di gang, mencium aroma masakan dari dapur rumah, dan suara pedagang yang lewat sambil menawarkan dagangan mereka. Ada keseimbangan yang unik di sana—antara keramaian dan keheningan, antara kesederhanaan dan usaha untuk bertahan hidup.
Aku tumbuh di keluarga menengah. Kami tidak kekurangan, tapi juga tidak berlebih. Dari situ aku belajar bahwa kekayaan yang sebenarnya adalah kasih sayang. Uang bisa habis, barang bisa rusak, tapi cinta yang kami rasakan di rumah tidak pernah pudar. Di sanalah aku belajar arti kebersamaan, pengorbanan, dan cinta yang tulus—cinta yang tidak menuntut balasan, hanya memberi dengan ikhlas.
Aku anak pertama di keluarga kecil kami. Sejak kecil aku terbiasa menjadi contoh bagi adikku dan membantu Papa serta Mama menjaga ketenangan di rumah. Kadang jadi anak pertama terasa berat—aku harus belajar lebih cepat, bersikap lebih dewasa, dan menahan diri agar tidak menambah beban orang tua. Tapi semua itu membentukku menjadi pribadi yang lebih kuat, sabar, dan peka terhadap perasaan orang lain.
Lima tahun setelah aku lahir, adikku, Danis, datang. Ia membawa kehangatan sekaligus kekacauan kecil dalam hidup kami. Danis anak yang penuh energi—selalu punya cara membuat rumah jadi ramai, entah lewat tawanya yang keras atau ulahnya yang kadang buatku kesal. Meski sering membuatku marah, setiap kali ia tersenyum atau tiba-tiba memelukku, semua rasa kesal itu hilang begitu saja.
Papa orangnya tidak banyak bicara, tapi kehadirannya terasa kuat—seperti dinding yang melindungi tanpa mengekang. Ia jarang mengekspresikan perasaan, tapi dari sikap tenang dan tegasnya, aku belajar banyak hal. Kalau aku berbuat salah, Papa tidak memarahi dengan kata-kata keras. Ia hanya diam, dan entah kenapa diam itu membuatku ingin memperbaiki diri. Di balik ketegasannya, aku selalu bisa merasakan kasih sayangnya.
Mama, sebaliknya, penuh kehangatan. Ia bukan cuma ibu, tapi juga sahabat terbaikku. Dari senyumnya, caranya berbicara, sampai tatapan matanya, selalu ada kelembutan yang menenangkan. Mama tahu kapan harus tegas dan kapan harus mendengarkan. Dari dirinya aku belajar tentang kesabaran dan kekuatan yang tidak selalu terlihat. Kehadirannya membuat rumah kami terasa lengkap—seolah setiap sudut dipenuhi cinta.
Malam-malam di rumah kami selalu hangat. Kadang kami duduk bersama di ruang tamu, menonton televisi sambil menikmati teh buatan Mama. Papa sesekali bercanda, membuat Mama tertawa kecil, sementara Danis sibuk menarik perhatian dengan kelakuannya. Aku selalu suka momen itu—saat dunia luar terasa jauh, dan yang tersisa hanyalah tawa, kehangatan, dan rasa aman.
Kami memang tidak selalu sependapat. Kadang ada perbedaan kecil, tapi tidak pernah sampai membuat kami berjauhan. Kami selalu berusaha mendengarkan, berbicara tanpa marah, dan saling memahami.
Rumah kami mungkin terlihat sederhana, tapi di dalamnya ada sesuatu yang sangat berharga: keharmonisan. Kami saling mengerti tanpa banyak bicara, saling menenangkan tanpa banyak alasan. Di rumah itu, cinta tumbuh tanpa pamer dan tanpa syarat—selalu ada, dan itu sudah cukup.
Januari lalu, aku genap berusia dua puluh lima tahun—usia seperempat abad. Bagi sebagian orang, mungkin itu hanya angka biasa. Tapi bagiku, usia dua puluh lima menjadi pengingat bahwa waktu terus berjalan, dan aku tidak bisa terus diam di tempat yang sama.
Usia ini bukan lagi masa remaja, tapi juga belum sepenuhnya dewasa. Aku masih ingin bebas seperti anak muda, tapi mulai memikirkan hal-hal besar tentang masa depan. Umur dua puluh lima terasa seperti berada di persimpangan antara masa lalu yang penuh kenangan dan masa depan yang masih belum jelas.
Namun sekarang, ada satu hal yang mulai kupahami: aku semakin mengenal diriku sendiri. Aku tahu batasanku, apa yang aku mau, dan nilai-nilai yang ingin kupegang. Di tengah semua kebingungan, ada semangat kecil yang tumbuh—keyakinan bahwa aku sedang melangkah ke arah yang benar, meski belum tahu persis akan sampai ke mana.
Hidup di usia ini memberiku ruang untuk mencoba, gagal, dan bangkit lagi. Untuk mencari arah, belajar, dan mengenali diri lebih dalam. Mungkin juga untuk mencintai, dan belajar bagaimana rasanya dicintai—meski tidak selalu mudah. Karena pada akhirnya, semua luka dan tawa hanyalah cara hidup mengajarkan kita tentang arti menjadi manusia seutuhnya.
Banyak teman-temanku sudah melangkah lebih jauh. Ada yang berani memulai hubungan serius, ada juga yang memilih jalan hidupnya tanpa peduli omongan orang lain. Kadang aku merasa iri, atau takut tertinggal. Tapi kemudian aku sadar, setiap orang punya waktunya masing-masing.
Aku juga punya jalanku sendiri. Tidak semua hal harus terjadi sekarang.
Aku bukan orang yang polos. Aku pernah jatuh cinta, pernah merasakan ciuman di pipi, bahkan hampir kehilangan kendali karena terbawa suasana. Aku tahu rasanya menari hingga larut malam, meminum sesuatu yang membuat kepala pusing, dan tenggelam dalam pelukan di tengah keramaian.
Aku juga tidak menolak rasa penasaran yang sering muncul. Kadang aku bertanya-tanya, seperti apa rasanya melewati batas itu—hal-hal yang sering k****a di novel atau kulihat di film. Bukan cuma soal fisik, tapi juga tentang perasaan yang menyertainya: bagaimana jantung berdetak lebih cepat, bagaimana kedekatan bisa terasa begitu nyata, dan bagaimana sesuatu yang sederhana bisa menjadi rumit sekaligus indah.
Bukan karena aku ingin melanggar nilai-nilai yang kupegang, tapi karena aku ingin mengerti—apa yang membuat seseorang rela menyerahkan segalanya demi sebuah rasa yang katanya begitu kuat dan memabukkan.
Semua itu pernah menjadi bagian dari diriku—bagian kecil yang ingin merasakan hidup sepenuhnya. Tapi di balik semua itu, ada batas yang selalu kujaga. Bukan karena takut, tapi karena aku percaya tubuh ini adalah sesuatu yang berharga. Aku hanya ingin menyerahkannya dengan penuh cinta, bukan karena momen sesaat.
Mungkin di situlah arti kejujuran: bukan di seberapa banyak hal yang berani kulakukan, tapi di seberapa teguh aku menjaga apa yang penting bagiku. Kadang aku bertanya-tanya, sampai kapan aku bisa bertahan dengan keyakinan itu. Hidup penuh godaan, penuh situasi yang bisa membuat seseorang kehilangan kendali. Tapi sejauh ini aku masih bisa berdiri, bukan karena aku kaku, melainkan karena aku menghargai diriku sendiri.
Aku ingin, saat waktunya tiba, aku bisa menyerahkannya dengan perasaan penuh syukur, bukan penyesalan. Aku ingin tetap menjaga diriku sampai tiba waktu yang tepat—saat aku menikah dengan seseorang yang benar-benar kucintai dan mencintaiku dengan tulus.
Aku ingin memberikan bagian terbaik dari diriku hanya kepada satu orang, di saat yang benar. Dan sampai hari itu datang, aku memilih untuk menunggu.
Itu janji untuk diriku sendiri, doa yang selalu kupanjatkan setiap malam. Aku percaya bahwa tubuh adalah anugerah, dan menjaganya adalah bentuk menghormati cinta serta harga diri.
Tapi hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana. Semuanya berubah pada suatu malam. Malam itu bukan hanya tentang kehilangan sesuatu yang disebut keperawanan. Malam itu menjadi batas antara diriku yang dulu dan diriku yang sekarang—malam ketika dunia yang kukenal runtuh dalam diam, meninggalkan kepingan yang tak tahu harus kususun mulai dari mana.
Aku tidak tahu siapa yang harus kusalahkan. Takdir? Kebodohanku? Atau kepercayaanku pada seseorang yang ternyata tidak pantas?
Yang kutahu, sejak malam itu, aku tidak lagi sama. Aku masih ingat rasa hampa yang menyelimutiku setelahnya. Dunia yang biasanya terasa berwarna tiba-tiba menjadi abu-abu. Segalanya tampak redup, seolah ada tirai yang menutupi pandanganku terhadap kehidupan yang dulu terasa hangat.
Aku kehilangan lebih dari sekadar sesuatu secara fisik. Aku kehilangan rasa percaya—pada orang lain, pada dunia, dan yang paling menyakitkan, pada diriku sendiri. Sejak malam itu, aku tahu segalanya telah berubah. Aku tidak lagi menjadi Rara yang sama.
Malam itu mengajarkanku bahwa tidak semua hal bisa kembali seperti semula. Kadang, yang bisa kulakukan hanyalah menerima diriku yang baru, apa pun bentuknya.