Kebun teh puncak pass dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara VIII. Tidak sedikit warga lokal yang dikaryakan sebagai pemetik teh. Lanskapnya yang unik, membuat banyak orang yang memanfaatkan kebun teh sebagai salah satu spot foto-foto. Tidak jarang bahkan beberapa rumah produksi menggunakan kebun teh sebagai salah satu lokasi pengambilan gambar film mereka. Berjalan bersisian dengan orang yang dikasihi di sekitar kebun teh selalu menjadi salah satu adegan yang menjual.
Dulu Jelita selalu menganggap itu hanyalah omong kosong belaka. Adegan yang sengaja dibuat demi kepentingan komersil.
Namun rasanya ia harus berpikir ulang tentang hal itu.
Saat ini berjalan bersama ayahnya di tengah hamparan kebun teh justru membuat perasaan Jelita tidak karuan. Ia bahagia karena bisa menghabiskan waktu dengan ayahnya. Sekaligus merasa canggung karena baru mengetahui fakta lain tentang dirinya.
Sudah sekitar sepuluh menit mereka hanya berjalan. Keduanya terus berjalan menyusuri jalan setapak di sekitaran kebun teh. Sesekali Jelita melirik ayahnya. Masih tersimpan rasa tak percaya bahwa sosok yang selama ini ia kenal sebagai ayahnya ternyata seseorang yang memiliki perusahaan besar. Perusahaan yang merupakan sudah menjadi incarannya sejak ia duduk di bangku sekolah menengah kejuruan.
“Ada yang aneh ya sama Papa?” tanya Rayhan tiba-tiba.
“Eh ?”
“Soalnya dari tadi kamu terus lirik-lirik Papa. Papa pikir ada sesuatu yang aneh sama Papa. Tapi kamu nggak tega ngomongnya.”
Jelita tertawa mendengar analisa ayahnya yang asal-asalan.
“Nah, gitu dong. Ketawa. Jangan Cuma diem-dieman aja. Kita istirahat duduk di sana dulu.” Rayhan menunjuk sebuah batu besar di depan mereka.
“Nih, minum dulu. Kita udah dari tadi jalan kaki. Nggak mungkin kamu nggak haus.” Rayhan menyodorkan sebuah tumbler yang dibawanya sejak keluar dari rumah makan. Jelita menerimanya tapi ia tidak langsung meminnumnya.
“Bagaimana perasaanmu?” tanya Rayhan.
“Perasaan gimana maksud Papa?”
“Hugo cerita, katanya kamu Cuma diam aja selesai baca surat Papa yang dititipkan sama dia.”
Jelita menghela napas. Ia ingat dua hari yang lalu saat Hugo menyerahkan sebuah surat dalam amplop biru laut. Saat itu ia membaca surat Rayhan sendirian. Awalnya dia hendak membaca surat itu di depan bibi-bibi pengsuhnya. Namun akhirnya ia menyingkir sedikit ke salah satu spot favorit pelanggannya. Sebuah kursi gantung berwarna putih yang sangat kontras dengan hijaunya tanaman artifial.
Setelah selesai membaca surat itu, Jelita hanya menghampiri Hugo dan mengucapkan terima kasih kemudian berlalu masuk ke dalam rumah meninggalkan semua orang di taman. Jelita tidak tahu apa yang terjadi setelahnya. Tetapi ia menduga Hugo dan para Bibi pengasuhnya saling berbagi informasi.
“Aku bingung sebenarnya. Siapa aku?” tanya Jelita setelah jeda yang cukup panjang.
“Kamu puteri Papa. Jelita Arisha Reswari. “
“Lalu siapa Papa.”
“Papa adalah Rayhan Susilo Reswari.”
Sampai di sini Jelita termenung. Ia tidak mungkin tidak mengetahui nama itu. Rayhan Susilo Rewari adalah salah satu tokoh yang menjadi panutannya. Sejak ia menyadari bahwa nama belakangnya Reswari, dirinya menjadi sedikit terobsesi dengan Reswari Group. Sebuah perusahaan yang bergerak di jasa penginapan dan pelayanan.
Jelita bahkan masih mengingat bagaimana dulu ia selalu berandai-andai ia adalah seorang pewaris yang hilang. Entah bagaimana ketertarikannya di bidang perhotelan membuat ia berharap dapat bekerja di salah satu hotel Rewari.
Jelita tidak dapat berkomentar apa-apa. Selama ini yang ia tahu ayahnya bernama Rayhan. Itu saja. Ditambah sosok Rayhan Susilo Reawari memang tidak pernah menunjukkan diri di hadapan media. Ia menutup semua privasinya hanya untuk dirinya. Pun majalah bisnis dan pariwisata tidak ada yang pernah dapat mengabadikan sosoknya dalam laman media mereka. Satu-satunya foto pernah muncul ke media adalah foto pernikahannya. Itupun sepertinya hasil foto amatiran.
“Papa nggak lagi bercanda kan? “
Rayhan menatap mata puteri semata wayangnya. Ia meraih tumbler di tangan Jelita lalu membuka tutupnya. Kemudian ia berikan tumbler yang sudah terbuka itu untuk gadis kecilnya yang sudah dewasa. “Minum dulu.”
Kali ini Jelita menuruti perintah ayahnya.
Rayhan menyerahkan tutup tumbler pada Jelita yang langsung menutupnya. Pria yang sudah berusia setengah abad itu melayangkan pandangannya pada Gunung Salak yang terlihat di kejauhan.
“Papa yakin, kamu belum mengajukan pertanyaan yang paling membebanimu? Tapi sebelum pertanyaan itu muncul, Papa akan menceritakan satu kisah.” Rayhan menarik napas panjang sebelum mengembuskannya dengan pelan.
“Ada seorang perempuan sederhana yang tampak cantik. Dia menjadi salah satu primadona sekolah. Beruntung seorang laki-laki muda yang yang biasa saja dapat mempersuntingnya. Dari pernikahan mereka lahirlah seorang anak permepuan yang mewarisi kecantikan sang ibu. Karena itulah diberi nama Jelita.
Sayangnya kebersamaan keluarga kecil itu tidak bisa bertahan lama. Sebuah kecelakaan menyebabkan keluarga itu harus tinggal saling terpisah.”
Jelita merasakan matanya menghangat. Ia yakin masih ada cerita lanjutannya. Tapi ia juga pecaya bahwa ayahnya tidak akan meneruskan cerita itu.
“Jadi berita kecelakaan mobil itu tentang aku?” tanya Jelita pelan.
“Ya.”
“Lalu bagaimana dengan Mama?” Entah ingatan dari mana ia otomatis menyerukan panggilan Mama untuk ibunya.
Rayhan tersenyum mendengarnya. “Rupanya kamu masih ingat panggilan untuk ibumu, ya? Dia sudah tertidur untuk waktu yang sangat lama. Nanti akan Papa antar kamu menemuinya. Dan seandainya sekarang kamu mengajukan pertanyaan kenapa, Papa Cuma bisa bilang kamu akan tahu suatu saat nanti.”
Jelita akhirnya melayangkan pandangan ke arah yang sama seperti ayahnya. Ia tahu jawaban untuk pertanyaannya yang utama belum akan dijawab secepat ini. Itu juga tercantum di dalam surat yang ia baca dua hari lalu.
“Tapi ada satu hal yang Papa minta sama kamu sekarang,” ujar Rayhan.
“Kalau Papa minta aku untuk tetap merahasiakan identitas diri aku, aku siap kok. Selama ini kan aku selalu berharap jadi pahlawan super yang puna identitas rahasia.”Jelita mengerlingkan matanya dengan lucu.
“Justru sebaliknya, “ kata Rayhan yang cukup mengagetkan Jelita, “Papa minta kamu bersiap untuk tampil di muka umum sebagai putri seorang Reswari.”
Kali ini Jelita tidak dapat menahan ekspresi kagetnya. Sudah cukup ia berpura-pura tidak kaget ketika ia membaca surat dari ayahnya. Di depan Rayhan Jelita jelas terkejut akan permintaan ayahnya.
“Tapi sebelum itu, sepertinya kamu perlu mempelajari beberapa hal dulu. Nanti Hugo yang akan membantumu.”
“Si Pengacara?” tanya Jelita sambil terkekeh.
“Kenapa memangnya?”
“Sebenarnya Papa mempekerjakan seorang pengacara atau model sih.”
“Dia terlalu tampan bukan? Do you have a crush on him ?” gurau Rayhan.
Wajah Jelita kontan memerah mendengar tanya berbalut gurau itu. Alih-alih menjawab ia asyik memalingkan wajahnya. Jangan sampai ayahnya melihat rona malu-malu itu di wajahnya.
“Tapi dia yang paling kuat bertahan untuk bekerja sama Papa. Sebagaimana pengacara lainnya, dia pandai. Bukan Cuma pandai dalam keilmuannya. Tapi juga pandai dalam membawa dirinya. Ada sesuatu yang membuat Papa mau mempertahankannya sebagai pengacara Papa.”