Berdiri di depan cermin sambil mematut diri jelas bukanlah kegemaran Jelita. Apalagi harus berganti pakaian beberapa kali. Seperti yang sedang ia lakukan sekarang. Tumpukan baju yang tak jadi ia kenakan semakin menggunung di atas ranjangnya.
Tidak pernah sebelumnya Jelita merasa serepot ini. Sejak semalam ia sudah kesulitan untuk memejamkan mata. Mencoba untuk menenagkan diri gadis itu berjalan hilir mudik di kamarnya.
Ketukan pintu menghentikan langkah kaki Jelita. Ia membuka pintu dan melihat Bibi Ros berdiri sembari membawa segelas lemon hangat, minuman kesukaannya. “Ayo diminum dulu.”
Dengan sekali tenggak, Jelita menghabiskan minuman hangat itu. Sementara wanita paruh baya di hadapannya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia melangkah masuk ke dalam kamar Jelita.
“Belum siap juga?” tanya Bibi Ros saat Jelita meletaakan gelas kosong di atas nakas.
Jelita menggeleng dalam diam. Dia merasa malas untuk menjawab pertanyaan apapun. “Kenapa?” tanyanya.
“Kenapa apanya?” Bibi Ros balik bertanya. Ia merapikan baju-baju yang menumpuk berantakan di atas kasur.
“Ayo duduk di sini.” Bibi Ros menepuk area kasur yang sudah bersih dari jajahan pakaian. Jelita menurut. Ia mendekat dan duduk di samping perempuan yang sudah ia anggap sebagai ibunya.
Setelah Jelita duduk, Bibi Ros segera mengambil sisir dan merapikan rambut Jelita.
“Apa yang mau Neng tanya?” tanya Bi Ros lembut.
“Bibi pasti tahu yang sebenarnya kan?” Jelita bertanya langsung tanpa basa-basi lagi. Sisiran Bi Ros terhenti ketika pertanyaan itu terlontar. Tetapi wanita yang sangat menyukai warna merah muda itu hanya diam tak menjawab. Butuh waktu sekitar sepuluh detik sebelum akhirnya Bi Ros melanjutkan kegiatannya merapikan rambut Jelita.
Diamnya Bibi Ros membuat Jelita menyimpulkan bahwa jawaban atas pertanyaannya adalah iya. “Kenapa harus disembunyikan? Kenapa tidak ada yang memberitahuku sebelumnya?”
Kali ini Bibi Ros menurunkan sisir.
“Maafkan Bibi, Neng. Tapi Bibi juga sama-sama nggak tahu apa yang harus Bibi jawab. Selama ini Bibi Cuma disuruh untuk mengasuh Neng Lita. Jauh dari keluarga Bapak.”
Jelita mengubah posisi duduknya. Kini ia melihat wanita yang duduk di hadapannya sedang menahan air mata. Dengan perasaan haru gadis itu memeluk Bibi Ros dengan sayang. “Maafin Lita. Lita Cuma bingung, Bi.”
Bibi Ros menepuk punggung Jelita dalam pelukannya. “Kamu bisa menolak untuk bertemu.”
“Tapi kalau Lita nolak, belum tentu juga kan Lita bisa ketemu Ayah sekarang-sekarang. Itu kata Hugo.”
Dua hari sejak Jelita membaca surat dari Rayhan Reswari, Hugo muncul di Delish Bakery pagi-pagi buta. Ia membawakan sebuah pesan lainnya dari Rayhan. Undangan makan siang bersama di restoran Puncak Pass.
Aneh adalah hal yang kini Jelita rasakan tentang ayahnya. Sebenarnya ia ingin menenangkan diri dulu sebelum bertemu dengan ayahnya. Namun Hugo menyampaikan bahwa Rayhan sengaja mengosongkan satu hari dari padatnya jadwal pekerjaan hanya demi puteri satu-satunya.
“Sekarang kamu siap-siap kalo gitu. Ayo, Bibi bantu. Kasihan Hugo udah nunggu di bawah,” kata Bi Ros sambil mengedipkan sebelah matanya.
^^^^^
Hugo bangkit dari duduknya saat ia melihat Jelita keluar dari pintu dapur. Sesaat ia sempat terperangah melihat gadis yang sedang berjalan di hadapannya. Bayangan seorang perempuan berpakaian serba longgar terhapus begitu saja.
Jelita tampak mempesona dengan blouse putih bermotif bunga krisantemum yang dipadukan dengan celana pensil denim. Rambut panjangnya yang biasa terikat kini digerai lurus tanpa aksesoris apapun. Wedges yang dikenakannya semakin membuat Jelita tampak menawan.
“Berangkat sekarang?” tanya Jelita pada Hugo.
“Ehm ..., iya. Kalo kamu sudah siap, kita berangkat sekarang.” Dengan sekali lirikan Hugo dapat melihat sapuan make up tipis menghiasi wajah Jelita.
“Bi, Lita berangkat dulu ya,” pamit Jelita pada bibi-bibinya yang berdiri di belakang counter kasir.
^^^^^
Perjalanan dari Yasmin Bogor ke Puncak jelas bukan perjalanan sebentar. Apalagi jika menggunakan kendaraan roda empat. Namun Jelita sengaja memilih diam tak bersuara. Hugo yang sedang mengendarai mobil, jelas menghormati pilihan Jelita untuk menikmati sunyi. Demi mengatasi keheningan yang terasa canggung, Hugo lebih memilih untuk menyalakan radio.
Setelah satu jam keheningan yang hanya diisi oleh suara penyiar radio, Rush yang dikendarai Hugo memasuki pelataran parkir sebuah rumah makan. Jelita segera turun begitu Hugo menaikkan rem tangan. Sikap yang jelas membuat Hugo mengernyitkan keningnya.
“Ayo, Pak Rayhan sudah tiba sejak tadi. Beliau sekarang sudah ada di lantai dua.” Hugo memberi tahu Jelita yang masih berdiri mematung di depan pintu masuk.
Jelita sesungguhnya sedang menata hati. Ia masih belum tahu bagaimana ia menghadapi ayahnya. Ayah yang selama ini ia kira mengenalnya.
Satu tahun yang lalu, ia masih bisa bermanja-manja dengan ayahnya tanpa perasaan malu. Dirinya bahkan langsung menghambur ke pelukan Rayhan setiap mereka bertemu.
Saat sampai di lantai dua bayangan Jelita tentang Rayhan yang memakai pakaian formal, setelan jas dan kemeja rapi, luruh dengan sendirinya. Tepat lima meter di depannya Rayhan berdiri menyambutnya. Laki-laki yang sudah berusia lima puluh tahunan itu tampak santai dengan kaos berkerah polos andalannya. Berpadu dengan celana tactical pendek warna khaki.
Tanpa perlu menunda satu detik pun, Jelita segera menghambur memeluk lelaki itu. Meninggalkan Hugo yang masih menatap heran pada tingkahnya.
Rayhan tersenyum bahagia ketika memeluk Jelita. Ia bahkan tertawa terbahak-bahak. Membuat Hugo yang melihat hal itu menjadi tambah keheranan. Karena apa yang dilihatnya sekarang berbanding terbalik dengan keseriusan Rayhan saat bekerja.
“Ayo kita duduk dulu. Kamu udah lapar belum? Ayah udah pesan makanan duluan.”
Keduanya duduk di salah satu meja yang sudah menghidangkan berbagai menu kesukaan Jelita. Nasi Liwet Teri Jambal, Cah Kangkung, Sambal Goreng Terasi, Ayam Goreng Serundeng, Tahu Bacem, Ikan Asin Peda, dan tidak ketinggalan sayuran mentah sebagai pelengkap lalapan.. Melihat hal tersebut gadis itu tertawa lepas. Inilah salah satu hal yang membuatnya jatuh cinta pada ayahnya. Selalu tahu apa yang diinginkan oleh Jelita.
“Lita emang udah lapar banget, Yah. Kita makan dulu ya. Baru nanti kita ngobrol lagi.” Tanpa sungkan Jelita segera mengambil menu-menu favoritnya ke dalam piringnya.
Hanya butuh waktu dua puluh menit bagi Jelita dan Rayhan untuk menyelsaikan santap siang mereka. Kebanyakan semua yang dihidangkan di atas meja dihabiskan oelh Jelita. Gadis itu bahkan tak malu untuk menggunakan tusuk gigi di depan ayahnya.
“Sudah selesai makannya, Sayang?” Rayhan bertanya lembut.
Jelita hanya mengangguk. Ia terlalu kekenyangan untuk mengeluarkan kalimat meski hanya satu kata.
“Mau ikut Ayah, jalan-jalan sebentar?”
Jelita menatap ayahnya lama kemudia mengangguk. Sudah saatnya mereka bicara. Wajah manis nan ceria yang sejak tadi ia perlihatkan mulai berganti menjadi serius.
“Kayaknya jalan di sekitaran kebun teh, enak deh, Yah.”
Rayhan terlihat tak percaya dengan kalimat yang terucap dari mulut puterinya. Meskipun diucapkan dengan nada santai, tapi sorot keseriusan terpancar dari mata Jelita. Puterinya kini sudah dewasa.