Bab 7

1143 Words
Delish Bakery merupakan sebuah gedung dengan dua lantai. Awalnya lantai kedua dijadikan sebagai tempat tinggal bagi Jelita dan para bibi pengasuhnya. Tapi saat gadis itu duduk di bangku pendidikan tinggi, sebuah lahan tak terpakai seluas kira-kira 45 meter persegi meter di lantai dua diubahnya menjadi salah satu bagian dari kedai. Lahan terbuka itu awalnya sengaja dibiarkan terbuka agar bisa menjadi tempat berkebun dengan  teknik hidroponik sistem sumbu. Sayangnya rencana tinggal rencana. Lahan itu lebih sering dijadikan sebagai tempat menjemur pakaian.   Akhirnya dengan sedikit bantuan seorang temannya, Jelita merubah lahan itu menjadi bagian outdoor kedai dengan tema rooftop artificial garden. Ia hanya menambahkan sebuah tangga putar di luar kedai, dekat dengan pintu masuk. Sedikit perubahan itu membawa dampak yang luar biasa bagi kedai roti mereka. Rooftop artificial garden di Delish Bakery justru menjadi salah satu tempat favorit bagi kawula muda. Bahkan tidak jarang rooftop itu sengaja disewa sebagai salah satu venue event-event tertentu.     Seperti kali ini, Jelita masih berdiri di ujung tangga ketika menyapa penyewa rooftop. “Udah pada datang semua, kan, Rif?”   Arif, yang notabene adalah salah satu teman sekolah Jelita semasa sekolah kejuruan, hanya mendengkus mendengar sapaan basa – basi dari Jelita. Laki – laki yang memakai kemeja flanel itu sengaja menyewa rooftop demi keperluan sessi photo shoot komunitas fotografernya.   “Belom semua ini. Hari ini tuh katanya ada 10 orang yang datang. Ini baru enam orang. Belum lagi modelnya. Harusnya ada empat orang. Dua model cowok sama dua model cewek. Lah, ini yang baru datang Cuma satu. Si Angel.”   Jelita menghampiri Arif dan melongok memperhatikan seorang model yang sedang berpose. Bukan pose yang aneh-aneh. Malah tingkah para fotografer yang berlebihan.   “Eh, model lo yang yang udah datang itu, cowok kan?” tanya Jelita penasaran.   “Iya, emang kenapa?” Arif malah balik bertanya, “naksir lo?”   “Ya bukanlah. Gue penasaran nih, kenapa namanya Angel?”   “Ha ... ha... ha.... Itu Cuma panggilan aja. Ya ..., bisa dibilang nama panggung, gitu.” Kemudian Arif berbisik pelan, “ Padahal nama aslinya Saepul Jamal.”   Jelita terkikik memndengar penjelasan Arif. “Ngomong-ngomong, kok nama panggungnya Angel? Enggak ada nama lain apa? Kan jadi aneh dengernya, gue aja cengo pas lo bilang namanya Angel tapi bodynya Thor.”   “Jangan tanya ke guelah. Tapi katanya, karena nama ‘angel’ itu menggambarkan persona diri dia. Wajah rupawan. Body menawan. Nggak jauh beda sama malaikat.”   “Lebai banget sih.” Jelita bergidik mendengar penuturan teman sekolahnya itu. “Eh, gue kesini Cuma mau ngingetin aja. Lo kan sewa tempat ini tiga jam dari jam sepuluh ampe jam satu siang. Sekarang udah jam sebelas ya. Waktu lo dua jam lagi.”   “Dih, cepet amat sih. Model gue belum pada datang nih.  Sia-sia gue bayar mereka kalo belum take shoot.”   “Itu sih, urusan lo. Urusan gue sama rooftop ini. Emangnya lo doang yang mau pake ni tempat?”   “Bantuin gue dulu, dong,” pinta Arif.   “Ogah. Gue mau turun ah. Mendingan gue bantuin di kedai.” Jelita seketika menolak tanpa basa-basi.   “Nah, berhubung lo mau turun, bantuin gue. Cukup lo tungguin model gue di deket pintu. Kalo udah pada datang suruh langsung ke sini, gitu.”   Jelita tak menghiraukan ucapan Arif. Ia gegas menuju tangga. saat kakinya menapak di anak tangga paling atas, Arif berseru, “Gue tambahin bonus deh. Asal lo lakuin yang tadi gue pinta!”   Jelita berhenti. Kakinya sengaja tertahan di udara. Ia menoleh dan tersenyum. “Oke. Nanti gue tambahin ke bill lo ya. Cuma nungguin doang kan. Sip itu !” Gadis itu mengankat kepalan tangannya dengan  ibu jari yang mengacung ke udara.   “Urusan duit aja, lancar banget. Dasar cewek,” omel Arif yang masih terdengar ke telinga Jelita. Gadis itu hanya menanggapinya dengan tertawa.   Di anak tangga terakhir Jelita berhenti. Ia menatap penuh harap ke arah jalan raya. Hari ini ada seseorang yang ia tunggu. Seseorang spesial yang hanya bisa ia temui satu tahun sekali.   Tiba-tiba pandangannya terhalangi oleh dua orang perempuan cantik. Fisik keduanya yang menjulang dan terlihat tidak alami bagi Jelita, membuatnya ingat akan pesan Arif.    “Temennya Mas Arif ya? Model kan?” sapa Jelita pada kedua perempuan itu begitu mereka sampai di pintu kedai.   Kedua perempuan itu saling bertatapan mata sebelum kemudian tersenyum dan mengangguk bersamaan.   “Kalau gitu, langsung ke atas aja. Lewat sini.” Jelita menunjukkan tangga yang tadi ia lewati.  Kedua model itu segera bergegas menaiki tangga setelah mengucapkan terima kasih.   Jelita hanya tersenyum ramah. Ia lalu mlengeluarkan ponsel pintarnya dari saku celemek kedai. Sudah beberapa kali sebelumnya ia mengecek kotak pesan dari gawai elektronik yang sedang digenggamnya itu. Jarinya terus saja menggulir layar ponsel. Semua aplikasi pesan ia sambangi.   Lelah hanya berdiri, ia kemudia bersandar persisi di samping pintu. Beberapa kali ia mendengar bisik-bisik pengunjung yang lalu lalang di sekitarnya.   “Gila, ganteng banget sih!”   “Kira-kira udah punya pacar belom ya?”   “Aish, aku mau deh Om, jadi sugar babynya.”   “Eh, kayanya dia model deh. Di atas lagi ada pemotreatan kan.”   “Kalo dia modelnya, mau dong jadi propertinya, hi, hi, hi.”   Jelita hanya mendengkus pelan mendengar semua ucapan yang dirasanya terlalu vulgar itu. Tapi ia tetap tak acuh, karena konsentrasinya sekarang adalah menanti kedatangan cinta pertamanya.   “Permisi.” Sebuah suara menyapa Jelita   Gadis itu tidak juga mengangkat wajahnya dari layar ponsel, ia hanya berujar, “Temennya Arif, kan? Dia ada di lantai atas.”     “Maaf.”   Permohonan maaf dengan nada kebingungan yang terdengar oleh Jelita membuat ia harus berpaling dari ponselnya. Saat itulah ia benar-benar melihat sosok yang berdiri di hadapannya. Setelan jas mahal. Dengan sedikit mendongak barulah ia benar-benar menatap sepasang mata beriris cokelat yang memancarkan keramahan.   “Maaf, saya mau tanya. Benar ini Delish Bakery?”   Jelita terdiam mendengar suara itu. Mulutnya sedikit terbuka. Ia seperti bermimpi ketika melihat titisan malaikat di hadapannya.  Jelita tidak mungkin melewatkan momen untuk merekam mahakarya ciptaan Yang Kuasa.   Pantulan sinar matahari membuat Jelita mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia tersadar akan tingkah absurdnya. Ia menggigit seluruh bibir bawahnya dan mengangkat kedua alisnya. “Ouch ..., Maaf. Ada yang bisa saya bantu?”   “Ah, iya. Saya Hugo Sinaga. Saya mau bertemu dengan Jelita Reswari.” Hugo mengulurkan tangan kanannya.     Jelita segera menyambut uluran tangan itu. “Saya Jelita. Apa kita pernah bertemu?”   ^^^^^    Delish Bakery terpaksa tutup lebih cepat. Beberapa pengunjung yang masih menikmati suasana dan menu di kedai terpaksa diberikan diskon besar demi tutupnya kedai. Bahkan Jelita terpaksa memberikan pembebasan ongkos sewa venue kepada Arif.   Sekarang mereka berlima duduk saling berhadapan. Lebih tepatnya Hugo duduk berhadapan dengan empat wanita.   “Jadi apa ada alasan tertentu, seorang pengacara datang mengaku membawa surat dari ayahku? Jangan bilang telah terjadi sesuatu pada ayahku?” Jelita mulai terlihat panik.   “Oh, tidak. Pak Rayhan dalam kondisi sehat wal afiat. Dia hanya sedang melakukan sesuatu yang penting yang tidak bisa ditinggalkan. Ada kesalahan jadwal yang diatur oleh sekretarisnya.”   Jelita menyimak dengan ratusan pertanyaan di kepalanya.   [Sekretaris? Sejak kapan Ayah punya sekretaris? Bukannya Ayah Cuma awak kapal biasa? ]   “Tapi sebelumnya, saya harus menyampaikan surat ini dulu. Pak Rayhan bilang, dia sudah menjelaskan semuanya di dalam surat.” Hugo mengeluarkan sebuah amplop berwarna biru laut. Lalu menyerahkannya kepada Jelita.   Diiringi tatapan penasaran dari para bibi pengasuhnya, Jelita menerima amplop itu. Dengan tangan gemetar ia membuka amplop. Ia menarik nafas panjang sebelum membuka lembar kertas dalam genggamannya. “Boleh k****a dulu surat ini sendirian?” pintanya.   Semua orang mengangguk mempersilahkan.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD