Sebuah bingkai tergantung rapi di sebuah dinding ruangan seorang. wakil presiden direktur. Bukan lukisan atau poto yang tersimpan dalam bingkai itu. Melainkan sebuah potongan berita dari surat kabar lawas. Headline yang tertulis adalah, KECELAKAAN LANTAS TUNGGAL MEYEBABKAN SEORANG PEWARIS HOTEL KEHILANGAN KELUARGANYA.
Tidak hanya itu, beberapa potongan berita lainnya juga menghiasi dinding itu. Semuanya berkaitan dengan sebuah kecelakaan yang terjadi enam belas tahun yang lalu di daerah puncak. Mulai dari wawancara dengan korban selamat, acara peringatan bagi korban tak selamat, bahkan ucapan berbela sungkawa yang ditayangkan di surat kabar pun mendapatkan bingkainya sendiri. Seolah satu dinding itu sengaja didedikasikan hanya untuk sebuah kecelakaan.
Sebuah laporan mingguan diletakkan di atas meja. Tergeletak bersama beberap berkas lainnya. Yang membedakan hanyalah amplop yang membungkusnya. Harus amplop berwarna biru lalut. Tidak boleh biru langit apalagi biru dongker. Diantara laporan yang berserakan itu sebuah pigura berukuran 4R tampak membingkai foto keluarga. Sepasang suami istri dan seorang anak perempuan yang terlihat comel.
Satu-satunya alasan laporan itu tergeletak paling atas di antara laporan lainnya adalah karena isi dari amplop biru laut itu baru saja selesai dibaca. Sementara si pembaca laporan saat ini sedang melakukan panggilan telepon. Wajahnya nampak sesekali tersenyum.
“Selamat siang, Pak Rayhan.” Sebuah ketukan di pintu membuat orang yang sedang menelepon itu berpaling. Ia kemuadian hanya menganggukan kepalanya dan menunjuukan ponselnya, menandakan ia sedang melakukan panggilan.
Orang yang tadi mengucapkan salam pun hanya mengangguk. Ia masuk ke dalam ruangan dan berdiri di depan meja.
“Duduk saja. Tidak perlu terlalu formal. Jadi bagaimana?”
“Saya kemari karena Anda yang meminta saya, Pak.”
Rayhan menatap pria di hadapannya. Ia seperti meyaksikan dirinya dua puluh tahun silam setiap melihat laki-laki ini. Ada kepercayaan dalam dirinya yang selalu membuat laki-laki ini tidak pernah menunduk.
“Sudah berapa lama kamu bekerja dengan saya?” tanya Rayhan.
“Kurang lebih sepuluh tahun, Pak.”
“Kamu satu-satunya orang yang bisa bertahan dengan saya. Berapa sekarang usiamu, Hugo?”
Hugo terperangah mendengar pertanyaan absurd dari atasannya ini. “Maksudnya, Pak?”
Rayhan terkekeh pelan. “Kenapa kaget? Saya kan hanya menanyakan hal umum. Apakah pertanyaan usia terlalu sensitif?” guraunya.
Hugo menggaruk pelipis kanannya dengan telunjuk. Ia sedikit malu mendengar gurauan Rayhan. “Saya sudah kepala tiga lebih, Pak.” Akhirnya ia menjawab pertanyaan itu dengan nada rendah.
Rayhan tergelak, “Ha ha ha ... kenapa kamu seperti tidak percaya diri? Baru kali ini say lihat kamu menjawab pertanyaan saya dengan menunduk begitu.”
Hugo terlihat mengeraskan rahangnya mendengar tawa dari Rayhan. Tetapi raut wajah kesal itu hanya sekilas tergantikan dengan senyum malu-malu.
“Sudahlah, aku memanggilmu karena aku ingin tahu bagaimana pendapatmu tentang pemintaanku seminggu yang lalu?”
Hugo terdiam. Ia ingat akan permintaan itu. Karena itu bukan permohonan yang biasa. Pria berhidung mancung itu tidak mungkin melupakan bagaimana seorang Reswari memintanya agar ia bisa membuat seorang wanita jatuh cinta.
“Tahukah kau apa yang selalu kulakukan di bulan Agustus setiap tahunnya?”
Hugo menganggukkan kepalanya. “Anda selalu menghabiskan jatah cuti tahunan Anda di tanggal 10-20 agustus. Itu sudah menjadi agenda tahunan Anda.”
Rayhan mengangguk dan bertanya, “Tapi tahukah kamu kemana saya menghabiskan waktu?”
Hugo menggelengkan kepalanya. Kali ini menatap atasannya itu dengan serius.
Rayhan menyerahkan amplop berwarna biru laut kepada Hugo. “Bacalah!”
Dengan penasaran, Hugo mengeluarkan isi dari amplop biru laut. Puluhan lembar foto jatuh ke tangannya. Ia mengambil selembar yang paling atas. Tertangkap dalam kamera seorang gadis berkuncir kuda sedang tertawa lepas. Mulut yang ternganga dan mata yang hanya menyisakan garis. Tidak elegan tetapi membuat siapapun yang melihat foto ini ikut merasakan kebahagiaan.
Hugo mengambil foto lainnya. Masih gadis yang sama namun dengan outfit berbeda. Masih dengan rambut dikuncir kuda Kali ini gadis itu tampak mengenakan Kemeja putih dan rok hitam seolah menjadi penanda ia tengah menghadiri acara formal. Apalagi posenya yang berdiri dengan kedua tangan yang salng bertumpuk di depan. Ada sebuah coretan di belakang foto itu, Mojang 2017. Hugo mengernyitkan keningnya mencoba mencari makna dari kata itu.
Dengan kilat ia memperhatikan satu demi satu lembar foto di tangannya. Hampir semuanya adalah gadis itu. Dalam berbagai pose dan berbagai outfit. Satu yang menarik perhatiannya cukup lama adalah lembar foto dimana si gadis mengenakan sebuah kebaya berwarna biru laut dan sarung bercorak mega mendung dengan warna yang serasi dengan kebayanya. Senyum gadis itu terkembang sempurna.
Dan lembar terakhir yang tidak bisa ia lewatkan adalah foto yang menangkap gadis itu dengan atasannya sedang saling memeluk di sebuah kedai kopi. Hugo memperhatikan foto itu lekat-lekat. Keduanya tampak saling terhubung. Ia bahkan dapat dengan yakin melihat ada cinta yang terpancar di mata mereka berdua. Hatinya seketika mencelos memikirkan kemungkinan bahwa atasannya, Rayhan, sedang dilanda puber kedua. Gadis ini mungkin calon nyonya barunya.
“Melihat ekprsei terakhirmu, saya bisa menduga kamu menangkap pesan yang salah.” Hugo menatap mata atasannya. Mempertanyakan maksud ucapan barusan.
“Maksud Bapak ?” tanyanya sembari meletakkan kembali amplop biru laut itu di atas meja setelah memasukkan seluruh lembar foto.
“Dia adalah orang yang membuat saya bertahan untuk berada di posisi ini. Saya sangat mencintainya. Tapi sayangnya dia bukan kekasih saya.”
Hugo diam menyimak penjelasan dari Rayhan. Meskipun pikirannya menyuarakan banyak tanya.
“Kalo kamu lebih jeli memperhatikan. Dia adalah Jelita Reswari.” Kali ini Hugo melayangkan tatapan kaget tanpa berusaha untuk ditutup-tutupi.
“Maksud Bapak, ini Puteri Bapak?”
Rayhan mengangguk. Membenarkan pertanyaan dari Hugo. Kali ini ia diam tidak memberi penjelasan. Dirinya yakin pengacara muda di hadapannya ini akan mengajukan banyak pertanyaan.
“Tapi, bagaimana bisa?”
“Maksudmu bagaimana saya bisa punya seorang puteri? Nak, saya seorang laki-laki normal yang sudah pernah menikah.”
“Bukan itu maksud saya, Pak. Bukankah selama ini Bapak selalu bilang, bahwa Bapak kehilangan keluarga Bapak. Saya bahkan yakin dinding di belakang saya ini semacam pengingat betapa Bapak kehilangan mereka.” Hugo melepaskan banyak kalimat tapi tak ada satupun pertanyaan yang terlontar.
“Kenapa kamu marah?” tanya Rayhan.
“Saya tidak marah,” elak Hugo.
“Tapi semua kaliamt yang kamu lontarkan tadi berisi kekecewaan. Padahal saya menduga kamu akan mengajukan banyak pertanyaan.”
“Tentu saja saya kecewa. Kenapa Bapak bilang bahwa Bapak kehilangan keluarga Bapak?” Pertanyaan pertama terlontar dari mulut Hugo.
“Karena memang itulah keadaan yang sebenarnya. Istri dan anak saya tidak bisa ada di sisi saya. Selama enam belas tahun ini saya hidup sendirian tanpa didampingi mereka. Apa namanya kalo bukan kehilangan keluarga?”
“Tapi mereka masih hidup?”
“Puteri saya memang masih hidup. Dia tumbuh dengan sehat. Diasuh dan dididik di tangan yang tepat. Saya harap hasil didikannya akan membantunya untuk bertahan.” Rayhan menatap nanar foto keluarga yang berdiri di atas meja.
“Maksud Bapak, istri Bapak sudah ...?”Hugo tidak berani meneruskan kalimatnya.
“Saya hanya bisa berharap ia masih hidup. Dan bisa berada di sisi saya menyaksikan tumbuh kembangnya puteri kami.”
Hugo terdiam. Ia tak lagi mengajukan tanya. Meski rasa penasarannya masih bergelayut.
“Yakin tak ada yang ingin kamu tanyakan lagi?”
“Maksud Bapak?”
“Saya yakin kamu masih menyimpan banyak tanya. Selama kamu bekerja sama saya, saya hapal kamu bukan orang yang cepat puas.” pancing Rayhan.
“Tapi ini keluarga Bapak. Saya rasa ini termasuk ranah privasi yang tidak bisa saya lewati begitu saja.” Hugo memberikan alasannya menahan diri.
“Puteri saya tinggal di Bogor kalau kamu mau tahu. Dan karena alasan inilah saya ingin meminta tolong padamu. Sekarang sudah bulan Juli. Bulan depan berarti jadwal cuti tahunan saya seperti yang sudah kamu tahu.
Tapi sayangnya tahun ini saya tidak bisa mengambil jadwal cuti itu. Saya harus terbang ke Palembang untuk pembukaan cabang hotel kita di sana. Sepertinya para pekerja di Palembang lupa tentang jadwal tahunan saya.”
“Lalu?” tanya Hugo karena ia yakin sang atasan belum mengatakan tujuan yang sebenarnya.
“Saya minta kamu yang pergi ke Bogor menemui puteri saya,” titah Rayhan lugas.
Sekali lagi Hugo dibuat terperangah. Ia semakin heran dengan perintah aneh atasannya hari ini.
“Dan tugasmu bukan hanya sekedar menemuinya,” Rayhan melanjutkan sambil meatap mata pemuda di hadapannya dalam-dalam, “sudah cukup waktu bagi puteri saya untuk bersembunyi. Sudah tiba waktunya bagi puteri saya untuk tampilsebagai dirinya sendiri. Sebagai seorang Reswari.”
“Tapi tentu saja dia tahu bahwa dirinya seorang Reswari, kan?” Hugo berusaha memperjelas maksud dari kalimat akhir Rayhan.
Rayhan menggeleng. “Dia terlalu polos untuk tahu bahwa ia pewaris dari Reswari Group. Tugasmu adalah memberi tahunya. Bahkan saya mau kamu membimbingnya. Ini tidak akan mudah. Karena seumur hidupnya, yang gadis itu itu tahu saya hanyalah seorang karyawan yang bekerja di kapal pesiar.
Bimbing dia. Ajak dia ikuti kelas kepribadian. Beritahu dia lingkaran pergaulan Reswari. Yang pasti akan banyak hal yang mencoba untuk menjatuhkannya nanti.”
Hugo menelan ludah mendengar penjelasan dari Rayhan. Seharusnya ini bukanlah tugas bagi pengacara sepertinya. Tetapi lidahnya tertahan untuk menolak ketika Rayhan berujar, “Saya tidak bisa mengirim orang lain yang tidak saya percayai. Dan saya yakin hanya kamu yang tepat untuk tugas ini. Jadi, apakah kamu bersedia?”
Setelah menimbang cukup lama, Hugo pada akhirnya menganggukkan kepalanya. Sebuah senyum kepuasan muncul di wajah Rayhan.
“Temui dia di Delish Bakery. Dan bawa surat dariku ini.” Rayhan memberikan sebuah amplop biru laut lainnya. Sebuah amplop yang masih tersegel rapi.
^^^^^
Cukupkah aku dengan sebuah kejutan?
Karena ternyata kehidupan ini lucu
Satu kejutan akan selalu bersambung dengan kejutan lainnya.
Lantas dimanakah aku kan menemukan akhirnya?
Sebuah hadiah di akhir kejutan kehidupanku ...