Bab 5

983 Words
Lantunan lagu Manusia Bodoh yang dibawakan oleh salah satu band terkenal di awal 2000-an masih menggema di kedai Delish Bakery. Tak ada satupun pelanggan yang memprotes pilihan lagu itu. Hujan di luar justru membuat lagu itu terasa pas di telinga. “Bi, pesanan cake ultah hari ini mau diantar gimana?” tanya Jelita pada Bibi Melati. “Yang mana?” “Yang pesen BoboiBoy. Udah selesai kuhias nih.” Gadis itu memperlihatkan hasil dekorasinya. Bibi Melati mengecek sebentar kemudian meraih sebuah notes bertali yang tergantung di kapstok. “Sebentar. Atas nama Radit ya .... Ah, dia minta diantar ke rumah sakit sih, Nenk. Gimana atuh? Mana hujan lagi.” “Rumah sakit mana?” “Tempat dokter Ren kerja.” Jelita melepas celemeknya, ia gantungkan di kapstok dekat pintu. Lalu segera mengambil kardus kue dan menyerahkannya pada Bi Melati. “Aku anter aja, Bi. Siapa tahu yang pesen emang mau bikin kejutan. Bibi rapikan dulu kuenya. Aku siap- siap ya.” “Tapi kan hujan, Nenk.” “ Ini mah gerimis. Udah Bibi beresin dulu aja kuenya. Aku mau pakai jaket dulu terus ambil payung.” Tidak sampai lima menit satu kotak kue sudah siap terkemas. Jelita yang sudah tampak rapi dengan jSweater kebesaran membawa kotak tersebut di tangan kanan, sementara tangan kirinya memegang payung. “Padahal mah, pake ojol aja. Nggak perlu huhujanan.” “Sama Lita aja. Assalamu alaikum.” Bibi Melati memperhatikan Jelita yang keluar lewat pintu dapur. Ia baru menutup pintu ketika Lita sudah tak tampak lagi. Rinai hujan sudah tak bersahabat lagi. Segera Bi Mel menyambar ponselnya. Ia mengirim pesaan. [Jelita pergi ke rumah sakit.] Tidaak perlu menunggu waktu lama sebuah balasan di terimanya. [Sakit apa?] Pesan yang membuat Bi Mel memutar bola matanya. Isinya tentu saja kelewat datar bagi seseorang yang mengaku jatuh cinta. [Bukan Lita yang sakit. Dia Cuma antar kue. Sekarang lagi hujan.] [Ooh. Oke] Kali ini Bibi Mel mendengkus cukup keras. Untungnya hanya ia sendiri yang berada di dapur kedai. ^^^^^^ “Mbak, maaf mau tanya, kalo pasien anak atas nama Raditya Darmawan dirawat di ruang berapa ya?” tanya Jelita di meja informasi. Petugas rumah sakit yang mengenakan setelan seragam hijau itu memperhatikan Jelita dari atas hingga ke bawah. Matanya kemudian tertuju pada kotak kue yang dibawa oleh Lita. “Mau jenguk, ya? Jam besuknya sudah habis. Nanti aja balik lagi ke sini jam lima.” Lita mengernyitkan alisnya. Ia bingung dengan reaksi petuggas itu. Satu-satunya alasan ia bertanya adalah karena ia tidak tahu dimana si pemilik kue itu dirawat. “Tapi, Mbak ....” “Jam besuknya nanti jam lima. Saya nggak mau melanggar peraturan di rumah sakit ini.” Petugas itu memotong kalimat Jelita. Sekali lagi ia memperhatikan Jelita. Merasa diperhatikan berlebihan. Gadis berkuncir ekor kuda itu ikut-ikutan memperhatikan dirinya. Khawatir ada yang salah dengan pakaiannya. Sweater coklat kebesaran. Celana aladin 7/8. Sendal jepit . Dan sebuah payung basah yang meneteskan titik-titik air di lantai. “Lita.” Jelita yang sedang mengamati celana dan sandalnya mendongak ketika ada yang memanggilnya. Ren. Lita pun tersenyum jahil. Ia menghampiri laki-laki bersnelli putih yang sedang berdiri di ujung meja informasi. “Eh, ada dokter Ren.” “Kamu ngapain di sini?” “Nganterin pesenan kue,” bisik Lita di telinga sambil berjinjit. Wajah Ren memeraah sebentar. “Kenapa nggak telepon pemesannya aja?” Jelita melongo mendengar pertanyaan itu. Ia mengusap-usap poni rambutnya dan berujar, “Aku lupa nggak bawa hape, dok.” Ren menghela napas mendengar alasan gadis mungil di hadapannya. Tanpa banyak kata ia menghampiri meja informasi. “Tolong, saya mau tanya ruang ....” Ren menoleh ke belakang. Satu alisnya terangkat menatap Jelita. “Raditya Darmawan,” kata Jelita begitu menyadari makna tatapan Ren. Dokter muda itu kembali bertanya pada pegawai rumah sakit. “Dimana ruangan Raditya Darmawan?” “Di lantai empat, dok. Ruangan Cendana no 001.” Jelita memalingkan wajah dan berlagak muntah melihat jauhnya perbedaan reaksi si petugas ketika berhadapan dengan Ren. Selain tutur kata yang lembut sebuah senyum pun terhias untuk Ren. Berbanding terbalik ketika menghadapinya barusan. Berbagai umpatan terucap di dalam pikirannya. Terhenti ketika Ren menepuk pundaknya. “Ayo, saya antar,” ajak Ren. “Eh, emangnya boleh? Kamu kan lagi kerja.” Kamu tahu ruangan Cendana nggak? Kalo nggak tahu, saya antar.” Akhirnya Jelita mengekori langkah Ren setelah menggeleng tak tahu. Dari belakang ia memperhatikan punggung Ren. Sesuatu yang selalu mengganjal bagi gadis berusia 23 tahun itu adalah kenyamanan saat ia berjalan di belakang Ren. Ruang perawatan Cendana ternyata merupakan ruangan kelas VIP. Kue yang dipesan di Delish Bakery merupakan kue perayaan karena Radit sudah disunat. Kue itu pun hanya merupakan satu dari sekian kue yang dipesan bersamaan dari beberapai bakery di kota Bogor. Sekali lagi pandangan penilaian diterima Jelita saat ia menyerahkan kue kepada salah seorang perempuan muda yang sedang menemani Radit. Tatapan merendahkan jelas tertangkap oleh Jelita. Membuatnya sekali lagi memeriksa apa yang salah dengan penampilannya. Tanpa perlu menunggu lama, Jelita pun beranjak pulang. Di depan lift langkahnya terhenti saat melihat Ren sedang bersandar seolah menunggunya. “Udah selesai?” Perempuan bersweater lembab itu mengangguk dan berjalan menghampiri si penanya. “Dok, aku mau tanya. Emangnya ada yang salah ya sama penampilan aku?” Mendapat pertanyaan aneh itu membuat Ren memperhatikan Jelita dari ujung rambut hingga ujung kaki. Setwlah itu dilanjutkan menatap wajah Jelita dengan serius. Kemudian pintu lift terbuka. Tidak ada seorang pun di dalamnya. “Kamu kayak biasanya. Nggak ada yang aneh. Kalo mereka bilang kamu aneh, biarin aja. Mereka nggak kenal kamu.” Lalu dokter Ren pun melangkah masuk ke dalam lift. “Dih, siapa yang baper? Aku Cuma heran aja, emang penampilan aku nggak ....” Jeliata sengaja tidak melanjutkan kalimatnya. Ia langsung masuk dan menekan tombol bersimbol angka 1. “Kenapa jadi diam?” tanya Ren memecah kesunyian. “Aku nggak suka cara mereka menilai seseorang dari sehelai baju.” “Saya suka cara berpikir kamu, tapi mereka belum tentu setuju. Suatu saat kamu akan belajar tentang hal ini.” “Eh, maksudnya?” Jelita merasa heran dengan kalimat Ren. Ia sedikit berlari kecil memgejar Ren yang sudah lebih dulu keluar dari lift. Ternyata Ren menuju teras drop off. Saat Jelita menghampirinya, ia memberikan sebuah bungkusan plastik berwarna biru. “Pakai jas hujan. Biar baju kamu nggak kecipratan.” Kemudian ia berjalan masuk ke lobby rumah sakit dan meninggalkan Jelita.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD