4th

2397 Words
       Sejak tragedi yang menyebabkan HP Heru error itu, Heru mulai agak bisa menghela napas. Karena semua SMS nggak ada yang masuk ke HP-nya, dia mulai berhemat. Chiko selalu meneleponnya dan juga marah-marah. Heru sedang bahagia karena berhasil membuat temannya kelimpungan karena kehabisan pulsa. "Aku tahu duitmu banyak!" Chiko menghardik ketika Heru sedang merem-merem penuh takzim di pojok kelas. Cowok itu sedang menikmati masa bebasnya. Nggak ada lagi gangguan dari Mas b***t, atau apalah itu namanya. Dia mulai santai dan bahagia sekali. Chiko yang sering menghubungi Heru untuk bertanya tugaslah yang punya masalah. "Yang punya duit itu ortuku, Ko." "Kamu sebagai anak nggak mau, gitu minta duit buat benerin HP, atau apa, kek! HP murah juga nggak apa, asal bisa buat SMS." Chiko menggerutu. Heru nyengir dengan raut nggak bersalah. "Aku nggak punya waktu buat ngurusin HP, Ko." "Ngaku aja kalau situ nggak mau balesin SMS!" Heru ngakak nggak keruan. Teman-temannya juga mengeluh karena mereka nggak bisa menghubungi Heru. Meski pecicilan begitu, Heru itu penting sekali. Dia sering ditunjuk untuk jadi maskot kelas kalau ada perlombaan saat class meeting. Jadi pemandu sorak yang super rusuh. Menang nggak menang pokoknya heboh dan gila. Itu katanya. "Aku lagi hemat, Ko." Heru kembali cekikikan. Chiko menghela napas dan akhirnya menunjuk wajah cowok jahil itu. "Kamu lagi menghindari seseorang, kan?" Nah! Tumben Chiko peka! Kemarin-kemarin nggak ada ceritanya dia mendengar keluh kesah Heru. "Kok tumben tahu?" "Soalnya hidupmu itu selalu main sama HP. Entah yang jahilin cewek di f******k, lah! Modusin anak kelas sebelah, lah! Padahal tinggal jalan aja bisa, pake sok SMS nyasar." Heru kembali ngakak nggak keruan. Heru sedang ingin mendengarkan protes teman-teman lainnya. Protes itu nggak membuatnya marah, namun malah menaikkan mood-nya yang sempat berantakan kemarin. Sebenarnya ada alasan lain kenapa Heru jadi bertingkah begini. Dia hanya ingin menghindari Bejo. Itu saja. Selebihnya dia nggak peduli. Bejo adalah orang yang sangat dia hindari. Ini pertama kalinya Heru bertemu dengan makhluk yang membuatnya mati kutu. Dulu Heru yang selalu menang, namun sekarang... dia nggak berkutik. Heru nggak bisa bicara apa pun ketika melawan Mas b***t. Mas b***t itu berkuasa sekali. Mutlak. Meski Heru menghujatnya, mengumpat ke arahnya, namun Mas Bejo dengan gaya santainya itu malah tersenyum dan tergelak geli, seolah-olah kelakuan Heru itu imut dan menyenangkan. Kalau gila itu yang kira-kira, dong, Mas! Gilamu itu nggak ada batasnya, tahu! Karena itulah, karena Heru nggak tahu harus bagaimana lagi... dia memutuskan untuk melarikan diri. Dia nggak mau berhubungan dengan hal-hal yang nggak bisa dia tebak dan dia prediksi. Dia nggak suka. Karena itulah, meski Heru sempat menyatakan cintanya pada Chiko, dia sudah punya gambaran mau dibawa ke mana pengakuan itu. Hasilnya? Sesuai prediksi. Mereka masih berteman baik, bahkan nggak ada yang berubah. Ada yang berubah. Sekarang olokan homo jadi guyonan mereka tanpa diambil hati. Nggak ada yang sakit hati. Bahkan Chiko dengan narsisnya mengatakan kalau Heru itu fans berat. Persahabatan mereka itu sederhana. Kalau salah minta maaf, kalau nggak salah ya ayo bermain lagi bersama! Karena Heru nggak salah, maka mereka tetap bertaman. Sederhana? Namun sangat dalam dan berharga. Kalau mereka bubaran hanya gara-gara pengakuan Heru, nanti kalau Chiko kelaparan, dia mau ngutang ke siapa? Chiko itu pikun kalau untuk bawa uang lebih. Bahkan kadang uang sakunya ketinggalan di rumah. Ah, kalau Heru selalu ingat untuk bawa uang! Simpanannya banyak. Di tas ada, di saku ada, di dompet ada, di bawah bantal ada, di bawah bed ada, di laci meja belajar ada, di mana-mana ada. Karena itu, kalau Heru mengatakan dia nggak punya uang, itu dusta! Chiko nggak pernah percaya itu. Tapi kenapa kalau untuk membeli HP baru yang murah saja Heru nggak mau? Chiko kepo. "Aku pengen nanya," katanya. "Nanya penting atau nggak penting?" "Super penting!" Chiko mengambil napas. "Kamu lagi menghindari Mas Bejo?" Nah, Chiko telak menebak! Heru menelan ludah gugup. Sekarang Chiko jauh lebih peka daripada sebelumnya. Heru cemas. Kalau Chiko jadi super peka bagaimana? "Eng... lagi pengen melarikan diri dari dia." "Kenapa?" "Dia ganggu banget, tahu!" "Ada kejadian lagi kemarin?" Chiko menebak lagi. Benar, pula! Heru menelan ludah untuk yang kesekian kalinya dan menggeleng. "Nggak ada." "Bohong. Kata Mas Gigih, kalau aku bohong, mataku lari-lari. Sekarang aku lihat hidungmu kembang-kempis. Pasti kamu lagi bohong!" "Teori dari mana itu, Ko?" "Ini teoriku sendiri. Kita udah berteman lama, Bro. Aku sering lihat ekspresimu pas bohong, pas jahilin anak lain juga. Kamu kira aku sebebal itu?" Heru nggak tahan lagi. Interogasi Chiko membuatnya kesal. Dia ingin sekali mengalihkan topik sensitif ini. Tolonglah, jangan ada Bejo di antara kita! "Kamu homo, Ko?" Heru tiba-tiba mengutarakan pertanyaan itu. Itu termasuk pertanyaan retorik karena nggak butuh jawaban. Heru sudah tahu jawabannya sejak dulu. "Kagak, ih!" "Gigih itu cowok, Ko. Kamu dulu ngatain aku, sekarang kamu nggak mau ngaca?" Oh, Heru sedang kumat sepertinya! "Oke, aku ngaku! Aku homo buat Mas Gigih. Puas?" Heru tergelak kencang, antara salah tingkah dan juga bingung harus bagaimana. Sekarang ini Chiko sangat membuatnya pusing. Chiko ingin tahu sekali. Jelas, Chiko dan Mas b***t itu tetangga, Ru! Mereka dekat sejak dulu. Mereka itu mirip kakak-adik. "Kamu pasti kaum bawah." Heru memegang dagunya, sok menganalisis. Chiko melongo. "Kamu tahu dari mana?" "Dari aura. Aku kan bisa baca aura." Heru kembali bertingkah seolah-olah jadi paranormal. Chiko menunjuk wajah Heru. "Kamu juga kaum bawah! Nggak usah menghina sesama kaum, deh!" Heru yang melongo kali ini. Dia menggeleng kencang. Kaum bawah katanya! Nggak, lah! Heru itu macho. Keren. Perkasa. Burungnya bisa terbang tinggi kalau ada sarang. Dia bisa bergerak menusuk, bukan ditusuk. "Aku kaum atas! Sembarangan kalo ngomong, ah! Mau bukti?!" Heru menyentuh resleting celananya dan memajukan kebanggaannya ke arah Chiko. Chiko menatapnya geli. Bukan Heru namanya kalau nggak iseng seperti itu. "Kalau sama Mas Bejo, kamu kalah! Udah, nyerah aja, deh! Jadi kaum bawahan aja. Disayang-sayang, tuh kalau sama Mas Bejo. Dia itu dewasa, sabar, dan juga penyayang. Kalau kamu sakit, dia sendiri yang nyembuhin. Enak, kan? Orang lain aja disembuhin, apalagi kesayangan sendiri." "Ko, aku geli dengernya!" Heru menjerit nggak terima. Dia nggak peduli jadi perhatian. Hidupnya itu sederhana, namun Bejo membuatnya jadi nggak sederhana lagi. Bejo membuatnya emosi, kesal, dan juga sensitif. Karena itulah Heru harus menghindarinya sejauh mungkin. Melarikan diri dan jangan sampai Bejo berhasil mengejarnya. "Aku kenal Mas Bejo, tahu! Aku pernah nggak sengaja bikin motor kesayangannya tergores. Dia nggak marah, malah bilang, 'Ko, kamu menyesal? Kalau kamu menyesal, Mas nggak akan minta pertanggungjawaban.' Itu katanya." "Kamu mau nyomblangin aku sama dia? Kenapa baik-baikin dia?" "Kata Mas Gigih, kalau aku bohong, mataku lari-lari. Kamu bilang, kalau aku bohong alisku naik separuh. Sekarang alisku naik, nggak? Mataku lari-lari? Kalau lari, kejar, yak!" Chiko sedang ingin bercanda. Heru nggak tertarik untuk tertawa. Dia mendengus nggak terima. "Kamu percaya kebetulan?" Chiko mengangguk. "Percaya, lah!" "Mas Bejo itu ternyata kenal ayahku." Chiko ngakak lagi. Dia nggak tahan. Heru dan Mas Bejo itu benar-benar ditakdirkan untuk melengkapi satu sama lain. Dulu Chiko pernah dengar sesuatu dari sinetron yang Gigih tonton. Cinta itu aneh. Dia bisa mengubah seseorang jadi bukan dirinya. Chiko sadar kalau Heru nggak jadi dirinya sendiri ketika ada di depan Mas Bejo. Chiko juga sadar karena itu menjangkiti dirinya. Sekarang Heru mirip dengannya. Sangat berbeda dengan biasanya. Perubahannya begitu dinamis. Ketika di sekolah Heru seperti ini, di rumah dia begitu, lalu di depan Mas Bejo dia lebih aneh lagi. "Mas Bejo itu sabar, lho, Ru! Dia nggak pernah marah. Selama aku dekat dia, dia nggak pernah sekalipun marah-marah ataupun tersinggung. Ekspresinya malah sabar dan bijaksana gitu." "Ko, udah, Ko! Sekali lagi kamu promosiin Mas b***t di depanku, aku bakalan datangin rumah kamu dan bilang ke Mas Gigih kalau kamu jalang ke cewek-cewek di sekolah." "Dusta banget! Mas Gigih nggak mungkin percaya." "Kamu meragukan story telling-ku?" Chiko menelan ludah. Sepertinya dia memang nggak boleh ikut campur. Heru itu lebih berbahaya daripada yang dia duga. Jadi, dia memutuskan untuk menyerah dan diam saja. *** Sebutannya itu chemistry. Setelah Chiko mendengar cerita Heru, kali ini Mas Bejo juga tertarik untuk curhat padanya. Sebenarnya bukan curhat, tapi Mas Bejo hanya bertanya tentang Heru di sekolah. Bagaimana keseharian cowok itu ketika di sekolah bersama teman-temannya. Chiko adalah teman dekat Heru, jadi pasti tahu luar-dalam soal Heru. "Heru itu..." Chiko mencoba mencari kalimat. Sekiranya yang nggak terdengar aneh ataupun alay. Heru itu terlalu alay untuk diceritakan. "Gimana dia, Ko?" Chiko mencoba mencari cara yang lebih sederhana untuk menjelaskan tingkah Heru di sekolah. "Kalau ulangan, dia selalu dipaksa duduk di meja guru." "Kayaknya aku tahu alasannya. Bukan karena nyontek, kan?" Chiko menggeleng. "Heru bakalan ketahuan kalau nyontek. Dia kan nggak bisa gerilya. Tingkahnya nggak bisa diam, Mas. Kalau nyontek pasti ketahuan." "Karena rusuh pastinya." "Iya. Dia selalu aja gangguin anak-anak lain pas ngerjain ulangan. Sepuluh menit pertama, dia damai. Lalu setelah itu, bubar, deh! Dia sengaja ngetuk-ngetuk pensil, ganggu konsentrasi murid lain." "Kayaknya dia emang rusuh, ya?" "Tapi dia disayangi guru-guru, Mas. Dia selalu jadi murid pertama yang dimintai bantuan kalau guru lagi butuh." "Dia emang pantas disayangi." "Mas Bejo kayaknya suka banget kalau aku bahas Heru." Bejo tergelak dan mengangguk. "Dia lucu, sih! Mas suka pas lihat dia marah-marah dan juga ngomong kasar." "Lah? Orang marah dan ngomong kasar kok malah ditaksir?" "Dia lucu, Ko." "Dia itu macho, Mas. Cowok banget mukanya. Kalau marah tetep serem, nggak imut ataupun lucu." Chiko mencoba mengorek hati Mas Bejo. Heru itu nggak ganteng. Konyol iya! Ketika orang lain berpose ganteng di kamera, Heru nggak begitu. Dia akan memasang ekspresi paling aneh ketika difoto. Heru itu rata-rata. Tapi kalau sedang marah, dia memang terdengar lebih koplak daripada sebelumnya. Biasanya orang marah akan terlihat menyeramkan, namun Heru ini berbeda. Dia malah terlihat menggelikan. Ucapan kasar dan sarkasnya itu, lho! Ada saja yang dia ucapkan. "Tapi aku bete, Ko." Mas Bejo kembali mengeluh. "Bete kenapa, Mas?" "Akhir-akhir ini SMS-ku nggak pernah dibales sama dia." Ah, Chiko ingat itu! "HP-nya kan emang agak error, Mas. Dia bisanya ditelepon. Kalau dia yang telepon, pas dia butuh doang. Selebihnya kita yang harus menghubungi dia." "Ah, gitu..." "Iya, Mas. Kalau Mas pengen denger dia, Mas telepon aja." "Dia pasti nggak mau ngangkat. Paling banter diangkat, lalu dimatiin. Dia juga bisa aja teriak-teriak." "Kan itu yang Mas cari." "Iya, sih!" Bejo terkekeh geli. Chiko menganguk cepat dan berdiri. Acara curhatan itu harus selesai sampai di sini. Sebentar lagi Gigih pulang dari ekskul memasak, jadi dia harus sampai di rumah sebelum Gigih. Kalau Gigih tahu Chiko berkunjung ke sini, dia pasti akan menyusul dan marah-marah. Chiko sudah biasa mendengar Gigih merajuk, namun dia nggak mau membuat Mas Bejo terganggu karena itu. Chiko pamit pulang setelah itu, meninggalkan Mas Bejo yang menggaruk tengkuknya lantaran bingung apa yang harus dia lakukan. Sekarang ini dia ingin bertemu dengan Heru. Ingin dengar suaranya. Maka hari itu Bejo bergerak. Dia menelepon Heru. Di 'tut' pertama, telepon Bejo nggak diangkat. Bejo nggak putus asa. Dia terus mencoba menelepon, hingga akhirnya suara mengantuk Heru terdengar. "Halo..." katanya. "Tidur?" tanya Bejo balik. Heru menguap lebar. "Ada perlu apa telepon?" "Galak, deh!" "Mood orang yang baru bangun tidur dan ngantuk itu emang jelek, Mas. Jangan senggol kalau emang nggak mau dibacok!" "HP kamu kenapa?" Ini salahmu, Anjing! Heru mengumpat dalam hati. Itu pertanyaan yang agak membuat Heru sensitif. Jadi selama ini dia nggak tahu kalau HP Heru rusak karena tragedi waktu itu? Heru harus berteman dengan cowok ini? Ah, kemarin Bejo bertamu ke rumahnya juga dan Heru nggak bilang kalau HP-nya bermasalah. "Nggak apa, tuh!" "Chiko bilang HP kamu nggak bisa nerima SMS, ya? Bisanya ditelepon dan nelepon aja..." Chiko! Pengkhianat! Sumpah, ini kali pertama Chiko begitu mengkhianatinya. Chiko itu penjaga rahasia nomor satu, namun kali ini Chiko berbalik arah. Chiko yang dulu dia kenal sebagai pemegang rahasia akhirnya nggak bisa dipegang lagi omongannya. Tapi kenapa harus pada Bejo? Setahu Heru, Chiko nggak pernah mengatakan apa pun yang menjadi rahasia mereka. Bahkan rahasia Heru naksir Chiko juga tetap tersimpan rapi. Tapi kenapa Chiko bocor sekali pada Mas b***t ini?! "Chiko cerita apa lagi ke Mas?" tanya Heru tajam. "Cuma cerita kalau HP kamu bisanya ditelepon doang. Itu aja." Heru menaikkan alisnya. "Beneran cuma itu aja?" "Emang kamu lagi nyimpen rahasia apa lagi, Ru? Nanya Chiko, ah ntar!" Heru gemas nggak keruan. Dia sudah menahan sabar sejak tadi. Acara tidurnya terganggu karena Mas b***t, dan sekarang mas-mas macho gondrong itu malah mencoba masuk ke teritorialnya. "Chiko bakalan kena getahnya kalau sampai cerita ke Mas." "Rahasia apa, sih, Ru? Apa aku nggak boleh tahu?" "Anda siapa, ya?" Heru kembali sarkas. Nadanya terdengar tajam. Mas Bejo tergelak puas mendengar suara tajam Heru. Dia ingin melihat ekspresi Heru sekarang. Heru itu nggak manis ataupun imut seperti yang ada di film-film homo. Tapi Heru punya daya tarik tersendiri di mata Mas Bejo. Kalau dimakan cinta, semua kekurangan terlihat sempurna. Justru Mas Bejo sangat mengagumi kekurangan Heru! Mas Bejo sangat menyukai ekspresi tajam Heru. Suka dengan cowok SMA itu ketika dalam mode galak. Pokoknya dia suka sekali dengan ekspresi Heru ketika dalam bentuk buruk. Buruk saja suka, apalagi ketika baik! Bejo nggak tahu kalau dia akan jadi seperti ini hanya gara-gara murid SMA biasa. Cowok, pula! Padahal di kampus dia terkenal sebagai cowok nyentrik yang penuh kharisma. Auranya menarik para cewek, hingga mereka menganggap Bejo itu sempurna sebagai calon suami. Teman cewek Bejo banyak, teman cowoknya juga banyak. Bejo dikelilingi oleh banyak orang, lantaran dia pintar. Pintar dalam teori kuliah, praktik kedokteran, hingga pintar membawa diri. Mungkin Chiko benar. Kalau dia saja bisa begitu perhatian pada orang lain, pada kesayangannya pasti lebih perhatian. Sayangnya orang yang jadi kesayangan Bejo nggak terlalu suka diperhatikan. Nggak suka jadi perhatiannya. Dia malah ingin melarikan diri. Ingin menjauh darinya. Cara bicaranya pun tajam dan lumayan pedas. Merasuk hingga ke tulang-tulang. Kalau orang lain mungkin sudah kapok dan menyerah mendekati Heru, namun Bejo berbeda. Itu justru jadi daya tarik tersendiri baginya. Bejo nggak menyerah. Menjelang maghrib, dia kembali menghubungi Heru. Meski Heru agak pecicilan begitu, namun dia adalah muslim yang baik. Dia sholat lima waktu, tahu! "Aku mau sholat maghrib! Jangan ganggu orang seenak jidat, Mas b***t!" Heru emosi. Mas Bejo mengerjap. Mas Bejo bukan muslim. Dia beragama kristen. Dia tahu waktu, namun dia baru tahu kalau Heru itu rajin sholat ternyata. Kalau untuk ibadah, Bejo nggak mau main-main. Dia nggak mau mengganggu Heru. "Maaf," katanya. "Lain kali kalau mau ganggu tuh nanya dulu!" Heru keterusan mengomel. "Maaf, Ru. Aku kira kamu nggak sholat." Bejo tersenyum penuh rasa bersalah. Bejo punya teman muslim banyak di kampus. Mereka semua saling menghargai, namun Bejo juga mengira Heru seperti teman-temannya yang malas sholat. Iya, Bejo kira begitu! Sebab tingkah Heru itu nggak terlihat agamis. Ternyata Heru itu muslim yang taat sholat. Ah, kok Bejo jadi makin suka, ya? Jadi makin kagum dan juga ingin melihat Heru dengan tampilan muslim. Memakai sarung, baju koko, lalu kopyah hitam, dan melangkah ke masjid. Pasti adem. "Aku bukan atheis. Aku punya Tuhan yang harus aku temui lima kali sehari. Biar aku bisa ngadu dan berdoa, semoga nggak ada cowok aneh yang mengganggu lagi!" Bejo tersindir. Dia nggak marah meski begitu. Dia justru tergelak dan berdehem. "Kirim salam buat Tuhanmu, ya, Ru! Mintain izin, boleh, nggak aku yang nggak menyembah-Nya ini mencintai hamba-Nya?" Mas Bejo korban cerita dan qoutes di internet! "Najis! Ngimpi sana!" Heru mengumpat. "Ru... katanya mau sholat? Azan maghrib udah lewat, tuh!" Mas Bejo mengingatkan, namun masih tersenyum geli. Heru terlonjak dan memutus telepon Mas Bejo spontan. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD